41 Days After, night time;

554 54 17
                                    

[Suzanne Millia]

Pada pukul 9.35 malam, suara pintu garasi yang dibuka terdengar disusul mobil yang berderum parkir. Aku langsung berlari ke tangga, mengintip koridor untuk melihat siapa yang datang. Bahkan sekalipun sinar lampu tidak menyinari merek, aku tahu kalau yang muncul adalah sosok ayah dan ibuku.

"Kalian datang!" seruku, melompati anak tangga dua-dua.

Ayah menepuk pundak ku, lalu berlalu ke lantai atas dengan tampang lelah. Sepertinya terjadi sesuatu di rumah sakit sewaktu menjenguk Bibi Cecile atau mungkin ayah memang lelah karena pekerjaannya.

Aku menengok ibuku, lalu bertanya, "Mana Lara?"

Ibu melepas syal. "Masih di garasi. Dia menolak menutup pintunya, ada yang ingin dia lakukan katanya." Dia menghembuskan napas berat. "Maukah kau menemaninya untukku? Aku akan membuatkan kalian minuman hangat."

Ibu tidak menunggu persetujuanku dan segera berbelok ke dapur.

Tanpa mengambil mantel yang bergantung di pintu depan, aku masuk ke garasi. Bau oli langsung menyambut hidungku, membuatku menahan napas lebih lama daripada menghirup udara. Mobil ayah telah terparkir rapi, menghalangi pandanganku akan Lara. Aku harus memutari mobil agar bisa melihat sepupuku yang ternyata sedang duduk di bawah pintu role-up garasi. Kepalanya menengadah ke atas, melihat langit tanpa bintang di bulan Februari.

Piyama yang kugunakan membuat tubuhku langsung menggigil tatkala diterpa angin musim dingin. Aku duduk di sebelah Lara sembari memeluk lutut dan mengelus-ngelus lengan, sementara Lara hanya melirikku sekilas sebelum kembali menatap angkasa. Kami berdiam diri cukup lama sampai Lara berbisik, "Aku membencimu, Suzzy."

Aku tahu kalimat seperti itu wajar diucapkan oleh seorang sepupu yang terus-menerus kularang melakukan hal yang disukainya. Tapi, aku berpura-pura bingung dengan mengerutkan kening.

Sepertinya Lada termakan aktingku karena dia berucap, "Kau melaporkan soal kedekatanku dengan para muslim kepada ibuku. Itu pasti membuat dia stress."

Aku mengangkat kepala. Cakrawala menunjukkan awan-awan hitam yang berarak. "Aku turut prihatin. Setidaknya aku tahu kalau aku bukan penyebab sebenarnya Bibi Cecile masuk rumah sakit."

Lara terkesiap. Dia menatap ujung sepatunya. Rambut pirangnya yang terurai menutupi raut wajahnya dari sudut pandang ku. "Jadi, kau ingin bilang kalau aku penyebabnya? Aku membuat ibuku terkena serangan jantung?"

"Kau yang mengatakannya, Lara. Bukan aku," jawabku, mengangkat bahu.

Tak ada reaksi. Lara menenggelamkan wajah ke lutut. Angin kembali berhembus dan aku harus menahan dingin dengan menggosok lenganku lebih keras, berbeda dengan Lara yang terlihat cukup hangat dengan mantel dan syal yang menggantung di lehernya.

Setelah beberapa saat dalam kesenyapan, Lara membuka percakapan. "Aku mendengar percakapan Paman dan Bibi Millia dengan dokter sewaktu di rumah sakit tadi," katanya dengan wajah yang masih menelungkup.

Aku menoleh, mendapati Lara kini sedang menyapu rambut ke belakang telinga dengan tangan kirinya.

"Mereka bilang, kalau ibuku pernah masuk rumah sakit jiwa, sepuluh tahun lalu." Lara mengangkat kepalanya, menatapku lekat-lekat. "Ibuku menderita PTSD. Dokter yang dulu sering datang ke rumah adalah seorang psikiater. Apa kautahu itu?"

Aku tahu Lara. Kau juga melakukan terapi hipnotis atas permintaan kakek dan nenekmu. "Tidak. Aku tidak tahu," ujarku, menggelengkan kepala.

Lara menghela napas kecewa. "Tentu saja kau tidak tahu. Kejadiannya, kan, waktu kita masih kelas satu." Dia kembali memeluk lutut.

"Jadi, apa yang akan kaulakukan?"

Gigi Lara bergemeletuk, tapi dia butuh waktu untuk menjawab. "Ibuku, dia adalah satu-satunya keluargaku di dunia ini."

Walau aku tahu Lara masih punya ayahnya, aku tetap mengiyakan pernyataan itu.

"Ibuku tidak ingin aku meninggalkannya, seperti yang ayah lakukan padanya. Beberapa minggu lalu, aku pikir itu adalah pernyataan konyol. Aku hanya menyukai Islam, merasa tenang ketika dekat dengan para muslim serta bahagia ketika mempelajari agama mereka. Aku bukannya pergi ke suatu tempat yang jauh."

Lara menatapku. Manik abu-abu yang menghiasi rongga kepalanya memaksaku menelan liur. Dia melanjutkan, "Tapi sekarang aku paham. Terlepas dari apapun yang membuat Ibu trauma, aku tak boleh menambah beban padanya."

"Maafkan aku, Suzzy. Aku sudah berbuat salah padamu." Mata Lara berkaca-kaca, tapi tak ada tanda bahwa air mata akan keluar dari sana. "Kurasa, Tuhan memberi peringatan padaku melalui kejadian ini. Perkumpulan rohani yang kuikuti juga mengajarkan ini padaku."

Gadis itu mulai terisak. Aku menariknya dalam pelukanku. Jaket Lara dingin, sedingin tanganku yang mengelus punggungnya tanpa tujuan yang jelas.

"Kalau penyebab ibuku mengalami masalah kejiwaan adalah para muslim, maka aku akan menjauhi mereka."

Aku merasakan sesuatu yang cair membasahi pundakku ketika Lara menarik ingus.

"Aku tidak mau ibuku mati," lanjutnya sambil membalas pelukanku dengan lebih erat.

Aku menyimpulkan senyum tipis. "Ya, Lara. Itu memang lebih baik. Puji Tuhan karena kau sudah sadar akan kesalahanmu." []

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang