[Emilya Johnson]
Aku, Suzanne, Lara dan Jessica turun berbarengan dari bis sekolah dan mulai menelusuri jalan. Kami berjalan berpasangan, Lara dan Jessica berjarak beberapa meter di depanku dan Suzanne. Pembicaraan mereka yang sedang seru-serunya membuatu ingin turut nimbrung, sebab Suzzy terlihat begitu muram dan tak bersemangat.
Sahabatku menunduk, seolah trotoar jauh lebih menarik baginya daripada pemandangan lain. Tangannya memegang ponsel sejak di bis, tepatnya setelah ia menelepon seseorang yang menghadirkan raut syok di wajahnya. Aku ingin bertanya, tetapi berdasarkan pengalamanku saat-saat ini tak boleh bagiku untuk ikut campur bila enggan membuat ia marah. Suzanne yang marah itu seperti bencana.
Maksudku, kauingat kejadian yang terjadi di kantin seminggu lalu, kan? Al-Amin bisa mendapat hal yang lebih gila andaikata dia tidak segera menyingkir. Tatapan Suzanne bukanlah sekedar ancaman. Itu salah satu jenis senjata yang tajam. Bukan mustahil baginya untuk menakuti seseorang hanya dari pandangan. Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa dia mantan penindas?
Suara helaan napas Suzanne membuatku spontan menoleh padanya. Dia mengangkat kepala, menatap langit kelabu yang siap memuntahkan salju kapan saja. Suzanne melirik ke arah sepupunya. "Aku--aku berpikir untuk memberi mereka pelajaran."
Jiwaku belum terkumpul seluruhnya sewaktu ia berkata. Akhirnya, aku malah bertanya, "Mereka?"
"Yeah, para muslim itu."
Mataku membulat seketika. "Tunggu. Kau sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi!"
"Kasus ini berbeda, Em." Suzanne memberiku tatapan tajam. "Aku tak ingin Lara dipengaruhi oleh mereka, lalu pergi meninggalkan kami juga."
"Apa maksudmu dengan meninggalkan kami juga?"
Dia kembali menghela napas. "Ceritanya panjang."
Kuberi ia tatapan Jelaskan padaku.
Gadis itu mendecak tatkala menggaruk kepalanya yang kuyakini tak gatal. "Sebenarnya, dulu ada seorang anggota keluargaku yang diculik oleh kelompok Islam. Kami sudah membawa kasus ini ke polisi dan pengadilan, tetapi tak membuahkan apa-apa. Dia tak pernah ditemukan dan para muslim itu dinyatakan tidak bersalah."
Suzanne mendelik padaku. "Jangan bilang kalau dia mungkin memang tidak pernah diculik oleh mereka."
"Aku baru saja akan mengatakan itu."
"Emilya, kau tidak mengerti. Para muslim itu mencuci otaknya, jadi dia seolah pergi dengan sukarela. Namun, nyatanya tidak! Maksudku, seseorang yang taat pada Tuhan dan sering pergi beribadah tiba-tiba berubah sikapnya setelah mengenal Islam. Bukankah itu mencurigakan?"
Aku mengedikan bahu. "Keyakinan seseorang tidak ada yang permanen, Suzzy. Semua bisa berubah. Dunia pun berubah."
"Bukankah sudah kukatakan kalau otaknya dicuci?"
Aku meneguk liur.
"Aku tak ingin hal yang sama terjadi. Apalagi, setelah Bibi Cecille dan ayahku mencurigai bahwa mereka mungkin mulai menargetkan Lara. Alasan utama Lara home schooling juga karena itu, tapi aku tidak tahu kenapa dia malah diizinkan pergi ke sekolah umum. Untuk itulah aku dimintai mengawasinya."
"Jadi, tekadmu sudah bulat?"
"Tentu saja. Kautahu caraku bermain bukan?" Suzanne tersenyum, yang membuat bulu kudukku merinding. Aku mengalihkan pandangan ke arah trotoar dan tanpa sengaja melihat langkah Lara yang sempat terhenti barang sedetik, kemudian menyusul Jessica kembali. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
EspiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...