"Prayly.... Ceeepattttt... Tuuuruuunnn... Apa yang kau lakukan diatas sana berlama-lama, Praylyyy...?"
lagi-lagi Erica berteriak memanggil nama Prayly. Sedang gadis yang kala itu berdiri mematung di depan jendela kamarnya, pun segera bergegas membawa koper dan tas tangan keluar kamar. Sebenarnya Prayly sudah selesai berbenah dari beberapa jam yang lalu. Hanya saja ia menghabiskan sisa waktu di detik-detik kepergiannya dengan memandang ke luar jendela kamar.
Prayly memandang ke arah jendela kamar Arya yang sedikit terbuka. Dari balik lapisan kain horden tipis yang menutup jendela kamar ia berharap Arya juga melakukan hal yang sama sepertinya. Prayly berharap Arya juga sedang menatap keluar jendela dan melihat Prayly disana. Namun sayang, hingga teriakan Bunda tadi Arya tak juga menampak kan batang hidungnya disudut jendela kecil itu. Maka dengan langkah gontai akhirnya Prayly pun pergi dari kamar lalu menghampiri Sang Bunda setelah sebelumnya menutup jendela kamarnya.
"Oh Tuhan, apakah harus seperti jalan hidup kami berdua. Terpisah oleh puluhan jarak dan waktu. Kenapa gue ngerasa seperti seorang pesakitan di dalam jeruji besi yang melakukan dosa besar? Gue harap biar Arya aja yang pergi duluan ngikutin keluarganya pindah ke luar kota. Tapi ini malah diluar dugaan dan gue yang ternyata harus duluan pergi ninggalin dia sekarang. Sialnya lagi gue ngerasa berdosa banget pergi tanpa bisa menemuin dia cuman buat pamitan doang. Kabar dadakan dari Bunda dan semua sikap protect yang ngelarang gue dekatan dengan Arya itu lah, yang buat gue enggak bisa pamitan. Padahal rumahnya cuman berada beberapa meter di depan rumah gue. Haruskah gue pergi dengan cara seperti ini, Tuhan?"🍃🍃🍃
"Cepat masukkan koper-koper Prayly ke dalam bagasi, Bi Surti!" perintah Bunda pada Bi Surti yang sanggup menghilangkan segala lamunan-lamunan ku tentang Arya.
Bi Surti pun dengan cepat menerima pegangan koper itu dari genggaman tangan Prayly lalu berjalan menuju garasi dan memasukkan ke dua koper tersebut ke dalam bagasi mobil. Erica mendekati Prayly dengan senyum sinisnya. Ia lalu kekeh melihat wajah Prayly.
"Apa yang tidak bisa aku lakukan kepada mu Prayly? Sudah ku katakan bukan, jadilah anak penurut jika kau ingin aku mengasihani mu." ucap Erica sembari terkekeh sinis.
Prayly hanya bisa menundukkan kepala dengan pasrah ke arah lantai dingin yang ia pijak. Sekilas gadis itu seperti merasa wanita yang berdiri sembari berkacak pinggang itu bukan ibu kandung yang menghadirkannya ke dalam dunia fana ini. Namun cepat-cepat ia menepis pikiran itu dan terus terdiam berdiri mematung memandang setiap sudut rumah yang akan ia tinggalkan beberapa menit lagi.
"Well... Cepat masuk ke mobil dan jangan berpikir untuk melarikan diri! Kau dengar ucapan ku anak sial?" ucap Erica berkata dengan sedikit berteriak.
Wanita bengis itu kemudian membalikan badannya lalu berjalan menuju kearah garasi rumah. Prayly pun terpaksa mengikuti langkah sang Bunda dengan gontai. Ia Tak ingin wanita itu kembali berpikir yang tidak-tidak lagi, maka kali ini dia putus kan akan menuruti semua perkataan mau pun perintah dari Bundanya. Erica langsung masuk menuju kursi pengemudi dan menyuruh Prayly duduk dikursi sebelah. Sebelum mobil keluar dari garasi, Erica lebih dulu mengambil ponsel yang berada dikantong blezer lalu mengutak ngutik benda itu dan menempelkan pada telinganya.
"Hallo Gunaldi! Saya sedang menuju ke airport sekarang, kamu tunggu disana setelah itu bawa mobil ini kembali ke rumah." ucap Erica to the point tanpa berbasa basi ia lalu menutup teleponnya.
Erica ternyata menyuruh Gunaldi, mantan supir pribadi mendiang Suaminya untuk mengambil mobil yang di kendarainya itu dan mengantarkan kembali ke rumah.
Mendiang Felix Ananta sangat percaya terhadap Gunaldi hingga ia bekerja dengan keluarga Ananta dari muda dan belum menikah. Semenjak Felix Ananta meninggal dunia, Gunaldi tak lagi bekerja sebagai supir pribadi dikeluarga Ananta. Pria paruh baya itu kini bekerja sebagai Kepala divisi HRD pada perusahaan yang sekarang dipimpin oleh Erica tersebut. Wanita itu memberikan posisi tersebut sebagai balasan atas kejahatan yang salah sasaran tentang kejadian kebakaran dirumahnya setahun lalu. Prayly turut senang Ayah dari sahabat nya itu sudah tak bekerja sebagai seorang supir pribadi lagi. Akan tetapi beberapa bulan setelahnya, Pak Gun seperti berubah menjadi orang aneh. Setiap Bunda menyuruhnya mengantar beberapa berkas kantor ke rumah dan tanpa sengaja bertemu dengan Prayly, Pak Gun selalu saja memasang mimik muka ketakutannya. Pak Gun terlihat gelagapan saat Prayly menyapa atau sekedar berbasa basi dengan Pria itu. Ia pun terkadang sering kurang focus ketika Prayly bertanya tentang kabar Isteri dan Bella, sahabat akrab anak majikannya itu. Tapi Prayly selalu mengacuhkan semua keanehan yang terjadi pada Pak Gun itu. Bagi Prayly Pak Gunaldi adalah seorang sosok Bapak yang baik dan jujur dalam keluarga dan juga pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian ada pergerakan dalam benda yang beroda empat ini. Ternyata Erica sudah mulai menjalankan mobil keluar dari garasi rumah. Prayly membuka sedikit kaca mobil sang Bunda dan melihat Bi Surti yang melambaikan tangan pada nona kesayangannya. Prayly juga melihat Bi Surti sempat menyeka wajahnya dengan sehelai kain. Gadis itu seolah dapat merasakan bahwa Bi Surti pasti sedang menangisi kepergian dirinya.
"Selamat tinggal Bi, doakan Prayly biar hidup bahagia bareng bunda disana" gumam Prayly dalam hati.
Erica memundurkan mobil dari bagasi lalu mengambil posisi ke sebelah kiri jalan tepat dimana Prayly dapat melihat dengan leluasa ke arah rumah Arya. Prayly terus menatap rumah itu sampai mobil Erica berlalu melewatinya. Dari celah-celah pagar rumah itu Prayly dapat melihat Papa dan Mama Arya sedang berada dipekarangan rumah sedang duduk dan bercengkerama. Sayangnya ia tidak melihat arya karena lelaki itu tak berada disana. Gadis itu sedikit termenung sambil bertanya dalam hati kemana Arya saat ini.Biasanya saat weekend seperti ini dan setelah makan siang, Arya selalu duduk menaiki ayunan besi yang berada dihalaman rumah mereka sambil memainkan gitarnya. Lelaki itu terkadang sengaja bernyanyi-nyanyi dengan lantang agar Prayly dapat mendengar kan suara merdunya, lalu membuka jendela kamar dari atas kemudian saling bertatapan hingga tertawa berdua. Tapi siang ini entah mengapa Prayly tidak melihat keberadaan Arya diatas ayunan dan juga di teras rumahnya.
"Ke mana pergi nya anak itu?" Batin Prayly bertanya-tanya.
Sementara Prayly bertanya-tanya dalam hati, Erica tiba-tiba mengeluarkan suaranya sembari mengejek.
"Cih... Bocah tengik seperti itu masih saja kau pikirkan. Kau mau tau Prayly? Aku sudah menyuruh orang untuk menyampai kan surat palsu padanya agar ia mau menemui mu di danau tempat kalian suka bermain-main. Jadi jangan berharap jika kau bisa kabur dari ku setelah kalian sekilas bertatap muka. Hahaha... Lucu sekali aku melihat anak kecil seperti kalian jalan berpegangan tangan bahkan berpeluk-pelukan layaknya orang dewasa di tepi danau itu" ucap Erica terkekeh sinis mencemooh putri tirinya itu dengan sengit.
