14 Days After, night time;

1.6K 221 12
                                    

[Aqila Al-Amin]

Salah satu kebiasaanku adalah aku tak akan menyentuh gadget sampai seluruh kewajibanku selesai; beribadah, belajar, membantu orang tua dan lain sebagainya. Aku melakukan itu karena percaya terlalu sering bermain benda elektronik seperti itu bisa membuatku lupa akan banyak hal, termasuk hubungan terhadap alam, sesama manusia, bahkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sendiri. Namun, ibuku sering berkata untuk setidaknya menyetel nada dering ponselku, karena kau tidak akan tahu kabar penting apa yang akan muncul dan membuatmu musti mengutamakannya terlebih dahulu.

Masalahnya ialah kautahu aku di sekolah seperti apa; terkucilkan, tak punya banyak teman kecuali para muslim lain yang tergabung dalam satu komunitas kecil dan itu pun hanya beranggotakan tujuh orang saja. Jadi, kupikir tak akan ada yang menghubungiku--dan selama ini memang tak ada--dari sejak magrib hingga selesai waktu belajarku. Perasaanku biasanya akan tenang-tenang saja. 

Namun, untuk hari itu, ingin sekali aku kembali ke waktu lalu.

Jantungku berdegup kencang sewaktu membaca namanya, Lara Douglas meneleponku lima kali dan semuanya dilakukan pada waktu yang berdekatan. Waktu itu aku menduga, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Sebagai teman non-muslim pertamaku di sekolah, agaknya aku bingung kira-kira ada keperluan apa hingga ia melakukan hal tersebut. Sewaktu mengecek ponsel lebih lanjut, aku menemukan Lara juga meninggalkan satu pesan suara.

Aku memutarnya.

Hai, Aqila! Lara memberi jeda di dalam pesannya, alunan napasnya mengatakan bahwa ia tengah mengumpulkan keberanian atau mencari kata-kata yang tepat untuk dikeluarkan. Ah, aku lupa salam dalam agamamu berbunyi seperti apa. Asamulukum? Duh, maaf! Jadi, err ... aku hanya mau bilang, terima kasih sudah menjadi temanku, walau kau bukan teman pertamaku di sekolah. Tapi, ya ... intinya terima kasih untuk dua hari ini. Sampaikan salamku pada Jameelah dan Imran, Muneer, eh, maksudku semuanya. Pokoknya, terima kasih. Selamat tinggal.

Pesan itu berakhir. Aku mengernyitkan dahi.

Jadi, kuputuskan untuk bertanya pada sepupuku yang bertempat tinggal tepat di sebelah rumah.

Aeesha Mohammed, gadis yang setahun lebih tua dariku menyambutku di depan pintu. Dia mempersilahkanku masuk, menyuguhkan secangkir susu dan sepiring kue cokelat buatan tangan kepadaku, sebelum bertanya tujuanku datang ke kediaman Mohammed.

"Sebenarnya, aku punya teman baru di sekolah."

Gadis berkulit gelap itu terlihat gembira. "Benarkah? Alhamdulillah," ujarnya bernapas lega. "Awalnya aku agak takut kau tak akan punya teman karena kau dan keluargamu baru saja menjadi imigran di negara ini."

Aku mengedarkan mata, "Yeah, tapi aku kemari bukan untuk membicarakan itu."

Aeesha mengangkat kedua alisnya.

"Jadi, temanku ini non-muslim dan, kautahu, dia sepertinya menaruh perhatian pada agama kita. Dua hari ini, dia terus menanyakan banyak hal tentang Islam, yang aku jawab sekenanya, takut kalau-kalau itu akan menyinggung perasaannya. Maksudku, bagaimana pun kepercayaan kita sedikit tumpang tindih dengan miliknya."

Kemudian, aku mulai menceritakan tentang pesan suara Lara. Aeesha mendengarkan dengan prihatin. Aku tahu sepupuku ini orang yang tepat untuk kutanyai hal seperti ini, terlepas dia jauh lebih muda daripada kedua orang tuaku. Maksudku, dia mungkin seorang remaja muslim paling gaul yang pernah kutemui sejak berada di negara ini.

"Siapa nama temanmu?" Aeesha bertanya.

"Lara. Lara Douglas."

Dia bergumam. "Kurasa dia orang yang sama dengan Lara Douglas yang kukenal di Facebook."

Mataku membulat mendengarnya. Kupasang ekspresi ingin tahu dengan mendekatkan posisi dudukku ke arahnya.

Aeesha memahami maksudku, dia menunjukkan senyum simpul sebelum meneruskan ceritanya. "Jadi, Lara ... Maksudku, keluarga Lara sepertinya menderita Islamophobia."

Sebelah alisku terangkat naik. "Aku baru tahu ada fobia seperti itu. Apa yang mereka takuti dari agama ini? Islam adalah agama terindah di dunia."

"Itu menurut pemahaman kita, Aqila." Aeesha memberi jeda. Kedua alisnya menekuk ke bawah. Mengelus jilbab hijau muda yang menutupi kepalanya, kakak sepupuku menghela napas. "Mari kita membayangkan diri kita sebagai seorang non-muslim yang tinggal di negara-negara seperti ini, para non-muslim yang hanya mendengar tentang kita dari berita-berita di televisi, bacaan di koran atau pembicaraan dari mulut ke mulut antara sesama non-muslim."

Aku menganggukkan kepala dua kali.

"Hal-hal yang akan sering mereka dengar tentang kita adalah Islam merupakan agama teroris."

Aku tertegun, lalu meneguk ludah. Aeesha benar. Murid-murid di sekolahku juga sering membicarakannya belakangku. Aku sering berpura-pura tidak mendengar, walau pada kenyataannya hal itu agak menyakiti perasaanku. Beberapa di antara mereka memanggil perkumpulan kami adalah kelompok pembina teroris sekalipun kegiatan kami hanya sebatas membaca Al-Qur'an bersama dan mendengarkan kuliah agama. Guru pembimbing kami bahkan tak pernah sekalipun menyinggung hal demikian di setiap pertemuan.

Negara ini mungkin negara bebas, tetapi bukan berarti mereka dapat mencap para muslim dengan label seperti itu. Mereka hanya percaya apa yang mereka lihat, tanpa sekalipun mau mencoba memahami Islam. Kepala sekolah adalah salah satu dari sedikit orang baik yang tak rasis terhadap kami.

"Aku ... Kurasa aku mengerti," kataku dengan kepala menunduk. "Jadi, tak perlu kauteruskan."

Sepupuku menghela napas. Keheningan mengudara di antara kami sampai suara ketukan dan salam terdengar dari pintu depan. Aeesha berdiri meninggalkan aku yang tengah memperhatikan layar ponselku, menantikan berita apa saja yang akan membuatnya berkedip. Perasaanku gundah memikirkan pesan Lara. Sebab, gadis itu mengatakan selamat tinggal, seolah akan pergi ke suatu tempat yang sangat jauh.

"Aqila, ayahmu datang menjemput."

Suara Aeesha membuyarkan lamunanku. Segera saja aku memasukkan gadget-ku ke dalam saku dan berjalan ke arah pintu depan.

Ayahku, seorang pria kulit hitam berjanggut tipis, sedang berdiri di luar pintu tepat di belakang Aeesha. Dia berkata, "Kaupergi tanpa meminta izin. Jadi, kupikir kau pasti berada di sini," yang kubalas dengan tawa renyah.

Sewaktu Ayah menuruni tangga yang terhubung langsung dengan trotoar jalan, Aeesha menepuk pundakku pelan. Hal itu membuatku menghentikan langkah dan menoleh padanya. Tatapan Aeesha jelas-jelas menunjukkan kecemasan yang kuyakini bukan ditujukan padaku.

"Kalau kautanya aku, kita mungkin belum mengenal Lara sebaik orang-orang terdekatnya, tetapi aku yakin Lara adalah teman yang patut untuk dipertahankan." Aeesha berbicara setengah berbisik. "Aku dan Achmed, kami ... kurasa kami sudah tak punya kesempatan. Jadi, aku harap kau bisa membantu Lara dengan masalahnya."

"Masalah? Masalah apa?"

"Aqila! Ayo pulang!" Aku menoleh ke arah ayah yang sedang memeluk diri di trotoar jalan. Kemejanya terlihat tak cukup hangat untuk membantu dia menungguku sedikit lebih lama.

Aku tahu seharusnya aku menanggapi perkataan ayah, tetapi pembicaraanku dengan Aeesha jauh lebih penting sekarang. Namun begitu, Aeesha hanya memintaku untuk segera kembali ke rumah. Lambaian tangannya jelas-jelas mengartikan bahwa dia tak ingin membicarakan tentang Lara lagi.

"Sebaiknya, kautanyakan sendiri pada Lara apa yang ingin kauketahui. Assalamu'alaikum," ujarnya sebelum mengucapkan salam dan menutup pintu.

"Wa'alaikumussalam," jawabku, kemudian berlari mengejar ayah yang menyeberangi jalan raya. []

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang