[Richard Millia]
Hari itu, aku sengaja pulang dari kantor lebih dari cepat dari seharusnya sebab aku harus pergi ke rumah keluarga Carpenter. Nyonya Carpenter menyambutku dengan senyum hangat. Dia membawaku masuk ke ruang tamu, dimana Tuan Carpenter sedang duduk sambil memainkan laptopnya. Jemari veteran tentara itu berhenti memainkan keypad ketika melihatku tiba. Bibirnya mengembang, menampakkan giginya yang agak kekuningan khas penggemar kopi. Pria itu berdiri sambil membuka lengan, kemudian memelukku ramah.
"Sudah lama kita tak bertemu, Richard," katanya menepuk-nepuk punggungku pelan. "Aku merindukanmu," lanjutnya sembari menjabat tanganku.
Aku balas tersenyum. "Begitu pun aku, Pak Carpenter."
Setelah Nyonya Carpenter datang membawa jamuan dengan bantuan seorang asisten rumah tangga, aku mulai menceritakan kesaksian Suzanne di pusat perbelanjaan kemarin. Kedua orang tua Joseph tampak terkejut, tapi tak satupun dari mereka yang langsung merespons. Tuan Carpenter menyeruput minumannya, kemudian berjalan memutari sofa dan mendekat ke arah jendela besar yang menampakkan pekarangan depan rumah mereka yang luas.
Dia berpikir keras, sekalipun urat-urat tipis yang menonjol di pelipisnya tidak tampak menebal. Setelah semenit dalam keheningan. Tuan Carpenter kembali menoleh padaku. Kedua tangannya terlipat ke belakang.
"Menurutmu, dimana Joseph tinggal sekarang?" tanya pria itu dengan nada penuh keraguan.
"Kami sudah lama memikirkan ini." Nyonya Carpenter bersuara, menyebabkan aku mengalihkan pandangan kepada wanita berambut putih itu. "Kami ingin berbicara dengan Joseph."
"Berbicara? Apa Anda berniat memaafkannya?"
Tuan Carpenter duduk di sebelah istrinya. Dia meremas celananya. "Soal itu ... entahlah. Maksudku," pria itu memberi jeda untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya sekaligus, "sejak awal ini tak pernah menjadi salah Joseph. Para muslimlah yang membuat Joseph menjadi demikian. Mereka mengatakan hal-hal yang memikat."
"Sayang." Nyonya Carpenter meletakkan satu tangannya di atas tangan suaminya. Alisnya menekuk ke atas, menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Dia lalu menatapku. "Kami masih berharap Joseph mengubah pendiriannya. Tak ada orang tua yang ingin anaknya tersesat. Tapi membuatnya pergi dari rumah ini .... Kami tak seharusnya melakukan itu."
"Itu hanyalah keegoisanku karena tak terima mempunyai anak yang seorang pembelot." Pria memejamkan mata. Lalu dengan tangannya yang bebas, dia memijat pelipisnya. "Padahal, muslim atau bukan, orang baik-baik maupun tidak, Joseph tetaplah Joseph. Dia adalah anak kami."
Nyonya Carpenter menggenggam tangan Sang Suami. "Dengan menunjukkan bahwa kami masih dapat menerimanya bahkan setelah ia meninggalkan jalan ini, dia mungkin dapat kembali menjadi Joseph kami yang sebelumnya. Jika para muslim itu bisa membuat Joseph mengubah kepercayaannya, bukanlah mustahil kami dapat mengembalikannya."
Aku menghembuskan napas berat. "Setelah sepuluh tahun berlalu? Bukankah sudah terlambat untuk itu?" tanyaku lamat-lamat, berusaha memilah kata yang tak membuat mereka tersinggung berat.
"Tak ada kata terlambat dalam tobat, Richard," kata Tuan Carpenter. "Kami akan tetap menunggunya."
Mataku membulat. Tenggorokanku tercekat mendengar perkataan mereka. Memaafkan seseorang yang sudah mengkhianati Tuhan tak pernah ada di kamusku. Itu terlalu sulit, kecuali mereka kembali ke jalan ini. Joseph sudah bukan dari kalangan kami dan tak seharusnya melupakan seorang pengkhianat semudah yang dilakukan oleh orang-orang tua ini. Aku tahu tak pernah sekalipun kami diajarkan untuk saling membenci, sekalipun itu dengan seseorang yang berbeda keyakinan.
Sayangnya, Kristus adalah segalanya bagiku. Sang pembawa kebenaran adalah Tuhan Yesus semata alih-alih Muhammad yang mereka eluk-elukkan. Aku tak pernah sekalipun mempermasalahkan tentang banyaknya jenis keyakinan di dunia ini. Akan tetapi, ketika suatu kelompok sudah menyakiti keluargaku, kerelaan untuk mempertahankan kebaikan untuk mereka seperti ribuan jarum yang menghujam dadaku.
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap mereka tajam. "Aku tak bisa melupakan masa lalu begitu saja."
Dahi Tuan Carpenter mengerut.
"Berat untukku untuk menceritakan ini, tapi aku harus memberitahu kalian sesuatu."
Sepasang suami istri itu saling memandang. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...