[Suzanne Millia]
Telepon bibi mengharuskan kami untuk berkunjung ke kediaman Douglas.
Badai salju semalam membuat banyak orang tidak dapat beraktivitas hingga siang hari. Selain itu, butuh waktu lagi untuk menunggu petugas menyingkirkam salju dari jalan. Jadi, sembari menunggu, keluargaku memutuskan membersihkan salju pula di halaman. Ibu sangat gelisah sewaktu melakukannya.
Aku menebak bahwa ibu terus memikirkan telepon Cecile Douglas, adiknya, yang merupakan satu-satunya anggota keluarga yang tinggal di kota ini, sedangkan yang lain berada di negara bagian berbeda. Ibu memang seperti itu, terlalu khawatiran. Namun, tidak ada yang mampu mengalahkan Bibi Cecile bila sudah menyangkut rasa cemas berlebihan, seperti yang ia lakukan selama bertahun-tahun pada putrinya.
Itulah yang membuatku tak suka dengan Bibi Cecile.
Lara hampir tak pernah menyentuh dunia luar. Dia seperti Putri Rapunzel yang menghabiskan hidupnya di dalam menara karena ulah penyihir. Bedanya, Lara masih diizinkan untuk menunjukkan wajahnya pada orang lain, walau itu sekedar dengan mengunjungi gereja di hari Minggu.
Kami berangkat ke kediaman Douglas sekitar pukul lima sore. Bibi Cecile berjalan mondar-mandir di teras rumahnya ketika kami tiba di sana. Turun dari mobil, ibu berlari sangat cepat menembus salju setebal seperempat meter--yang memudahkan aku dan ayah mengikuti langkahnya di belakang--untuk memeluk bibi yang terlihat memprihatinkan.
Bibi terisak. "Terima kasih sudah datang," ujarnya membalas pelukan ibu, lalu melirikku tajam.
Aku berjengit.
Bukan karena terkejut melihat bibi bersikap seperti itu padaku, melainkan karena sosok seorang gadis pucat dengan kain penutup kepala yang menutupi seluruh tubuhnya sedang mengintip dari celah pintu. Baru kusadari kalau dia adalah Lara ketika aku memperhatikan mata abu-abunya. Dia tersenyum padaku, memanggilku masuk ke rumah dengan lambaian tangan.
"Bibi Cecile, bolehkah aku masuk ke dalam? Di luar dingin," izinku tanpa mengalihkan pandangan dari Lara.
"Oh, tentu," katanya. "Aku juga sedang menyiapkan beberapa menu untuk makan malam." Dia meneruskan, kemudian tersenyum pada ibu dan ayahku. "Aku harap, kau bisa membantu Kate."
"Dengan senang hati, Cecile," jawab ibu.
Sementara ibu dan ayah mengikuti Cecile ke ruang tamu, aku menaiki tangga sepelan mungkin. Takut kalau-kalau aku tersandung sesuatu berhubung lantai dua cukup gelap. Tak ada cahaya kecuali dari bawah dan jendela yang tidak tertutup tirai di ujung koridor. Kamar Lara tepat berada di sebelahnya.
Kakiku terasa berat sewaktu melangkah. Rasa takut menghantuiku. Seolah-olah, ada yang membisikkan sesuatu ke telingaku tentang betapa berbahayanya ruangan di ujung koridor itu. Namun, mengingat janjiku semalam pada Lara, kuabaikan semua perasaan itu. Kemudian, menghela napas panjang, aku mengetuk pintu kamar Lara.
"Masuklah." Suara Lara terdengar dari dalam.
Aku mendapati sepupuku tengah duduk membelakangiku di atas tempat tidur ketika masuk. Dia sedang menonton video Youtube dengan menggunakan headphone. Kain yang kulihat sebelumnya masih membungkus kepalanya, sehingga hanya memperlihatkan wajah dan tangannya.
"Aku memujimu karena mendengar suara ketukan itu, sekalipun menggunakan headphone," ujarku membuka percakapan. "Dan penutup kepala aneh itu." Aku menambahkan dalam hati.
Lara mengalungkan headphone-nya di leher, memutar tubuh sambil tersenyum padaku. Suasana kelam yang menyelimuti lantai dua sebelumnya seolah menghilang seketika, layaknya es yang terkena pancaran sinar matahari musim semi. Lara terlihat bahagia. Entah karena aku telah tiba di sini atau ada sebab lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/100274182-288-k468930.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritueelMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...