[Aqila Al-Amin]
Aeesha sudah mulai kembali ke asrama sejak hari Kamis kemarin. Jadi, untuk berbicara dengannya terpaksa aku harus melalui telepon pada jam-jam tertentu saja karena tak bisa datang mengunjunginya di Minggu. Aku sudah mencoba menelepon asrama Aeesha sekitar pukul delapan malam, tetapi seseorang berkata bahwa santriwati baru boleh menerima telepon setelah jam belajar malam. Dia juga berjanji akan memberitahu Aeesha tentangku. Itulah kenapa sekitar pukul setengah sepuluh malam, aku sudah menunggu di depan telepon rumah, menantikannya berdering.
"Halo? Assalamu'alaikum!" Aku langsung mengangkat telepon di dering pertama. Ayah tertawa sewaktu melewatiku menuju dapur.
Aeesha tak langsung menjawab. Kurasa dia kaget karena antusiasmeku. Wa'alaikumussalam. Aqila? Ustadzah-ku bilang kalau kau menelepon tadi. Ada apa?
"Apa aku tidak mengganggu menelepon di jam segini?"
Aku punya tiga puluh menit sebelum diberlakukannya jam tidur. Jadi, bicaralah.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Anu ... Ini tentang Lara. Aku sudah bicara padanya."
Tak ada respons dari seberang.
"Aku akan membawanya menemui Tuan Raashid."
Tidak. Jangan lakukan itu. Aeesha menjawab sangat cepat, Dia dibesarkan di tengah keluarga pembenci Islam dan selama ini dikurung di rumah. Menurutmu, apa yang akan terjadi? Aeesha bertanya dengan memberi tekanan pada kata "apa" yang membuat aku sempat meneguk liur sendiri.
Aku mengernyitkan dahi, sekalipun tahu bahwa Aeesha tak akan melihatnya. "Apa maksudmu?" kataku balik bertanya. Peganganku terhadap gagang telepon menguat.
Aku ... Terdengar keraguan di nada bicaranya. Aku hanya baru memikirkannya.
"Memikirkan apa?"
Aku mengenal Lara lewat Facebook, Aqila. Lagi pula, pertemuan kami berlangsung sangat singkat, jadi aku tidak bisa menyimpulkan apa-apa tentangnya.
"Lara berniat masuk Islam. Bukankah sebagai seorang muslim kita harus menyambutnya dengan gembira?"
Kau tidak tahu keluarganya seperti apa, Aqila! Kau bisa celaka! Bagaimana kalau Lara hanya 'umpan'."
Aku tidak mengerti dengan maksud kata "umpan" itu, tetapi aku yakin dengan ideku untuk membawanya langsung menemui Tuan Raashid, seorang pemuka agama di kota ini. Spontan, kuucapkan ayat yang terlintas di benakku, Q.S. Al-Hujurat ayat 12, yang artinya kira-kira seperti ini: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa.
Setelah membaca dalil itu, aku memberi jeda, begitu pula Aeesha yang terdiam seolah memikirkan kembali kata-katanya tadi. Merasa enggan melanjutkan percakapan, aku mengucap salam, hendak mengakhiri pembicaraan.
Tunggu. Aeesha berkata cepat-cepat, yang membuatku mengurungkan niat. Aku pernah bertemu dengan keluarga Lara. Bukan hanya sekali, melainkan tiga kali--tanyakanlah pada Achmed bila kau tak percaya. Peringatanku, apapun yang hendak kaulakukan, kuharap kau mempertimbangkannya baik-baik. Assalamu'alaikum.
Sepupuku menutup telepon. Aku hampir terlonjak dari tempat. Menatap gagang berwarna hitam itu, aku berbisik, "Wa'alaikumussalam wa rahmatullah." Kemudian, menoleh ke arah ruang keluarga yang berada di ujung lorong, dimana ayah dan ibuku ternyata mengintip. []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...