[Aqila Al-Amin]
Aku memutuskan untuk mengikuti saran Aeesha, walau butuh keberanian besar bagiku untuk memulai pembicaraan dengan Lara. Saking takutnya, aku datang terlalu pagi--sebelum bis sekolah mulai beroperasi dan pintu gedung terbuka--tepat setelah ibadah subuh. Aku juga sampai lupa sarapan, hingga perutku terus-menerus berbunyi tak karuan.
Matahari baru menampakkan pucuk-pucuk kemerahannya di langit sewaktu janitor sekolah menghampiriku. Pria tua itu memberiku sepotong roti daging yang agak ragu kuterima karena dia mungkin seorang non-muslim, tetapi dia berkata, "Ini daging sapi dan buatan tetanggaku yang seorang muslim--tadi dia memberiku sebelum berangkat ke mari. Jadi, ya, kau aman untuk memakannya."
Aku merasa malu pada diriku sendiri karena sudah menuduh yang bukan-bukan. Walaupun aku tahu wajahku memerah karenanya, aku tetap berucap, "Te-terima kasih dan maaf."
"Tak masalah." Pria itu tertawa renyah. "Itu sikap yang akan sering orang-orang seperti kami terima ketika menawari makanan pada para muslim. Kalian punya terlalu banyak pantangan."
Aku turut tertawa mendengarnya, walau secara teknis itu bukan lelucon. Akan tetapi, terkadang aku juga berpikir demikian. Islam punya banyak peraturan dan mereka yang imannya tak kuat pasti akan berpikir bahwa agama ini adalah agama yang menyusahkan.
Sedangkan jika mereka menelusuri lebih jauh, mereka akan tahu bahwa semua larangan yang ada dibuat demi kepentingan muslim itu sendiri agar mereka terhindar dari kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi apabila mereka melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut. Hanya saja, kebanyakan orang cuman melihat dari satu sisi saja. Padahal, koin saja punya dua sisi, apalagi sebuah kepercayaan.
Dengan berdalih bahwa hal-hal yang diharamkan dapat menjadi mubah dalam kondisi tertentu, mereka dengan sengaja menciptakan keadaan atau bahkan membuat peraturan sendiri yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits. Tak jarang mereka akan berpura-pura tak tahu pada keberadaan peraturan tersebut, kemudian bersikukuh dengan pendapat mereka sekalipun telah ditunjukkan kepada mereka dalil-dalilnya.
Aneh, tapi inilah kenyataan. Sikap-sikap seperti itulah yang membuat keluargaku pindah ke negara ini karena alih-alih menciptakan perdamaian, sebagian muslim membuat kekacauan dengan alasan hendak menciptakan negara khalifah yang sebenarnya. Sementara untuk mencapai tujuan itu, mereka malah menyerang tak pandang bulu, tanpa melihat apakah orang itu non-muslim atau sesama muslim.
Sungguh di luar nalar.
"Oh, Tuhan! Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?"
Aku menoleh pada pria itu, lalu meraba wajah dengan tangan kiriku. Benar-benar ada air mata yang menetes. Cukup deras, sampai-sampai membasahi rokku. Pria itu menawari untuk mengamankan rotiku dengan menyimpannya kembali ke dalam kotak bekal sambil menyodorkan sapu tangan. Kuseka air mataku sembari menahan ingus, sementara sang janitor sekolah terdiam memandangiku.
Sewaktu tangisku mulai reda, pria itu pun berkata, "Sepertinya, kaupunya cukup banyak pikiran." Mungkin karena aku tak menanggapi, jadi pria itu meneruskan, "Aku berdoa agar masalahmu cepat selesai, Nak." Tangan kanannya mulai bergerak menyentuh dahi, dada, bahu sebelah kiri dan kanan--kutebak begitulah cara kepercayaannya berdoa. "Tuhan memberkatimu. Amen."
Dia hanya orang asing, berbeda agama pula. Akan tetapi, ia peduli. Andai semua orang di dunia seperti pria ini, aku yakin tak akan ada peperangan di bumi ini. Semua keyakinan bersatu, tak ada perbedaan atau diskriminasi. Tak akan peperangan dan yang mati sia-sia karenanya. Tak ada fobia terhadap kepercayaan tertentu. Apalagi, sampai mengalami hal seperti Lara Douglas atau kakakku.
[Cecile Douglas]
"Aku memaksamu untuk mengingatnya Lara." Aku berkata sewaktu menuangkan susu ke dalam gelas minum Lara, kemudian menutup kemasannya dan menyimpannya di atas meja makan. "Akan kuminta Suzanne untuk mengawasimu," lanjutku ketika mengambil posisi duduk pada kursi di seberang Lara.
Putriku berhenti memotong panekuknya. "Ibu, tidakkah itu--"
"Berlebihan?" Gadis itu kelihatan terkejut mendengarku memotong kalimatnya. "Kau sudah berjanji dan aku tidak menerima apabila kau mengingkarinya." Aku memberi jeda sebentar. "Ini kesempatan terakhirmu."
"Kau bahkan tak memberiku waktu untuk menjelaskan!" suara Lara naik satu oktaf. "Aku hanya mencoba berteman dengan mereka."
"Para muslim itu hanya membawa pengaruh buruk, Lara! Aku hidup lebih lama darimu dan lebih banyak hal yang telah kulihat dibanding kau. Dengan kata lain, keputusanku adalah yang terbaik!"
"Aku tak pernah meminta," gadis itu berdiri dengan kasar, kursi yang didudukinya hampir terpelanting ke belakang, "Ibu," ujarnya menatapku dingin.
Namun, itu tak cukup untuk membuatku goyah. Kurasa Lara juga menyadari itu, terlihat dari dia yang memutuskan untuk mengambil tasnya yang berada di kursi sebelahnya sebelum pergi meninggalkan ruang makan. Dia bahkan tak mengucapkan salam, tak seperti Lara yang biasanya. Ini pasti karena pengaruh dari para muslim itu.
Orang-orang itu terus-menerus membawa kesialan bagi keluargaku.
Aku menghela napas, memandangi panekuk yang seolah meminta untuk segera dimakan. Sayang, aku tiba-tiba tak berselera. Kutetapkan untuk menyimpan menu ini di dalam microwave, antisipasi kalau-kalau aku merasa lapar sebentar dan enggan untuk mencari menu yang lain.
Setelah aku menutup microwave, mataku spontan memandang ke jendela dapur di belakangnya. Aku terkejut melihat pantulan mantan suamiku di sana, pria kulit putih berjanggut yang menatapku kasihan. Bayangan itu berkata, Kukira kau menyayangi Lara, Cecile.
Aku mengambil penggiling merica yang kebetulan berada di sebelah microwave dan melempar bayangan itu, memecahkan kaca yang membuat udara dingin menusuk masuk ke dalam. Menatap kaca yang tersisa, aku hanya mendapati pantulan diriku yang penuh kemarahan. Aku berkata, "Tak akan kubiarkan Lara berakhir sepertimu, Joseph." []
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...