Bapak Pastor dari Gereja Katedral Jakarta pun sibuk memimpin prosesi Misa penguburan kedua cucu Adam yang meninggal dunia di Negara tetangga, Brunei Darussalam itu dengan khidmat. Beberapa kidung yang bertema kematian mengiringi masuknya peti jenazah ke dalam liang lahat tempat peristirahatan terakhir kedua anak manusia berbeda usia itu. Saat butiran debu dan onggokan tanah merah perlahan-lahan mulai menutupi liang lahat tersebut, seluruh keluarga dan kolega menatap serta meratap perih kejadian tersebut. Terlebih lagi kedua orang tua Nathaniel Aryo Bramantyo, sang Ibu sangat histeris bahkan terlihat begitu emosional menangisi kepergian Putra bungsunya. Bahkan menjadi sangat membenci keluarga besar Ananta yang adalah merupakan keluarga besannya itu. Ibu dari dua anak kembar itu merasa bahwa Andreas yang juga sudah meninggal dunia benar-benar memanfaatkan tenaga, pemikiran bahkan jiwa dan raga Aryo untuk memajukan beberapa perusahaannya. Sehingga saat ia melihat Prayly dirumah duka sejak jenazah kedua pria itu disemayamkan kemarin, tak ada guratan suka sama sekali yang tergambar dari mimik wajahnya. Sementara sang Ayah yang masih duduk diatas kursi roda, beberapa kali menyalahkan dirinya atas kepergian Aryo. Ia membatin dalam hati jika semua ini salahnya karena harus sakit-sakitan hingga membuat keluarga Ananta membiayai seluruh pengobatannya di Negeri Jiran, Malaysia.
Ia juga berandai-andai jikalau penyakitnya itu tak ada, maka pernikahan antara Aryo dan Prayly pun mungkin saja tidak terjadi saat itu.
Jujur saja, kedua orangtua dari Aryo memang tak pernah tahu jika Anaknya benar-benar mencintai Gabriella Prayly Ananta dengan tulus. Karena dari tingkah laku kedua anak mereka, Emmanuel Arya Bramantyo lah yang memiliki rasa teramat dalam pada Prayly. Hingga kini tepatnya didepan makam sang Putera bungsu, Ibu Dewi masih bahkan semakin tidak menyukai sosok Prayly. Padahal kalau boleh waktu kembali diputar kebelakang, wanita paruh baya itu dulu sempat sangat menyukai Prayly saat perempuan itu masih dalam usia remajanya. Ia juga pernah berharap jika Prayly adalah jodoh untuk anak sulungnya yang juga berada tak jauh dari acara penguburan tersebut bersama sang Kekasih, Adinda Mauren Wijaya. Suasana berkabung terasa sekali dalam area pemakaman tersebut. Kini hanya rentetan kenangan sajalah yang dapat tergambar dalam memory tiap-tiap individu baik itu sanak saudara maupun mereka para rekan dan kolega yang mengenal mendiang kedua jasad kaku tersebut. Seperti saat ini, Gabriella Prayly Ananta sudah terduduk hening dan merasa tak bermakna diatas gundukan tanah merah tempat Aryo dikebumikan.
"Ayly, sabar yah? Lo harus kuat, Say. Aryo juga pasti bakalan ngak suka ngeliat lo sedih kayak gini. Ingat kondisi kandungan lo." Bella yang berada disana terus saja mengelus pundak sahabatnya, sebagai ungkapan rasa bela sungkawa.
Sedangkan Miranda, sudah sedikit tenang dan tak lagi berteriak dalam dekapan putra semata mayangnya yang juga berada tak jauh dari tempat Bella dan Prayly berada.
"Mami enggak kuat, Ky. Mami pengen ikut sama Papi aja. Biasanya Papi selalu bisa lolos dari senjata musuh-musuhnya kan, Ky? Kenapa sekarang Papi malah pergi ninggalin Mami kayak gini, Ky?" Miranda mengoceh tanpa bisa mengeluarkan air matanya lagi.
Pelupuk mata yang sudah sangat membengkak itu seakan telah kehabisan airnya. Sementara sang Ibu meracau, Ricky Ananta semakin pula menguatkan pelukannya. Lelaki itu tak dapat mengeluarkan sepatah kata untuk menjelaskan atau juga menjawab segala pertanyaan Miranda. Saat para pelayat satu persatu sudah meninggalkan tempat pemakaman yang terisi oleh beberapa makam dari keluarga Ananta, maka disitulah sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
"Firasat seorang ibu memang tak pernah meleset. Aku selalu ragu untuk menyetujui pernikahan kilat kalian yang tidak pernah ku hadiri itu dan sekarang terbukti. Dibalik ketidak adaan kami dalam acara pemberkatan maupun resepsi mewah itu kemudian membuat Aryo pergi selama-lamanya. Kau memang perempuan pembawa sial!"
Dewi Bramantyo, Ibu kandung Mendiang Aryo itu pun mulai membuka suara dan dengan lidah tajamnya ia mulai melampiaskan semua rasa terpendam, duka lara dan juga semua nestapa yang ia rasakan. Sontak semua mata sanak saudara keluarga Ananta dan juga Bramantyo pun tertuju pada wanita tersebut. Mereka kaget dengan ucapan menusuk yang dialamatkan pada Prayly. Sedangkan Prayly yang mendengar hal itu pun merasa seperti ada sambaran petir di kala badai, datang menghempas dan mematikan tubuhnya seketika. Ia tak menyangka jika Ibu dari mendiang Aryo akan berkata demikian padanya karena saat kemarin mereka bertemu, telapak tangan orang tua itu masih ia cium berserta kedua pipi putihnya. Tapi kenapa hari ini, disaat tanah pekuburan suaminya masih sangat basah ia malah mendapati penolakan yang lebih tepat disebut sebagai sebuah penghinaan karena telah melangkah bersama Putera bungsunya menuju ke Altar Tuhan.
"Ma, apa-apaan ini? Malu sama semua orang yang ada disini, Ma. Ayo kita pulang, Ma."
Arya Bramantyo tiba-tiba saja datang dan segera meraih tubuh rapuh sang Ibu yang semakin dekat dengan posisi tempat Prayly berjongkok. Lelaki itu benar-benar takut jika Mamanya sampai melukai Kakak Iparnya. Bukan kenapa-napa, sudah menjadi rahasia umum di antara kedua keluarga tersebut bahwa lelaki yang biasa di sapa Arya itu adalah sahabat karib Prayly dan beberapa dari mereka bahkan ada yang mengetahui rahasia isi hati si lelaki. Jadi sudah pastilah dia akan membela perempuan yang masih ia cintai itu.
"Biarkan Mama bicara, Arya. Kamu jangan membelanya hanya karena Aryo sempat menitipkan isteri dan calon anaknya itu ke kamu. Mama sama sekali tidak akan pernah rela wanita pembawa sial ini menghilangkan nyawamu seperti Kakak mu, Aryo!"
Lagi-lagi ucapan tajam yang mengalir dari mulut Dewi Bramantyo itu sukses membuat semua pasang mata kedua keluarga besar tersebut menjadi termangu. Terlebih lagi Prayly Ananta dan tentu saja Mauren Wijaya. Perempuan yang berstatus janda itu tak percaya jika Aryo sempat menitipkan dirinya pada Arya, dalam artian menyuruh Adiknya untuk naik ranjang. Sementara Mauren, ia benar-benar geram dengan sahabatnya. Dia merasa Prayly memang perempuan pembawa sial karena sudah tiga kali wanita itu kehilangan nyawa orang terkasihnya. Pertama adalah Ibu kandungnya tak selamat saat melahirkan ia ke dunia. Kedua, Ayah kandungnya yang juga pergi karena terpanggang api karena rela menolong-nya, serta yang ketiga tentu saja nyawa Aryo. Lelaki yang dijodohkan oleh Paman kandung Prayly sementara saat itu, Mauren sangat tergila-gila pada sosok tampannya.
"Cukup Ma, ayo kita pulang. Dinda, tolong bawa Papa yah?" Arya kemudian merangkul dan membimbing sang Mama menuju ke pintu gerbang area pemakaman keluarga Ananta itu. Saat berjalan, mata Arya tak sengaja bersibobok dengan netra coklat tua sang pujaan hati yang berstatus janda Aryo Bramantyo, Adik kembarnya.
Melihat mata letih dan gurat kesedihan yang terpancar dari sana, perasaan iba dalam hati seorang Arya pun kian datang menghampiri. Maka kembali lagi ia mengingat bagaimana cerita masa lalu yang sempat terjalin diantara mereka berdua serta tak lupa pula pesan terakhir dari Adik kembarnya. Sementara Prayly yang melihat kepergian keluarga Bramantyo dengan keadaan menyimpan kekesalan besar padanya itu pun tak bisa berkata apa-apa. Ia sendiri saja masih kaget dengan kedatangan Arya yang sejak tadi selalu digandeng mesra oleh Mauren, sahabatnya.
Apalagi jika harus ikut berpikir tentang hal yang lebih sulit dicerna oleh nalarnya mengenai amanat terakhir dari Mendiang Aryo yang tadi sempat terlontar dari mulut Ibu Mertuanya? Tak akan pernah bisa ia kembali terlihat seperti seorang penjahat dengan menyodorkan dirinya yang kini tengah mendapat predikat buruk sebagai wanita pembawa sial untuk kesekian kali.
Lelah yang teramat sangat ia rasakan mana kala kebahagian sepanjang hidupnya hanya berjalan sesingkat itu, meskipun dalam nalar manusia sebenarnya hal tersebut jelas-jelas bukan salah seorang Prayly Ananta. Di karenakan ajal manusia terdekatnya memang sudah tertulis digaris tangan seperti itu dan sebagai manusia biasa, manalah bisa ia kembali menghidupkan raga ketiga manusia terkasihnya yang telah tak bernyawa itu. Hal tersebut sama saja seperti si pungguk merindukan bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)
ChickLitTulisan pertama beta. Kalau masih berantakan, mohon dimaafkan. Aku selalu sadar bahwa takdir kita manusia hanya ada di tangan sang Empunya dunia. Namun, apakah ini adil Tuhan di saat aku mengandung benih darinya, Engkau malah merenggut nyawany, dan...