26 Days After, evening time;

837 122 72
                                    

[Aqila Al-amin]

Setelah menunaikan salat magrib berjamaah dan buka puasa bersama di sekolah, salah seorang teman Suzanne menarikku ke jalan yang tak pernah kulalui. Gadis itu berambut cokelat gelombang sebahu. Senyumnya yang manis membuat orang akan menerima kesan pertama bahwa dia adalah orang baik. Ditambah kesaksian Lara yang mengatakan kalau dia dapat dipercaya, mau tak mau aku mengikutinya.

Emilya Johnson, yang sejujurnya aku bingung dia berada di pihak siapa.

Aku baru mengetahui orang ini selama setahun. Selain Suzanne Millia dan Jessica Chang, dia juga anggota band sekolah, seorang pemain keyboard. Menurutku kemampuannya hebat, walau aku baru sekali melihat band mereka bermain--melalui video rekaman tentu saja. Berdasarkan rumor yang beredar, Emilya dan Suzanne sudah berteman sejak SMP. Hal itu bisa dilihat dari keakraban mereka. Maksudku, dimana ada Suzanne, tak jauh dari situ pasti ada Emilya. Entah siapa yang amplop dan siapa yang prangko.

"Maafkan aku, tapi ke mana kau hendak membawaku?" tanyaku sewaktu langkah kami tiba di lapangan basket umum. Seseorang sedang bermain di sana, pemuda berambut hitam dengan pandangan yang tajam. Udara masih cukup dingin, tapi dia mampu bermain dengan baik. Dia juga terlihat tak peduli walau hari sudah gelap, sementara hanya satu lampu yang menyala untuk menerangi lapangan.

Emilya tak membalasku. Dia hanya tersenyum simpul, kemudian melepaskan genggamannya dari tanganku dan mulai melambai. "Brain!"

Bola yang dilempar cowok itu masuk sekalipun ia tak melihat ring basket. "Hai, Em!" sapa Brain sambil berjalan mendekati kami. "Apa yang membuatmu lama?" Dia melirikku dengan alis bertaut. "Siapa ini? Seorang muslim?"

"Dia Aqila Al-amin. Temanku."

"Teman? Kupikir karena kau berteman dengan Suzzie kau tak ingin berteman dengan seseorang yang pantas ditindas seperti dia."

Aku tertohok, sedang Emilya melipat tangan. "Menjadi seorang muslim bukan berarti kau dapat menindasnya, Brain." 

Cowok itu tertawa. "Omong-omong, aku sudah melakukan yang kauminta." Brain melangkah ke arah bangku dimana tas ransel dan syalnya berada. "Aku tidak tahu apa yang kaucari. Tapi, tak ada hal menarik yang dapat kautemukan dari rekaman koridor."

Brain duduk, lalu mengeluarkan laptopnya. Sebuah aplikasi yang memainkan video tampak ketika ia membuka benda elektronik tersebut. "Aku akan memutar video rekaman dari hari Jumat hingga pagi ini." 

Brain menekan tombol play pada layar, video rekaman CCTV koridor sekolah diputar dengan kecepatan berkali lipat. Mulai saat pagi hari, kemudian sepi karena kelas, waktu pergantian pelajaran, jam makan siang dan seterusnya hingga sekolah sepi karena murid-murid yang pulang. Video terus dimainkan ketika janitor sekolah--yang pernah kutemui waktu datang terlalu pagi--membersihkan koridor setelah sekolah berakhir. Setelah ia selesai, tak ada kejadian lebih lanjut. Koridor tetap kosong, hingga pergantian hari.

Hari Sabtu, kemudian Minggu. Tak ada aktivitas mencurigakan. Hanya ada beberapa murid yang memang mempunyai jadwal ekstrakurikuler di kedua hari itu yang sesekali terlihat.

"Apa kau yakin ini video dari koridor yang kuminta?" Emilya bersuara setelah memaksa Brain menghentikan player laptopnya.

"Aku yakin," jawab Brain, kembali memainkan video, lalu menghentikannya. "Lihat? Itu kau, Jessica, serta Suzzie dan sepupunya," jelasnya sambil menunjuk orang-orang yang tampak di layar.

Telunjuk kananku ikut bergerak. "Itu aku," ucapku sambil menunjuk diriku yang terlihat sedang berbicara dengan Jameelah. "Ini adalah rekaman pagi ini dan koridor tempat kejadian berlangsung."

"Lihat? Lokasi kameranya juga tak berubah. Dia jelas-jelas menyoroti loker dimana lendir meledak."

Emilya bergumam panjang, berpikir keras.

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang