41 Days After, lunch time;

208 42 20
                                    

[Aqila Al-Amin]

Pagi itu aku datang ke sekolah sedikit terlambat dari biasanya. Jadi aku tidak langsung mengetahui perubahan yang terjadi pada Lara. Pokoknya, ketika aku masuk ke kelas, dia memilih untuk duduk di kursi paling depan. Padahal dia selalu duduk di sebelahku pada setiap kelas kami yang sama, di barisan bagian tengah. Kupikir waktu itu karena aku datang hampir terlambat, jadi dia tidak melihatku masuk (dia terus menundukkan kepalanya sampai guru mata pelajaran tiba).

Sayangnya, waktu pergantian kelas pun Lara tidak menoleh sewaktu kupanggil.

Aku mencoba berpikiran positif: mungkin dia tidak mendengarku atau mungkin Suzzy sedang mengawasinya dengan ketat hari ini. Walau alasan kedua tidak masuk di akalku sebab aku tidak melihat Suzzy seharian itu. Akhirnya aku mencoba hal ekstrim sewaktu jam makan siang, meneleponnya. Sayangnya panggilanku terhubung ke kotak suara.

Aku memutuskan untuk pergi ke kafeteria sendiri. Di sana, aku bertemu dengan Jameelah dan Muneer soal Lara. Akan tetapi, sewaktu aku menanyakan keberadaan Lara, tak ada dari mereka yang bertemu gadis itu hari ini.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi masuk ke ponsel Jameelah. Muneer harus mengernyitkan alis ketika membaca tulisan yang tertera di sana.

"Sejak kapan kau mengikuti Courtney di Twitter?" kata Muneer dengan nada penuh curiga.

"Sejak insiden lendir," jawab Jameelah setelah menelan makanannya. "Elle est vraiment drôle--dia lucu sekali--terlebih tentang ciutan-ciutannya soal kepercayaan dirinya yang tinggi terutama kalau kau membacanya sebelum tidur sebab kau akan terlalu capek menahan tawa sehingga mampu tidur nyenyak."

"Dan dia juga sangat update."

"Sungguh? Aku tidak tahu kau penggemar Courtney, Muneer." Jameelah menyikut saudaranya.

"Tidak. Maksudku, dia benar-benar update. Lihat ini."

Muneer menyodorkan layar ponsel Jameelah ke arah aku dan Jameelah. Di sana terdapat ciutan Courtney yang mengirimkan sebuah tautan berita yang berjudul:

PENULIS POPULER SUMMER IN ALASKA TERKENA SERANGAN JANTUNG, KARENA KECAPAIAN MEMPERSIAPKAN NOVEL TERBARUNYA?

disertai caption yang bertuliskan: Turut berduka, Douglas. LOLOLOLOLOL.

SubhanallahTentu saja Lara terlihat aneh hari ini.

Muneer berkata, "Di sini tertulis kalau Cecile Douglas masuk UGD semalam dan sekarang sedang dirawat intensif di rumah sakit. Mungkin itulah kenapa pada jam makan siang ini dia tidak menghampiri kita seperti biasa, Lara butuh waktu sendiri."

"Kau benar," akuku. "Mungkin Suzzy sedang bersamanya di suatu tempat sekarang."

"Bagaimanapun Suzzy adalah keluarga Lara dan mereka sudah saling kenal sejak masih orok jadi tentu saja Lara lebih membutuhkan Suzzy sebab dia pasti lebih tahu caranya membuat Lara lebih tenang." Jameelah menelan sendok terakhir dari makan siangnya. "Eh tapi apa menurut kalian Nyonya Douglas yang masuk rumah sakit ada hubungannya dengan kita?"

Alis Muneer bertaut. "Apa maksudmu?"

"Yah, Nyonya Douglas kan mengidap islamophobia."

"Jadi menurutmu, sejak Lara dekat dengan para muslim di sekolah ini, Nyonya Douglas menderita stres dan itu memicu serangan jantung?"

Jameelah mengangguk.

Muneer menghela napas. "Artikelnya bilang, Nyonya Douglas kelelahan karena menyiapkan naskah. Kurasa, opinimu itu tidak mungkin."

"Mereka pasti punya alasan sendiri menyembunyikannya karena seorang publik figur yang rasis itu tidak akan laku di pasaran." Jameelah meletakkan sendok yang ia pegang dengan kasar.

"Kau terlalu banyak membaca teori konspirasi."

"Tapi itu memang benar wahai saudaraku!" Meja kafetaria dipukul oleh Jameelah. Suaranya cukup keras sebab orang-orang di sekitar melirik kami penasaran.

Walau tahu sudah menjadi pusat perhatian, kedua bersaudara itu tidak berhenti beradu mulut. Tapi topik mereka sudah berubah menjadi hewan paling buas yang ada di bumi, menu makan malam hari ini, hingga pemilihan presiden. Baik Muneer maupun Jameelah, mereka berbicara dua kali lebih cepat dari biasanya . Aku tak bisa menangkap kata-kata mereka sebab bahasanya sudah berubah menjadi bahasa Perancis yang diselipkan bahasa Arab, dua bahasa yang biasa digunakan keluarga mereka di rumah. Seseorang di belakangku bahkan mengira kalau mereka tengah merapalkan mantra sihir.

Aku hanya terkekeh melihat tingkah pasangan kembar Ali ini tanpa berniat melerai. Muneer dan Jameelah memang begitu, sering bertengkar tapi juga cepat memaafkan. Mungkin karena mereka sudah saling memahami. Pertengkaran-pertengkaran Muneer dan Jameelah mengingatkanku pada kenangan-kenanganku bersama almarhum kakakku. Alasan yang membuatku ingin berteman dengan Lara.

Kakakku punya sifat seperti Lara, jarang bersuara. Dia hanya bersemangat jika sedang membicarakan hal yang mereka sukai. Baik Lara maupun almarhum kakakku sama-sama seorang pendengar yang baik. Orang-orang seperti mereka biasanya pasif, lebih suka melakukan segala hal sendiri dan baru akan meminta bantuan jika mereka memang tidak mampu melakukannya. Dan, mereka sama-sama keras kepala sekalipun orang-orang di sekitarnya sudah menolak.

Begitulah cara kakakku menghadap kepada Allah subhana wa ta'ala, karena kebinalannya, yang bila diingat akan terasa sakit bagi keluarga kami, tapi aku yakin kalau kakakku merasa senang karena sudah mati secara syahid.

"Aqila." suara Muneer membuyarkan lamunanku. "Aku dan Jameelah akan pergi duluan."

"Ya," aku meneguk minum, "bersenang-senanglah kalian."

"Assalamu'alaikum." Keduanya berujar bersamaan.

"Wa'alaikumussalam." 

Aku baru melanjutkan makanku ketika Jameelah dan Muneer telah menghilang di balik pintu kafetaria. Sekitar tiga suap kemudian, Emilya tiba-tiba muncul di sebelahku lalu berkata, "Temui aku di lapangan basket sepulang sekolah sebentar," kemudian langsung pergi begitu saja tanpa menunggu respons dariku. []

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang