Tetesan air hujan membasahi bumi. Air tersebut turun tanpa bisa di cegah dengan sangat deras. Perempuan yang kala itu mengenakkan long dress hitam yang baru saja turun dari taxi pun sedikit mempercepat langkah kakinya di antara tanah becek dan berair. Ia sedikit bersyukur karena tadi sempat melilitkan selendang berwarna senada dengan long dress brokat-nya saat hendak datang ke tempat itu. Sehingga kala tetesan air hujan mulai turun seperti saat ini, ia dengan segera menarik kain selendang yang terlilit di leher jenjangnya, lalu kemudian menutupi kepala serta surau hitam legam itu. Perempuan itu kemudian makin mempercepat langkah kakinya, bahkan ia seperti setengah berlari karena merasa rintikan air yang turun semakin deras. Naasnya, karena tidak sama sekali memperhatikan jalan, maka sandal yang gunakan saat itu pun tak sengaja menginjak tanah lempung yang berada di sana. Maka sepersekian detik kemudian tubuh berbadan dua itu pun oleng dan hilang keseimbangan.
"Hup"
Beruntung dua buah tangan kekar seseorang dengan sigap menangkap tubuh yang hampir jatuh itu hingga posisi mereka kemudian seperti sepasang cucu Adam yang sedang berpelukan.
"Egh... Maaf, nona! Anda baik-baik saja kan?"
Pria yang ternyata adalah Arya Bramantyo itu bertanya seraya membantu sang perempuan berselendang hitam untuk berdiri dengan benar.
"Ach, aku enggak kenapa-napa kok. Mak... Egh... Ar... Arya?"
Perempuan yang ternyata adalah Prayly Ananta itu berkata sembari menyibakkan selendang hitam yang menutupi wajah cantiknya. Ia kemudian kaget mana kala mengetahui jika yang telah menolongnya tadi adalah sang Kakak Ipar, Arya Bramantyo.
"Aylyyyy...! Maaf, aku kira tadi kamu siapa? Emmm... Kamu, mau ke makam Aryo juga?" tanya Arya dengan perasaan sedikit canggung karena sudah lama tak saling menyapa sahabat yang sudah menjadi Adik Iparnya itu.
"I..iya... Ya, aku mau nyekar ke makam Aryo. Sekalian mau pamit juga. Lusa aku pulang ke Bali. Emmm... Maaf yah, kalo kemarin malam aku ngak ikut Ibadah Misa malam ke tiga meninggalnya Aryo di rumah kamu. Tapi malah mengikut sertakan Aryo dalam Misa malam ke tiga mendiang Papi Andreas. Kondisi Mami Miranda baru ajah sembuh dari kritisnya. Jadi yah, aku sama Bella harus menyiapkan segala sesuatu untuk acara itu kemarin."
Prayly berkata dengan sedikit gugup di depan Arya yang menatapnya dengan tatapan memuja. Ia bahkan harus membuang wajah ke arah lain agar tak terlihat merona di antara tetesan hujan yang jatuh ke bumi itu.
"Emmm... Sepertinya kita harus berteduh, Ly. Kondisi kamu sedang tidak sendiri sekarang. Kasihan keponakan aku nanti."
Arya berkata sembari menarik pergelangan tangan Prayly dan membawanya ke pendopo kecil yang berada di pinggir makam pribadi keluarga Ananta itu. Sementara Prayly, ia benar-benar kaget melihat Arya menggandeng tangannya. Dalam hati entah mengapa ada perasaan bahagia mana kala lelaki itu melakukan hal tersebut padanya. Namun satu sisi ia segera menepis semua perasaan bahagia tadi setelah ia berpikir lagi.
"Dia berkata kasihan untuk keponakannya, Ly. Jadi secara otomatis yang ia khawatirkan itu calon bayi dalam perut mu ini. Bukan dirimu." suara batin Prayly bergema di antara rintik hujan.
Perempuan itu kemudian berusaha memasang wajah datar di depan Arya. Ia tak ingin terlihat seperti wanita jalang yang berada dalam pelukan banyak lelaki, terlebih lagi kuburan suaminya bahkan masih basah tertutupi. Arya yang melihat perubahan di mimik wajah Prayly yang tadi sempat merona karena ulahnya dan juga sempat sedikit senang, tiba-tiba saja ikut diam tak bergeming. Lelaki itu berpikir banyak hal di pendopo itu. Tapi yang ia jadikan subjek dalam pikirannya tentu saja Prayly Ananta.
"Apa benar dia ingin pergi ke Bali lagi? Kenapa? Apa dia belum bisa melupakan perasaan cintanya ke Aryo? Lalu bagaimana dengan perutnya yang pasti akan kian membesar? Jika dia ingin makan sesuatu di tengah malam? Siapa yang akan membantunya mencarikan makanan itu? Apa Ayly mampu membesarkan sendiri Anaknya? Bagaimana dengan pesan terakhir dari Aryo untuk ku?"
Arya melipat kedua tangannya di dada sembari terus bergumam dalam hati tentang semua hal mengenai sosok sang Adik Ipar, Prayly Ananta yang saat ini sedang berdiri tepat di depan matanya itu. Hembusan angin yang disertai dengan tetesan air hujan kemudian menerbangkan selendang yang Prayly gunakan untuk menutupi area seputar kepalangnya. Maka kini terpampang nyata di depan Arya pemandangan indah yang membuat jantungnya berdetak sangat kencang bagaikan seorang pelari yang berlomba merebut tempat pertama di sebuah perlombaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)
Genç Kız EdebiyatıTulisan pertama beta. Kalau masih berantakan, mohon dimaafkan. Aku selalu sadar bahwa takdir kita manusia hanya ada di tangan sang Empunya dunia. Namun, apakah ini adil Tuhan di saat aku mengandung benih darinya, Engkau malah merenggut nyawany, dan...