Part 23. Pesan Terakhir

1.6K 133 4
                                    

     Dua hari setelah kabar kehamilannya, Prayly berada didalam kamar sedang mengurus keperluan Aryo yang hari ini dijadwalkan akan terbang ke Brunei Darussalam bersama Ayah Mertua dan juga wakilnya. Semalam mereka berdua sudah menyiapkan koper kecil yang berisi beberapa potong pakaian dan perlengkapan Aryo selama tiga hari di sana. Sekarang yang Prayly siapkan hanyalah beberapa perlengkapan Aryo, sepatu, kaos kaki, deodorant, parfume, hair gel, beberapa buah dasi serta tak lupa chargeran handphone dan labtop kerja Aryo.
     "Papi, kenapa sih musti ngajakin kamu ikut? Apa ngak tau kalo anaknya lagi hamil muda dan butuh suami siaga dirumah? Hufffttt..." gerutu Prarly menutup resleting koper Aryo.
     "Bun, udah dong ngambeknya. Enggak baik buat pertumbuhan calon anak kita di dalam sana. Ayah janji ini hanya tiga hari kok." rayu Aryo pada sang Isteri.
     "Aku lagi enggak bercanda sekarang ini, Yo. Aku beneran khawatir sama kamu. Sejak aku kecil, firasat dalam hati ku ini lah yang selalu menuntun ku melalui keras nya hidup." tutur Prayly menegaskan.
     "Sayang, aku enggak akan nakal disana. Kalo enggak percaya kamu boleh nyuruh papi mata-matain aku deh."
Aryo mengambil jemari tangan Isterinya dan langsung mengecup punggung tangan Prayly lama sekali. Sedang Prayly tiba-tiba saja menitikan air matanya hingga jatuh ke tangan Aryo.
     "Sayang, kamu kenapa? Kok nangis segala? Beneran aku janji ga bakal yang aneh-aneh. Cup yah, Sayang. Kasihan jagoan Ayah nanti juga ikutan nangis, Bun." rayu Aryo sembari mengusap perut Prayly yang masih rata itu.
     Prayly yang mendadak cengeng itu pun kemudian menghapus air matanya. Ia sendiri sangat merasa ketakutan dengan kepergian Aryo kali ini. Namun ia tak tahu, ketakutan apa yang dimaksud oleh bahasa kalbu dalam hatinya itu. Aryo yang melihat sang Isteri bermuram durja itu pun lantas menarik tubuh Prayly ke dalam pelukan hangatnya. Perlahan tapi pasti, ia mencium bibir manis Prayly dan mereka pun akhirnya larut dalam kemesraan hingga beberapa menit.
     "Inget makan yah, Bunda sayang? Jangan pikiran yang ngak-ngak. Ayah ngak sampe Bunda dan Jagoan kita kenapa-napa. Walaupun Ayah ngak ada, Bunda harus tetap bahagia demi buah hati kita ini, oke?"
     "Deg...."
Ucapan Aryo barusan seakan bagai sebuah godam yang menghantam semua persendian tubuh Prayly. Bagaimana bisa, Aryo berkata ia harus tetap bahagia demi anak yang ia kandung walau tanpa dirinya disisi?
     "Enggak... Enggak boleh! Kamu enggak boleh pergi kemana pun. Aku enggak mau kehilangan kamu, Yo! Enggak mau!" histeris Prayly seketika.
     Aryo yang bingung dengan keadaan pun sekali lagi berusaha menenangkan sang Isteri. Ia memeluk Prayly lama sekali. Entah mengapa dalam hati kecilnya ia juga merasa berat untuk pergi mengikuti perintah mertuanya. Kepergian mereka bertiga kali ini memang sangat mencurigakan bagi Aryo. Transaksi pembelian senjata api ilegal yang biasa dilakukan hanya dengan perwakilan dari masing-masing pihak, tak diinginkan oleh pihak pembeli. Mafia terkenal dari negera Adidaya itu menginginkan transaksi besar kali ini dilakukan oleh si Tuan barang, alhasil Andreas pun mengajak Wilfed dan juga dirinya.
     "Prayly, please. Jangan kayak gini dong, Sayang. Ini murni hanya sebuah perjalan bisnis. Kamu sendiri bukannya sering aku tinggal kayak gini. Terus kenapa kok sekarang malah mewek gini sih? Hemmm..." tanya Aryo mengusap perut Prayly yang berada dipangkuan nya itu.
     Sepersekian detik kemudian, ponsel Aryo berdering dari atas nakas. Prayly pun segera mengambil benda pipih persegi panjang itu.
     "Papi, Yo."
Prayly berujar lembut pada sang suami tentang ID call si penelpon yang tak lain adalah Andreas Ananta, sang Paman. Aryo pun kemudian segera menggeser tombol hijau yang berada di layar ponsel.
     "Iya, Pi?" jawab Aryo penuh kesopanan.
     "Kamu sudah siap, Yo?" tanya Andreas diujung telepon.
     "Sudah, hanya saja Prayly... Egh--"
     "Siniin handphonenya, biar aku yang langsung ngoceh ke Papi!"
Prayly dengan serta merta menyambar ponsel itu dan meletakkannya ditelinga.
     "Pi... Aryo enggak usah ikut ke Brunei aja yah, Pi?" rengek Prayly memelas.
     "Ayly, Papi kan sudah bilang. Kamu enggak boleh mencampur aduk urusan pribadi dengan pekerjaan. Papi dan Suami mu dituntut untuk profesional dalam hal menjalani meeting bertemu calon clain di Brunei sana, Sayang." dusta Andreas.
     "Pi, perasaan Ayly tuh enggak enak. Apa Papi tega sama cucu?"
Prayly bahkan sudah mulai berkaca-kaca karena Andreas kekeuh dengan keputusan mengajak Aryo ikut dalam transaksi besar itu.
     "Prayly. Tolong jangan buat Papi marah! Sifat kamu seperti anak kecil saja. Kamu jangan menuruti semua kemauan si jabang bayi dalam perut mu. Nanti kalau lahir, bisa jadi anak pembangkang itu."
Andreas mulai mencari cara agar Prayly menuruti kehendaknya, dengan cara berkata seperti tadi. Namun masih saja, Prayly tidak juga mau mengindahkan perkataan Andreas dengan menjawab perkataan pria tua tersebut.
     "Pi, apa karena Aryo CEO jadi dia enggak bisa diwakilkan sama Om Wilfed?"
     "Jelaslah karena itu Aryo harus ikut serta. Papi kan sudah memberi kepercayaan penuh padanya untuk memimpin perusahaan? Apa yang harus Papi terangkan pada calon klien itu nanti jika Suami mu tidak turu serta? Tolonglah, Nak. Jangan manja seperti ini. Di mana semua ketegaran dan kekuatan kamu selama beberapa tahun tidak tinggal bersama keluarga, hem? Biarkan Suami mu pergi mencari nafkah untuk kau dan calon buah hati mu, oke?" bujuk Andreas lagi.
Maka Prayly yang masih kesal
      "Kalo gituh, Ayly boleh ikut ngak pi? Boleh yah, Pi?"
Prayly semakin membuat semua rencana yang diatur matang oleh Andreas sedikit berantakan dengan keinginannya untuk ikut bersama mereka ke Negara Brunei Darussalam.
Sejenak Andreas yang berada di ujung telpon berpikir, apakah tidak bahaya mengajak puteri kesayangannya yang tengah hamil muda itu berpergian jauh? Lantas bagaimana reaksi Prayly jika transaksi jual beli senjata api ilegal tersebut sampai ke telinganya?
     "Papiiii, gimana? Ayly ikut yah Pi yah? Nanti kalo papi sama Aryo lagi meeting, Ayly di hotel aja."
Lagi-lagi Prayly berusaha meyakinkan Andreas agar mengizinkannya turut serta dalam perjalanan bisnis ilegal tersebut. Alhasil Andreas pun memperbolehkan Prayly untuk ikut dengan mereka ke Brunei Darussalam. Tapi kali ini sang Mami, Miranda juga ikut menemani mereka.

BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang