[Cecile Douglas]
Sudah 13 hari lamanya sejak terakhir kali Lara tidak mengajakku berbicara, berawal dari hari ia meninggikan suaranya padaku untuk pertama kali. Kini, Lara terlihat sebisa mungkin untuk menghindariku. Sekalipun kami bertemu, ia akan berusaha untuk tidak menatap mataku. Ketika aku datang untuk berbicara padanya di kamarnya, Lara akan bersembunyi di balik selimut atau fokus mengerjakan tugas dari sekolah.
Aku merasa kesepian sekaligus marah. Namun, karena aku tak tahu hendak menumpahkan emosiku pada siapa, kuputuskan untuk diam dan mengekspresikannya lewat tulisan. Hal itu membuat editorku menelepon dan meminta untuk bertemu.
Wanita yang lebih tua 7 tahun dariku itu sudah tiba lebih dulu di kafe. Dia duduk di meja yang dekat dengan jendela, membuatnya mampu memperhatikan jalan dengan mudah sehingga dapat melambai padaku ketika aku telah tiba di seberang jalan. Dari sudut mataku, kulihat ia sedang berbicara dengan seorang pelayan ketika aku menyeberang. Pelayan itu beranjak pergi tepat waktu saat aku membuka pintu kafe.
"Kau datang cepat," kata Megan Clint sambil meletakkan majalah ke dalam tasnya dan menurunkannya dari atas meja.
"Aku hanya sedang bersemangat untuk keluar rumah."
Dia tertawa. "Oh, Cecile. Aku tahu kau sedang banyak masalah, makanya aku memintamu untuk datang kemari."
Aku meremas tali tasku, meredam kecemasan.
Megan merogoh tasnya, mengeluarkan amplop berwarna cokelat dan menyodorkannya padaku. "Aku sudah membaca naskahmu," ujarnya serius. "Dan naskah ini punya akhir yang berbeda dengan kerangka cerita yang kita bahas sebelumnya."
"Aku tahu."
"Apa yang terjadi?" Megan menyeruput minumnya. "Biar kutebak, ini pasti ada hubungannya dengan Lara." Dia meletakkan cangkirnya kembali. "Kau itu terlalu mengekangnya. Ingatlah bahwa Lara sudah SMA. Dia butuh kebebasan. Untung-untung karena kau mengikuti perkataanku untuk membiarkan dia bersekolah."
"Itu karena saudariku juga menyarankan demikian."
Seorang pelayan datang membawa pesanan, kemudian menyodorkan secangkir espresso dan sepiring pie mini ke atas meja. Makanan serba cokelat itu terlihat lezat dan sangat cocok dengan seleraku. Akan tetapi sekalipun aku tidak sarapan tadi pagi, aku masih tak berkeinginan untuk mengunyah.
Aku jadi teringat pada Lara yang sangat menyukai cokelat. Dulu, saat udara dingin, dia akan memintaku untuk membuat cokelat panas. Sekali pernah aku mengerjainya dengan memberi Lara segelas kopi dan dia menyemburkan semuanya sedetik kemudian.
"Kutraktir," ujar Megan membuyarkan lamunanku setelah pelayan kafe meninggalkan meja.
Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan tasku di bawah meja dan mulai menyeruput espresso di hadapanku.
"Cecile, aku juga punya anak. Dan, di usia seperti ini adalah masa-masa penting bagi mereka. Orang tua bertugas untuk menuntun mereka alih-alih memaksa mereka untuk tetap menjadi anak-anak. Kau tidak bisa membuat mereka menghindari proses remaja, sebab hal itu akan membuat mereka tak akan pernah sampai di puncak kedewasaan."
"Kau tidak mengerti." Aku menundukkan kepala dan menggenggam cangkir dengan kedua tanganku.
"Aku mengerti."
"Tidak. Kau tidak mengerti. Sebab kau tak pernah mengalami masa dimana suamimu sendiri diculik oleh orang-orang yang tidak kaukenal dan dia memilih untuk tidak kembali ketika telah memiliki kesempatan." Aku mengangkat kepala, menatap Megan dalam-dalam. "Keluargamu bahagia, Megan, berbeda denganku."
"Cecile, kau .... Maksudku, setelah 10 tahun berlalu, apa kau masih mencintai Joseph?"
Mataku melebar. "Aku tidak tahu," jawabku, kemudian menatap espresso di hadapanku. "Joseph memberiku kebahagiaan, tetapi penderitaan yang aku alami karena dia jauh lebih besar."
Aku mengambil napas dalam-dalam, memberi jeda yang panjang di antara kami berdua. "Aku hanya ... tak ingin Lara bernasib sama seperti Joseph." Kuangkat kembali wajahku. "Apa aku salah?"
"Tidak." Megan menggeleng spontan, lalu menyenderkan punggung pada sandaran kursi dengan tangan terlipat di atas perut. "Menurutku, kau sama sekali tidak salah. Semua orang tua yang baik pasti tidak ingin anaknya menjadi kriminal seperti Joseph. Tapi, kaupunya penggemar di luar sana dan bekerja setengah hati seperti ini," dia menunjuk naskah dalam amplop, "hanya akan mengecewakan mereka. Apa yang akan mereka katakan ketika novel terbarumu terbit dan mereka menyadari cerita ini adalah sampah?"
"Permisi."
Kami berdua menoleh bersamaan. Dua orang gadis berusia sekitar 20 tahunan berdiri di hadapan kami. Awalnya, mereka terlihat ragu untuk mulai berbicara, tetapi gadis dengan mantel hijau terang pun berkata dengan suara sedikit serak, "Apakah Anda Cecile Douglas?"
Kulirik buku yang sedang dipeluk oleh gadis bermantel merah. My Summer in Alaska, salah satu karyaku, yang diterbitkan setahun lalu.
Senyum ramah kusunggingkan. "Itu benar," jawabku yang diikuti pekikan tertahan oleh mereka. "Apa kalian ingin tanda tangan?"
***
Aku menghabiskan waktu sekitar dua menit untuk melayani para gadis tersebut. Kini, mereka sudah berada di luar kafe, menghampiri dua cowok yang sepertinya sudah menunggu sejak para gadis itu memasuki kafe. Si gadis bermantel hijau mulai menceritakan sesuatu kepada lelaki di sebelahnya. Senyum tak lupa menghiasi bibirnya. Sewaktu mata kami bertemu, ia melambai bahagia. Dia mengajak teman-temannya untuk mengucapkan salam terakhir ketika melihatku membalas lambaian tangannya.
"Aku berani bertaruh kalau mereka semua berpasangan," kata Megan, yang membuatku kembali fokus padanya. Dia melirikku sekilas dengan mata gelapnya sebelum mengambil pie mini dan mulai mengunyahnya. "Lara juga suatu hari nanti akan datang ke hadapanmu sambil membawa seorang pria." Dia kembali memakan pie. "Pegang kata-kataku, bulan depan dia akan mulai pulang terlambat."
"Aku akan menjemputnya di sekolah kalau hal itu terjadi."
Megan memutar matanya. "Kau ibu paling overprotective yang pernah kukenali."
"Terima kasih atas pujiannya," balasku sambil tersenyum. []
====================
Becanda, deng. 🙄 wkwkwkwk 😂 Kalian cari di Google juga bakal nemu yang lain 🤣 Namanya juga keajaiban Photoshop 😅
Mustinya My Summer in Alaska oleh Auliza Syakur, ya? LoL.
Peringatan! Ini bukan iklan 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
EspiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...