12 Days After, day time;

1.9K 248 15
                                    

[Suzanne Millia]

Pada waktu makan siang, aku dan Lara tiba di kafetaria berbarengan, sekalipun tak ada satu pun kelas kami yang sama pagi ini. Tanpa jaket musim dingin, dia tampak seperti Lara yang biasa, gadis pirang yang tidak banyak bicara.

Kukira setidaknya Lara menemukan seorang teman baru yang bisa diajaknya mengobrol. Akan tetapi, sewaktu aku melihatnya sendirian berdiri di depan pintu kafetaria, aku tahu ada sesuatu yang salah. Lagi pula, bertahun-tahun di rumah tidak akan membuatmu langsung paham cara bersosialisasi.

Jadi, aku menghampirinya dan mengajari dia cara mengambil makan siang di sekolah serta memberitahu Lara bagaimana seharusnya memulai sebuah pertemanan ala Suzanne Millia. Toh, ini kewajibanku sebagai teman dan sepupu yang baik agar gadis ini tahu cara berada di sekolah. Mana mau aku punya keluarga yang ditindas karena kampungan.

"Kau harus mengantri di sini," kataku, mendorong Lara ke dalam antrean setelah mengambil dua lembar piring makan siang.

"Kenapa kita tidak mengambil makanan sendiri?"

"Soalnya, nanti makanan itu tidak cukup. Kau harus berbadan besar dan berwajah sangar serta berani membantah ibu kantin kalau mau dapat porsi lebih."

"Seperti cowok yang duduk di sampingmu tadi pagi?"

"Duh, Jason berbeda, Lara," balasku meninggikan suara. "Maksudku, ... Ah, sudahlah."

Aku langsung menarik tangan Lara ke meja dimana Emily dan Jessica berada. Namun, kali ini kami tidak hanya duduk bertiga. Jason dan teman-temannya, yang biasanya duduk di meja berbeda, bergabung bersama kami. Mereka sudah memulai makan siang, kecuali Jason yang nampannya terlihat tidak tersentuh secuil pun. Bahkan dia memukul tangan temannya yang bercanda hendak mengambil jatahnya.

Jason berdiri sewaktu menyadari kehadiranku, menyapaku malu-malu--yang tidak berbeda jauh denganku. Conor, yang duduk tepat di sebelah Jason langsung menyingkir, mempersilahkanku untuk mengambil tempatnya. Tentu saja aku setuju--Jason adalah pacarku yang berarti tempat di sebelah Jason sudah pasti milikku, sementara Lara mengambil posisi di sebelah Emily, yang dengan senang hati membantu gadis itu dengan menyimpan nampan makan siangnya di atas meja.

Awalnya, aku mengira Lara akan canggung sewaktu duduk bersama beberapa orang pria sekaligus di makan siang pertamanya di sekolah, tetapi justru sebaliknya. Lara terlihat sangat santai, walau tetap tak banyak bicara dan aura penjahat yang menyamar masih menyebar di sekitarnya. Dia hanya bicara ketika diperlukan. Contoh sewaktu Jason bertanya kenapa dia baru terlihat di sekolah sewaktu semester musim dingin dan bukannya sejak musim gugur. Lara malah menjawab dengan amat puitis, "Daun yang gugur saat pulang sekolah membuat hatiku terasa miris."

Walau demikian, aku sangat senang mendengar Lara berbicara lebih banyak daripada di bis tadi pagi. Seolah-olah dia telah menemukan tempatnya di sekolah. Hal ini membuatku merasa aneh karena dia keluar dari kelas tanpa membawa satu teman baru pun. Akan tetapi, sewaktu Lara memanggil seseorang untuk bergabung bersama kami, seketika itu pula aku paham situasi.

Aku tidak bisa membiarkan dia berteman dengan Lara.

[Aqila Al-Amin]

Aku terlambat ke kafetaria, sekitar lima belas menit tersisa untuk makan siang, karena harus menemui Pak Rasheed untuk beberapa masalah. Walau demikian, aku beruntung karena masih mendapat jatah makan terakhir dan percayalah padaku jumlahnya sangat sedikit, tidak sampai setengah nampanku yang penuh. Akan tetapi, aku mendapat dua gelas cokelat panas sebagai gantinya.

Ini memang tidak akan membuatku kenyang, tetapi aku harus tetap bersyukur karena masih bisa makan. Bagaimana pun, terlepas banyak sedikitnya sesuatu yang berhasil kau peroleh, itu tetap disebut sebagai rezeki. Karena masih banyak orang di luar sana yang tidak bisa makan siang, apalagi mencicipi cokelat panas di pertengahan musim dingin.

Sebagai murid yang berada di luar lingkaran kepopuleran, aku terbiasa makan siang bersama teman-temanku yang biasa saja. Seringkali, aku bergabung dengan sesama anggota klub muslim yang anggotanya hanya berjumlah tujuh orang. Itulah mengapa aku mengira makan siang pertamaku di semester ini akan berjalan seperti waktu kemarin; tentram, damai, serta tanpa gangguan. Namun, satu sapaan yang diucapkan oleh gadis yang kukenal pagi tadi, berhasil membuat aku menjadi sorotan sekolah dalam seketika.

"Aqila! Maukah kaududuk bersama kami?"

Aku terkejut, begitu pun orang-orang di sekitarku. Tak ada dari kami yang beraktivitas sewaktu mendengar pertanyaan Lara padaku. Para murid populer yang duduk tepat di belakang Lara seketika itu memandangiku heran tak percaya. Termasuk Suzanne Millia, vokalis band sekolah yang dari dandanannya saja dia cocok menyandang gelar sebagai seorang penindas.

"Aqila?" Lara mendekat, membuyarkan lamunanku dengan mengambil nampan makanku. "Hei, ayolah! Aku tidak menerima penolakan."

Gadis itu meletakkan makananku di atas meja, aku mengikutinya takut-takut. Firasatku buruk. Apalagi muka Suzanne mulai memerah tanpa sebab, sementara orang-orang masih terdiam memperhatikan kami.

Tiba-tiba Suzanne membentak, "Jangan berani kau duduk di situ!" sambil berdiri dari bangkunya. Dan, percayalah padaku bahwa ini pertama kalinya Suzanne berbicara padaku. Aku sangat terkejut, hingga berjalan mundur selangkah.

Perhatian semua orang beralih kepada Suzanne. Mata abu-abunya membulat, hampir keluar dari tempatnya kalau boleh kuhiperbolakan. Dia maju ke arah Lara, mengambil alih makananku dan menyodorkannya kepadaku sambil berkata, "Pergi dari sini sebelum aku bersikap tidak sopan padamu, muslim."

Aku menautkan alis, lalu mengerling pada Lara yang dari rautnya saja aku tahu dia tak paham situasi. Kepalanya hanya menoleh ke kanan dan kiri tanpa mencoba bertanya pada siapapun yang berdiri paling dekat dengannya. Sewaktu Lara menghampiri kami, aku menerima nampan makan siangku dari Suzanne dan berjalan menuju sudut dimana teman-teman muslimku sedang duduk bersama tanpa peduli Lara yang memanggilku dua kali.

[Emilya Johnson]

Aku mengenal Suzanne sejak SMP. Kami cukup dekat sampai-sampai aku paham apa yang dipikirkannya walau dia belum mengutarakannya padaku. Aku juga hapal apa yang disukainya, serta apa yang tidak disukainya karena kebanyakan selera kami sama, sehingga kami dapat membentuk band group ini setahun lalu bersama Jessica.

Namun, ada satu hal yang tidak dapat kupahami darinya. Maksudku, Suzanne sangat membenci Islam sampai-sampai dia seolah keracunan makanan ketika tak sengaja berpapasan dengan salah satu dari mereka. Aku tidak mengerti kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Jadi, untuk menghilangkan rasa penasaranku, suatu waktu aku mencoba bertanya pada ibunya, Nyonya Millia, tetapi wanita itu pun tak mampu menjawabnya.

Sampai kami masuk bersama ke SMA ini, Suzanne berulang kali berpikir untuk pindah sekolah karena keberadaan para muslim di sini. Dia sudah bangkit dari statusnya sebagai penindas Islam di SMP atau bagaimana ia bersikap melawan muslim yang tak sengaja menumpahkan jus di roknya sewaktu SD. Suzanne sedang berusaha untuk menciptakan reputasi yang baik di SMA agar dia bisa melanjutkan pendidikam ke perguruan tinggi dengan baik. Akan tetapi, kukatakan padanya tak ada satu pun sekolah yang aman dari mereka, ditambah lagi jumlah penganut Islam yang semakin banyak dari tahun ke tahun--kecuali dia masuk ke sekolah asrama. Akhirnya, Suzanne memilih menetap setelah yakin mengikuti saranku untuk menekan sikap emosional yang dapat dimunculkan oleh islamofobianya.

Kuajarkan dia untuk membayangkan para muslim itu sebagai kentang raksasa berjalan. Cara ini berhasil, setidaknya selama satu semester terakhir. Andai aku tahu kalau sepupunya akan bertindak seperti itu, Suzanne mungkin tidak akan meledak seperti siang ini. []

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang