[Richard Millia]
Percakapan kami semalam tentang Joseph tidak berlanjut.
Keesokan harinya aktivitas kami berlangsung seperti biasa; bangun pagi, sarapan, kegiatan lainnya, hingga aku mendapat telepon dari kantor untuk segera datang karena ada kondisi darurat, padahal malam ini adalah malam tahun baru dan aku sedang dalam masa cuti. Itu membuat Suzanne menghela napas kecewa.
Dia mengikutiku hingga ke garasi, bersandar pada kusen pintu sambil melipat tangan. Suzanne mengeluarkan kekesalannya tanpa basa-basi, tentang bagaimana aku mengutamakan pekerjaanku daripada keluarga, sekalipun aku sudah berjanji akan pergi bersamanya di malam tahun baru ini. Namun, aku hanya menjawab, "Kau bisa pergi dengan ibumu ke pesta tahun baru itu, Suzanne. Tuan dan Nyonya Stewart pasti bersedia menambah dua orang lagi di van mereka."
Kemudian, tanpa berkomentar lebih lanjut, aku menyetir menyeberangi halaman dan menelusuri jalanan yang lengang. Melalui kaca spion, aku dapat melihat Suzanne menendang segunung salju di pinggir jalan. Aku tahu dia pasti amat kesal. Sayang, aku tidak mampu melakukan apa-apa.
Aku memulai panggilan melalui ponselku ketika sudah menyetir cukup jauh dari rumah. Suara bawahanku terdengar melalui earset yang telah kupasang sejak menyetir tadi. Pria itu mulai menjelaskan situasi yang terjadi di perusahaan listrik tempat aku bekerja, meminta pendapat akan apa yang harus ia katakan kepada para pekerja sembari menunggu aku tiba di sana.
Aku tahu seharusnya mendengarkan apa yang dikatakan oleh bawahanku. Aliran listrik seluruh kota mungkin bergantung pada keputusanku dari bagaimana aku menyikapi situasi. Akan tetapi, sewaktu aku menyetir melewati jalan menuju rumah kediaman Douglas, kakiku spontan menginjak rem.
Beberapa meter dariku berdiri tiga orang muslim seumur Suzanne. Si lelaki dan perempuan berkulit hitam, tulang wajah mereka membuat siapapun tahu kalau mereka punya darah Arab dalam nadi mereka. Sedangkan muslim yang lain pastilah berdarah Amerika, dari kulit putih pucat serta mata abu-abu yang cerah. Aku meneguk liur sewaktu menyadari keadaan.
Itu Lara, keponakanku.
Tanpa komando, aku keluar dari mobil tanpa mematikan ponselku--bawahanku terdengar memanggil-manggil namaku dari seberang telepon karena aku tidak kunjung berbicara. Perasaanku tidak enak. Pemandangan di depanku mengatakan bahwa situasi ini jauh lebih penting daripada pekerjaanku.
"Paman?" Lara terkejut menyadari kehadiranku tepat di sebelahnya. "Selamat pagi, Paman--"
"Jauhi orang-orang ini, Lara."
Kedua muslim itu terhentak. Yang lelaki mengernyitkan dahi, sedangkan yang perempuan menghela napas panjang.
"Maafkan kami, Tuan," kata muslim perempuan. "Biarkan kami memperkenalkan diri. Saya Aeesha--"
"Aku tidak peduli," selaku tajam, lalu melirik Lara yang masih memperhatikanku. Mendecak, aku menyipitkan mata ke arah dua muslim itu. "Jangan sekalipun mencoba untuk mempengaruhi Lara dan membawanya ke komunitas kalian. Tidak cukupkah bagi kalian membawa seorang saja?"
"Maaf, Tuan. Tapi, kami tidak melakukan apa-apa." Muslim lelaki mengelak, yang membuatku semakin kesal. "Itu adalah--"
"Kau tidak dengar kataku?" Aku mengepalkan tangan. "AKU TIDAK PEDULI!"
Ketiga remaja itu berjengit bersamaan.
"Sekarang, menjauh dari keponakanku dan jangan tunjukkan wajah kalian lagi! Atau akan kupanggil polisi!"
Telepon terdengar ditutup dari earset-ku.
Kutarik tangan Lara, menuntunnya masuk ke dalam mobil. Kedua muslim yang tadi berbicara dengannya mematung di tempat, terlihat syok. Kemudian, aku menyetir pulang.
[Suzanne Millia]
Sudah sepuluh menit sejak ayah kembali ke rumah, tetapi dia tidak kunjung menutup teleponnya dan berjalan bolak-balik dengan panik di koridor rumah. Aku tahu ayah sibuk--dia selalu sibuk--dan aku mencoba untuk memaklumi itu. Akan tetapi, entah mengapa rasanya kesal sekali karena belum sejam ayah berangkat dari rumah, dia telah kembali dengan membawa Lara bersamanya. Sepupuku itu masih mengenakan kain lebar untuk menutupi seluruh tubuhnya seperti kemarin. Seolah-olah dia sedang cosplay menjadi Harry Potter.
"Suzzy, tatapanmu terlihat mengerikan." Lara berkomentar, menebar senyum sembari duduk di atas sofa ruang tamu. "Apa ada sesuatu di wajahku?"
Alih-alih menjawab, aku malah balik bertanya, "Kenapa?"
Lara tertegun mendengar ucapakanku. Dia tampak berpikir sebentar. "Aku bertemu Paman di jalan. Jadi--"
"Kenapa kau masih menggunakan kain itu?" Telunjuk kananku mengarah pada kain yang membaluti tubuh Lara.
Sepupuku berkedip-kedip. "Oh, ini kerudung yang kubuat sendiri dari salah satu sepreiku." Dia mengangkat tangan, menunjukkan aku telapak tangan yang berhiaskan plester luka. "Aku beberapa kali tertusuk jarum saat menjahitnya."
"Apa karena itu Ayah membawamu kemari?"
Mata Lara melebar mendengarku. Mengalihkan pandangan, dia berkata pelan, "Aku tidak tahu."
"Aku punya teman muslim di sekolah." Aku melipat tangan, bersandar pada dinding ruang tamu. "Dia gadis yang baik dan ramah," ujarku bernada sarkastis, sekalipun aku ragu Lara menangkap maksudku berbicara demikian.
"Benarkah?" Mata Lara berbinar. "Dapatkah kau mengenalkannya padaku?"
Aku mendecak. "Tidak akan. Toh, kau tidak akan pernah ke sekolah juga."
Setelah itu, aku meninggalkan ruang tamu. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...