[Katelyn Millia]
Tadi pagi, sebelum Richard berangkat kembali ke tempat kerjanya, dia berpesan agar aku membujuk Lara untuk melepas kerudungnya dan mencari tahu kenapa ia menemui orang-orang muslim itu. Wajahnya sangat serius sewaktu memintanya, seakan dia akan melakukan sesuatu padaku bila aku tidak menurutinya. Itu membuatku sedikit merinding, terutama karena Richard membawa nama keluarga dalam kalimatnya.
"Kautahu alasan kita tidak boleh berhubungan dengan para muslim itu. Jadi, lakukan apapun agar Lara tidak terpengaruh oleh mereka," adalah perkataan Richard setelah keluar dari pintu depan. Dia bahkan tidak menunggu jawabanku dan menutup pintu keras-keras.
Sejujurnya, aku merasa sedikit jengkel. Richard marah pada Lara karena mengenakan kerudung serta melarang dia untuk bertemu orang-orang itu. Suzanne juga terlihat tak suka dengan keinginan Lara untuk berkunjung ke distrik para muslim tersebut. Bahkan Cecile, sebagai ibu kandungnya, menganggap agama Islam sebagai agama setan sampai-sampai membawa Lara ke pendeta untuk melakukan pengusiran.
Akan tetapi, kenapa mereka bersikap seperti itu? Apa karena Joseph? Maksudku, Joseph adalah Joseph, sedangkan Lara adalah Lara. Mustikah disamakan? Aku bahkan ragu Suzanne mengenal Joseph karena sewaktu kejadian itu dia dan Lara masih amat kecil.
"Ya, Tuhan. Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku menghela napas. "Ini bisa membuatku gila." Seperti adikku yang terlalu overprotektif pada putrinya sendiri. Suzanne sendiri menganggap bahwa bibinya itu tidak waras sampai-sampai terkadang menolak bila aku memintanya untuk mengunjungi Lara.
Aku mengacak-ngacak rambut, rasa depresi menghantuiku, yang ternyata diperhatikan Lara dari seberang koridor. Dari sinar matanya saja aku yakin gadis itu ragu untuk mendekat.
"Sejak kapan kau di situ, Lara?" tanyaku, menegapkan tubuh.
"Err ... Anu," kentara sekali ia bingung memilih kata, "sejak kau mengacak-ngacak rambut, Bibi," jawabnya tersenyum paksa.
Menyipitkan mata pada Lara, aku menduga apa dia memang tidak mendengar permintaan Richard kepadaku?
"Bibi, sebenarnya ... apa ada yang bisa aku lakukan untuk mengisi waktu? Maksudku, aku dan Suzanne sedang bertengkar, jadi aku bingung mau melakukan apa."
Mataku membulat. "Bertengkar? Bagaimana bisa?"
Lara terlihat tak yakin menjawab. "Aku juga sebenarnya tidak tahu. Akan tetapi, kurasa karena," dia mengangkat ujung kerudungnya, "benda ini."
Sudah kuduga.
Aku menghela napas dan mengajak Lara pergi ke ruang tamu. Kutuntun ia untuk duduk di sofa. Kami berhadap-hadapan selama beberapa detik, sampai-sampai aku merasa tidak nyaman--apalagi Lara. Waktu berjalan sangat lambat bagiku, mungkin karena tidak tega melihatnya setelah apa yang aku hendak lakukan.
Menghela napas sekali, aku mencoba memantapkan hati. "Sejak kapan kau mengenal Islam ini, Lara?"
Gadis itu terhentak. "Kurasa delapan hari lalu," jawabnya setelah berpikir sekian detik.
"Dan, berapa lama kau menjadi anggota keluarga ini?"
Mata Lara mengerjap-ngerjap. "Sepanjang umurku, lima belas tahun."
"Dari mana kau mengenal Islam?"
"Internet."
"Dari mana kau mengenal agama kita?"
"Keluarga, teman-teman jemaat, serta pendeta."
"Sudah dapat membandingkan?"
"Aku tidak mengerti."
Kembali aku menghela napas. "Dengarkan aku, Lara. Lima belas tahun kau ada di dunia ini, selama itu pula kau menjadi bagian dari keluarga kita, para nasrani. Ditambah lagi kau senantiasa ikut ibumu untuk pergi beribadah, baik itu dipaksa atau karena kau yakin itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Dengan kata lain, kaupaham dengan kepercayaan kita; perintah yang harus dikerjakan, hal-hal yang harus dihindari, semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...