Prayly tersentak kaget mendengar ucapan tadi. Ia tak mengira sang Bunda dapat mengeluarkan kata-kata mengejek seperti itu. Seolah bagi Sang Bunda, Prayly adalah seorang gadis jalang yang menjajahkan tubuhnya pada para lelaki hidung belang. Hatinya mencelos menahan sakit yang atas segala hinaan sang Bunda. Air mata kesedihan yang sedari tadi coba dibendung sejak mereka meninggalkan pelataran rumahnya, pun sudah tak dapat ia bendung lagi.
"Semua yang Bunda lihat enggak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara kami, Bun! Prayly bukan gadis jalang seperti yang Bunda pikirin.
Arya adalah sahabat baik Ayly. Ayly enggak bakal pernah mau ngelakuin hal nista yang akan mencoreng nama baik keluarga Ananta dan Wibisono, Bun!" ucap Prayly melihat ke arah Bundanya. Wanita itu asyik mengendarai mobil tanpa menoleh sedikit pun pada Prayly, anak tirinya.
Erica melirik Prayly sekilas. Ia tidak perduli dengan semua isak tangis yang menyayat hati itu. Bagi Erica kelahiran Prayly di dunia telah membuat hidupnya hancur sehingga ia pun kekeuh mengangap Prayly sebagai anak pembawa sial. Kehadiran Prayly sejak awal dalam rahim Erina, sang Kakak membuat ia harus kehilangan kesempatan merebut Felix Ananta dulu. Erica juga terpaksa pergi meninggalkan Indonesia dan menetap di Australia hingga ia mendengar Kakaknya meregang nyawa karena melahirkan.
Sejujurnya saat itu Erica sudah mulai bisa membuka hati untuk pria lain yang datang mendekatinya. Ia mulai bisa mengiklaskan Erina dan Felix bahagia. Namun takdir ternyata berkata lain, ia kehilangan kakak satu-satunya dari dunia ini. Semua tak lain karena anak perempuan yang ia anggap pembawa sial dalam hidupnya. Ibu tiri itu selalu menyalahkan Prayly atas semua musibah yang secara tak kasat mata terjadi akibat ulah darinya. Erica lantas memanfaatkan kesusahan Pak Gunaldi yang kala itu sedang membutuhkan dana besar untuk pengobatan kista Istrinya, sebagai senjata agar mengikuti perintah untuk membakar gudang belakang rumah lama mereka dulu. Karena gudang belakang rumah itu berdekatan dengan kamar Prayly.
Erica saat itu ingin agar anak dalam rahimnya sajalah yang akan menjadi satu-satunya pewaris tunggal kekayaan Felix Ananta yang merupakan CEO perusahaan minyak bumi terbesar di Negeri ini. Namun semua sia-sia belaka karena nyatanya Erica harus kehilangan Felix dan calon bayinya secara beruntun. Erica juga harus menjalani penyembuhan traumatic dirinya di Singapura akibat kehilangan calon bayinya. Di saat ia sudah berangsur-angsur pulih dan pulang ke Indonesia, Erica juga harus menerima kenyataan pahit dari pengacara Felix bahwa Suaminya itu tak memberikan secuil harta kekayaannya sedikit pun atas namanya. Felix malah mengatasnama kan semua aset kekayaannya pada Prayly, sang Puteri tunggal. Erica hanya bisa menjadi wali dari Prayly hingga ia berusia 21 tahun. Kini rasa belas kasihan Erica sebagai seorang Tante dan Ibu Tiri sudah hilang entah kemana berganti dengan rasa benci yang akan selalu ia luapkan kepada Prayly terus menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
BALI, LOVE & SACRIFICE (MASIH LENGKAP)
Chick-LitTulisan pertama beta. Kalau masih berantakan, mohon dimaafkan. Aku selalu sadar bahwa takdir kita manusia hanya ada di tangan sang Empunya dunia. Namun, apakah ini adil Tuhan di saat aku mengandung benih darinya, Engkau malah merenggut nyawany, dan...