29 Days After, night time;

688 89 2
                                    

[Cecile Douglas]

Malam ini, Lara makan malam bersamaku. Dia mulai mencoba bersikap seperti biasa, sekalipun terdengar sedikit enggan ketika membicarakan tentang sekolahnya. Lara terlihat memilah kata-kata, menyortir peristiwa apa yang bagus ia bicarakan dan tidak. Dia tak sekalipun menyinggung soal teman-teman muslimnya, sekalipun aku tahu dia masih berhubungan dengan mereka atas kesaksian keponakanku.

Kadang-kadang mereka bertemu sewaktu Lara mengira aku tak berada di sekitarnya, kata Suzzie saat aku meneleponnya tadi sore. Jadi, aku memberi mereka sedikit pelajaran, tapi itu bukan urusan Bibi. Semua baik-baik saja.

"Kau tidak melakukan hal yang aneh-aneh, kan?"

Hal yang aneh? Suzanne tertawa. Ya, ampun, Bibi! Memangnya apa yang bisa dilakukan freshman seperti aku di sekolah sebesar ini?

Jawaban itu tak dapat membuatku tenang. Bagaimana kalau anak itu melakukan sesuatu dan aku dijadikan tersangka? Headline berita "Penulis My Summer in Alaska jadi Tersangka Eksploitasi terhadap Anak di Bawah Umur" pun bergema di kepalaku.

Suzanne mungkin baru memasuki tahun keduanya, tapi setahuku dia orang yang manipulatif, suka bicara manis, seperti bagaimana kejadian yang terjadi saat dia masih di SMP. Maksudku, Katelyn menceritakan semuanya padaku, kalau Suzanne membuat seluruh sekolah menindas orang yang tidak disukainya, sekalipun ia tidak terlibat langsung dengan aksi itu. Kemudian, kejadian itu berhenti begitu saja di tahun ketiganya. Entah apa yang terjadi.

Aku menjamin kalau Lara sendiri tidak tahu menahu soal hal itu.

"Ibu." Lara memanggilku setelah potongan stik terakhirku masuk ke dalam mulut. "Apa ... Apa Ibu harus membuat Suzzie terus mengawasiku?" tanyanya, memainkan salad di atas piringnya.

Aku tidak langsung menjawab karena masih mengunyah. "Aku tidak bisa ikut ke sekolahmu karena harus bekerja, jadi tentu saja aku butuh pengganti."

"Tapi, aku yakin Suzzie juga kesusahan. Sebagian besar kelas yang dia ambil berbeda denganku. Jadi, kupikir--"

"Suzzie sendiri tidak protes. Jadi, kau tenang saja."

"Tapi--"

"Tidak ada tapi tapi lagi, Lara." Kuletakkan sendok dan garpuku agak kasar. Putriku berjengit karena bunyi yang dihasilkan. "Ini rumahku. Aku ibumu. Di sini aku yang memberi perintah, tak peduli kau suka atau tidak. Lagi pula," kusipitkan mataku, menatap Lara tajam, "masih untung aku meminta Suzzie alih-alih menyewa seorang bodyguard. Apa kaumau begitu?"

Aku berdiri dari kursi, setelah Lara yang berada di seberang meja menggelengkan kepala.

Saat aku berniat merapikan meja makan, Lara bertanya, "Kenapa Ibu melakukan semua ini?"

Kuurungkan niat untuk mengambil piringku. "Karena kau adalah putriku satu-satunya, " jawabku sembari mendekati Lara dengan tatapan sayu. "Kau tidak akan mengecewakan Ibu, bukan?" tanyaku mengelus kepalanya lembut.

Lara terdiam, tampak berpikir, sekalipun tak menunjukkan tanda-tanda ingin menjawab pertanyaanku seperti patung The Thinker yang terus merenung selama berabad-abad. Setelah beberapa detik keheningan, Lara menghela napas kemudian berujar, "Terima kasih atas makanannya," lalu pergi meninggalkan ruang makan.

Aku berpikir bahwa aku harus menemui pendeta lagi kali ini.

[Emilya Johnson]

Sewaktu aku menaiki taksi setelah pulang dari rumah Imran Said, aku memutuskan untuk menelepon Lara. Jam segini mungkin dia sedang makan malam atau malah sudah selesai--sejak dia tipe orang yang tidak makan banyak.

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang