[Emilya Johnson]
Kontes band terbuka akan diadakan tepat satu minggu lagi dan persiapan band kami hampir rampung (mulai dari lagu, pertunjukkan panggung serta pembagian lirik), kecuali satu hal: kostum. Aku mulai berpikir kalau kami tak akan mengenakan kostum khusus dan hanya mengandalkan pakaian ala kadarnya sampai di hari Jumat kemarin. Namun, ketika Jessica memunculkan Lara di basement rumah Keluarga Millia sambil membawa kertas-kertas berisi coretan rancangan kostum kami keesokan harinya, aku mulai berpikir kalau kontes ini sangat ditanggapi dengan serius oleh cewek bermata sipit itu. Padahal, aku tidak mau dipermalukan di bulan penuh cinta ini.
Walau begitu, Lara dan Jessica tetap membawa kami pergi ke pusat perbelanjaan di hari Minggu.
Tak ada yang aneh dengan empat orang cewek yang berkeliaran di antara rak-rak pakaian. Kami bersenang-senang layaknya gadis normal pada umumnya. Terutama, karena ini merupakan pertama kali Lara pergi ke tempat seperti ini tanpa ditemani ibunya. Gadis itu terlihat sangat bahagia. Untung saja dia tidak bersikap norak. (Walau aku ragu kalau cewek itu bisa bersikap norak).
Jessica sudah membicarakan soal ini berdua bersama Lara, sengaja tak memberi tahu kami karena ingin menjadikannya kejutan. Sayangnya tumpukan tugas sekolah membuat keduanya tak mampu membuat dari nol, jadi membeli pakaian menjadi pilihan alternatif yang akan dilakukan. Perjalanan kami ke pusat perbelanjaan ini hanya untuk memilih pakaian yang paling mirip dengan gambaran Lara akan konsep band kami. Kemudian, dia akan mengubah pakaian-pakaian itu dengan tangannya sendiri.
Aku tidak tahu Lara bisa menjahit. Akan tetapi, 10 tahun berada di rumah dan hanya keluar bila ibunya menyetujui pasti membuat Lara mempunyai banyak sekali waktu untuk belajar cara memperlakukan jarum dan benang dengan baik. Suzanne juga bercerita padaku kalau Lara bahkan bisa membuat abaya dari seprei dan berhasil menggegerkan keluarganya akhir tahun kemarin dengan menggunakannya sepanjang minggu.
"Bibiku berpikir kalau dia kerasukan." Suzanne mulai bercerita sewaktu Jessica dan Lara berada di sisi lain toko untuk melihat-lihat jaket. "Jadi, bibiku membawanya ke gereja untuk upacara pengusiran setan, tetapi Bapa berkata kalau dia baik-baik saja."
Aku mengerutkan kening dan mengatupkan bibir rapat-rapat, tapi entah mengapa tawaku tetap saja pecah. Padahal, kalau dipikir-pikir, mustahil abaya membuat seseorang kerasukan. Maksudku, itu hanya selembar kain yang terbuat dari kapas. Lagi pula, makhluk astral penunggu semak-semak itu tidak menakutkan.
Suzanne memutar mata. "Kau dan logikamu, Em."
"Maaf, maaf," kataku memegangi perut, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Ayo cek gadis-gadis itu."
Kami mengitari area pakaian, melewati beberapa manekin tanpa wajah dengan pose keren dan mengabaikan para pelayan toko yang menanyai keperluan kami. Ketika akhirnya kami hampir sampai di area jaket, mataku tidak menangkap keberadaan kedua gadis itu. Kurasa Suzanne juga mengalami hal serupa karena langkahnya turut terhenti.
Namun, tiba-tiba mood Suzzie berubah drastis, terasa sangat kuat dari air mukanya yang menegang.
Aku mengikuti arah pandangannya. Berjarak dua rak dari kami, seorang pelayan sedang melayani seorang pria berjanggut tipis. Pria itu tinggi, layaknya pria Amerika normal lainnya. Matanya berwarna abu-abu dan punya wajah yang bersahabat. Dia terlihat kesusahan memilih baju wanita, sehingga menanyakan banyak hal pada pelayan toko. Melihat jenis sandang yang berada di sekitar, sepertinya pria itu sedang memilih pakaian untuk istrinya.
Sewaktu pelayan pergi menjauhi pria itu, tatapan kami bersirobok. Di sebelahku, Suzanne terlihat kesal. Dia langsung membuang muka dengan ketus, tak menunjukkan sedikit pun sopan santun. Pria itu tampak terluka, yang membuat aku kewalahan.
Kupanggil nama Suzanne, tapi dia terus menjauhiku. "Ya, ampun," keluhku sambil memegangi kepala, lalu menoleh kepada si pria. "Maafkan teman saya, Tuan. Sifatnya memang seperti itu."
Pria itu tersenyum ramah. "Tidak masalah."
Lalu, aku permisi meninggalkannya tepat waktu ketika pelayan toko datang menghampiri dia dan aku melihat sosok Lara dari arah yang berlawanan dari jalan yang Suzanne lalui. "Suzzie! Lara ada di sebelah sana!" teriakku, berlari kecil mengejar cewek itu.
Suzanne menepis tanganku dengan sikutnya. "Kenapa kau menyebut nama Lara sekeras itu?!" Dia bertanya penuh amarah dengan suara yang sengaja dikecilkan.
"Eh? Memangnya kenapa?"
Sahabatku hanya mendecih, tapi dia tetap menarik tanganku. Kami pun melangkah ke tempat Jessica melambaikan tangan. []
====================
Kalau kalian memperhatikan, judul setiap chapter berubah. Tapi tenang saja, ceritanya tidak berubah, kok.

KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
EspiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...