[Richard Millia]
Waktu itu, aku sangat yakin kalau putriku izin untuk pergi ke pusat perbelanjaan bersama sepupunya. Alih-alih pulang dengan tangan penuh barang-barang, dia kembali dengan raut yang payah dan tanpa tas belanjaan.
Suzzie langsung melempar diri di sofa di hadapanku tanpa membuka mantel. Kepalanya bersandar malas, sedangkan kedua tangannya lemas tak bertenaga. Aku tak terlalu memedulikan sebab kupikir mungkin dia sedang bermasalah dengan pacarnya yang belum pernah ia kenalkan padaku.
Namun, istriku tidak demikian. Jiwa keibuannya bangkit bersamaan dengan tibanya kopi hitam yang ia buatkan untukku. Katelyn duduk di sampingku, lalu menanyakan keadaan anak semata wayang kami, sementara aku melipat koran yang sedari tadi kubaca dan mulai menyesap minumanku.
"Sepertinya, tadi aku bertemu Paman Joseph."
Kopiku hampir masuk ke tenggorokan.
Katelyn dengan sigap mengambil sekotak tisu yang terletak di nakas sebelah sofa, lalu membantuku untuk membersihkan tumpahan kopi di atas celana, kemeja serta sofa. Aku lalu berkata, "Apa kau tidak salah lihat? Joseph sudah lama pindah dari kota ini. Kepala Keluarga Carpenter sendiri yang mengasingkannya." Aku menoleh pada Katelyn setelah meletakkan minumanku di atas meja kopi. "Di mana lagi? Portland?"
"Bukan. Fort Kent, Maine."
"Nah, itu." Kembali aku menghadap Suzanne. "Untuk apa Joseph kembali ke sini kalau di sana dia sudah punya tempat? Pak Carpenter mungkin membenci Joseph atas pilihannya, tapi Joseph tetap putranya sehingga dia memberikannya bekal ketika mengusirnya dari sini. Anggap saja kasih sayang terakhir pada sang anak yang kini telah tiada."
Suzanne menegakkan badan, lalu melepas mantel berbulunya. "Tapi, itu bukan berarti Paman Joseph akan berada di sana selamanya." Suzanne menyanggah sembari mengambil biskuit yang disodorkan oleh ibunya. "Aku yakin kalau yang tadi itu Paman Joseph, bahkan setelah sepuluh tahun berlalu dan aku hanya mengandalkan ingatan masa kanak-kanakku. Maksudku, Lara punya mata pria itu. Mata kelabu yang tajam."
Katelyn mengumpulkan tisu-tisu. "Aku setuju soal mata itu," katanya sambil tersenyum serta melirik bergantian antara aku dan Suzanne. "Lagi pula, jika memang benar Joseph berada di kota ini, aku rasa sudah waktunya untuk Lara menemui ayahnya. Dia sudah cukup dewasa."
"Ketika baru beberapa minggu yang lalu Lara mengenakan pakaian orang-orang itu ke mana-mana? Hah!" Aku menyesap kopi yang tersisa sampai habis. "Yang ada Lara akan semakin terperosok, kemudian benar-benar meninggalkan Sang Kudus seperti yang dilakukan oleh ayahnya," lanjutku meletakkan gelas ke atas meja kopi. "Sebagai keluarga Lara, yang harus kita lakukan adalah membantu ia memperkuat imannya alih-alih mendukung dia untuk murtad."
"Tapi, itu bukan berarti kita harus membenci Islam."
"Kita tidak membenci agama itu. Kita hanya waspada dengan orang-orangnya. Kautahu persis apa yang terjadi, Kate. Kau sudah dewasa ketika hal itu terjadi." Aku menghela napas panjang, menenangkan pikiran yang hampir dipenuhi emosi.
Segera kusandarkan punggungku di sofa. Tanganku memijat-mijat pelipis, sementara mataku mulai terpejam mengharapkan perasaanku kembali tenang. Pikiranku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu, ketika Joseph Carpenter memutuskan untuk mengubah namanya demi sebuah kepercayaan baru.
Perasaan marah, terkejut, sedih, takut, semua bercampur aduk sewaktu pria itu--dengan teramat berani--mengaku di hadapan seluruh keluarga besar tentang kemurtadannya tepat setelah kami pulang dari ibadah Hari Natal. Waktu yang seharusnya kami gunakan untuk berkumpul dengan khidmat dan mengenang perjuangan Maria sewaktu mengandung dan melahirkan Yesus berubah menjadi bencana.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...