40 Days After, evening time;

232 51 10
                                    

[Cecile Douglas]

Aku dan Lara baru saja selesai makan malam ketika bel pintu rumah berbunyi. Aku melirik putriku, tetapi dia hanya merapikan piring-piring di meja tanpa menunjukkan sedikit pun rasa tertarik. Jadi, kuputuskan untuk melangkah meninggalkan ruang makan sambil mencoba mengingat kalau-kalau aku punya janji yang terlupa malam ini.

Sosok Katelyn yang tersenyum sumringah menyambutku setelah pintu depan terbuka.

"Malam, Kak," sapanya. "Kuharap aku tidak mengganggu makan malammu dan Lara?"

Aku menggelengkan kepala. "Kami baru saja selesai. Lara sedang mencuci piring sekarang." Aku memiringkan badan, mengisyaratkan Katelyn untuk masuk ke dalam rumah. "Aku membuat cookies siang tadi. Kau mau?"

Adikku menggelengkan kepala, lalu meyodorkan tas belanjaan di tangannya. "Aku datang hanya untuk memberimu ini. Kuharap kau menyukainya."

Setelah menerima tas tersebut, Katelyn langsung undur diri. Aku baru menyadari dia datang tanpa ditemani ketika melihatnya turun dari teras rumahku. Akan tetapi, yang paling mengherankan adalah karena dia memberikanku sesuatu ketika tak ada perayaan apapun hari ini.

Early valentine, kah? Tapi biasanya orang-orang akan memberi cokelat, walau pakaian juga hal yang bagus untuk dijadikan hadiah.

Aku serta merta duduk di ruang tamu setelah memastikan pintu depan terkunci rapat. Membuka bingkisan, aku mendapati mantel wanita berwarna cokelat susu yang ukurannya sangat cocok untukku. Pakaian yang satu lagi adalah jaket bisbol berwarna biru dongker dan merah. Anehnya, ukurannya terlalu kecil untuk Lara, sementara Katelyn tidak mungkin salah membelikan sejak Suzzie punya ukuran yang tak jauh berbeda dengan anakku. 

Lara datang mengintip ke ruang tamu, tapi dia tidak berbicara apa-apa dan hanya menatapku dalam diam.

"Katelyn," kataku. "Dia datang membawa ini. Tapi jaket pemberiannya harus ditukar. Jangan buang struk belanjanya."

Lara menerima bingkisan Katelyn, sementara aku membawa mantel baruku ke ruang cuci yang terletak di samping dapur. Aku tak mendengar apa-apa lagi dari Lara selain suara langkah kaki menuju lantai atas. Ketika keluar dari ruang cuci dan mengintip ke lantai atas, kulihat lampu koridor telah mati. Tak ada tanda-tanda bahwa Lara akan keluar dari kamarnya. Sebab, pekerjaan di dapur juga sudah beres.

Aku kembali ke dapur, lalu mengambil sebotol wiski dari dalam kulkas. Setelah menuangkannya ke dalam gelas, aku bersandar pada kabinet dan mulai meminumnya pelan-pelan. Setelah meminum segelas, kuputuskan untuk menikmati minuman beralkohol itu langsung dari botolnya. Tenggorokanku sangat haus karena keabsenan cairan itu dari mulutku. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mengonsumsinya. Dua tahun lalu? Tiga tahun lalu?

"Ah, bukan," bisikku pada diri sendiri. "Terakhir kali itu sebelum aku masuk rumah sakit."

Aku menghela nafas panjang. Lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci muka. Sewaktu mengangkat kepala dan mengintip bayanganku di jendela, aku melihat pantulan Joseph yang tersenyum prihatin kepadaku.

Jantungku berdebar kencang. Dadaku mulai terasa sakit. Aku kembali meneguk wiski, tapi lidahku sudah mati rasa.

"Sialan!"

Aku melempar botol yang masih setengah terisi ke lantai, lalu menarik rambutku keras-keras. Lara pasti terkejut di kamarnya dan sebentar lagi akan turun. Aku harus membersihkan kekacauan ini, tapi dadaku terasa semakin ngilu. Pandanganku yang berkunang-kunang bahkan melihat wajah Joseph di lantai. Bibirnya mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar apa-apa.

"Apa yang ingin kaukatakan?" Aku berteriak.

Selanjutnya terasa begitu cepat dan aneh. Sepertinya, aku kehilangan keseimbangan sepenuhnya lalu terjatuh menghantam pecahan botol, tapi aku tidak terlalu ingat. Pemandangan terakhir yang kulihat hanya tapakan kaki yang mendekat ke arahku.

Aku rasa itu Lara. []

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang