Hujan masih belum juga reda.
Seperti masih ingin menemani para hati yang terluka. Ingin membasuh luka, berniat menyembuhkan walau sebenarnya akan terasa sedikit perih.
Namun sebanyak apapun hujan membasuh luka, sang hujan tak mencapai hati Bambam sama sekali. Pemuda itu terdiam, duduk di lantai ruang latihan dengan tatapan kosong.
"Handphone lo bunyi dari tadi," Youngjae menginterupsi lamunan Bambam, matanya melirik pada ponsel yang menyala menampilkan notifikasi.
Bambam menggangguk kecil pada Youngjae, lantas mengambil ponselnya.
Dalam hitungan detik, wajah sendu itu berubah dalam sekejap. Kedua mata pemuda itu membulat sempurna, menatap tak percaya akan apa yang diterimanya di sana.
Lalice💘:
bisa ketemu?Bambam:
di mana, Lisa?Lalice💘:
cafe biasaBambam langsung bergegas berdiri, sebelum mencapai ambang pintu. Ia menatap Jaebum, bertanya terburu- buru. "Latihan udah selesai 'kan kak?"
"Hah?" Jaebum tampak terkejut dengan keantusiasan pemuda itu. "Oh, udah."
"Oke!"
Hanya sahutan cepat yang diteriakkan Bambam, selanjutnya pemuda itu sudah berlari kencang keluar. Meninggalkan tanda tanya besar di atas kepala beberapa orang.
"Kenapa sih?" Yugyeom mengernyit heran, menatap ke arah pintu yang masih belum tertutup rapat.
Youngjae berujar sambil menali sepatunya. "Lisa."
*
Gerimis berjatuhan di malam ini, menyapa dengan dekat setiap apa yang dilaluinya. Gadis berambut pendek itu menatap keluar melalui dinding kaca besar berhadapan dengan jalanan.
Tak berapa lama kemudian, matanya menangkap sosok pemuda yang tengah berlari. Perawakan tinggi dengan masker hitam dan topi kuning itu, membuatnya langsung tahu dalam sekejap.
Dalam beberapa detik kemudian, pemuda itu telah menjejakkan kaki di dalam cafe yang malam ini sedang sepi.
Bambam menarik kursi, bergegas duduk di depan Lisa. "Kamu nunggu lama?"
Lisa menggeleng pelan sebagai jawaban.
Mendengar jawaban itu, Bambam menurunkan masker hitamnya. Seulas senyum langsung terlihat jelas pada wajah itu.
Lisa menarik napas panjang. Ah, bagaimana dia bisa tersenyum di saat-saat seperti ini? Itu adalah senyum yang selalu ia dambakan, namun ia tak mau sakit karena mendamba senyum itu.
Tangan kurus sang gadis menggeser oreo frappucino yang sudah ia pesan lebih dulu. "Diminum dulu, kamu udah jauh-jauh ke sini."
Anggukan antusias terlihat, Bambam langsung menyesap minuman tersebut. Sedangkan Lisa tengah mengaduk-aduk greentea lattenya dengan gusar.
"Aku mau jelasin semuanya," ujar Bambam, tangannya menggeser sedikit gelas ke samping.
Lisa mendongak dari kesibukannya dengan sendok dan gelas. Gadis itu hanya menatap sambil terdiam, sampai akhirnya beujar. "Kalau aku gak mau dengar penjelasan, bagaimana?"
Napas pemuda itu tercekat, Bambam terhenyak dengan apa yang baru saja dilontarkan oleh gadisnya itu.
Tergegap, pemuda itu berujar. "Lisa, a-apa kamu semarah itu sama aku?"
Lisa menggeleng pelan, senyum tipisnya tersungging. "Aku gak bisa marah sama kamu. Aku cuma ... kecewa."
Otak Bambam berputar, bekerja keras. Tengah mencerna, bahwa kecewa lebih parah dari sekedar marah.
Tangan Lisa terulur ke depan, meraih kedua tangan Bambam dengan lembut. "Terima kasih, selama setengah tahun udah menjaga aku. Menjadikan aku sebagai salah satu prioritas kamu."
Gadis itu menarik napas panjang. "Mungkin, sekarang aku bukan lagi jadi alasan kamu untuk bahagia. Jadi, mulai sekarang jalani hidup masing-masing ya?"
"Lalice...." Bambam menatap sendu gadis itu, airmatanya mungkin sebentar lagi akan terjatuh.
"Bamie, tolong jangan buat semuanya jadi berat. Tolong jadikan ini akhir, agar kita berdua bisa melanjutkan segalanya tanpa saling memikirkan lagi," lirih Lisa.
Kedua tangan Bambam kini menggenggam erat kedua tangan Lisa, ia benar tak ingin melepaskan gadis itu. "Aku mau perbaiki semuanya."
"Kenangan yang kamu simpan tentang aku, hanyalah kita berdua adalah sahabat kecil yang baik. Begitupun dengan aku," Lisa tersenyum tenang. "Selain dari dua sahabag kecil yang baik, tolong anggap saja itu gak pernah ada."
Lisa menarik kedua tangannya, seiring dengan gerimis yang berubah menjadi hujan deras. Seolah mewakili tangis-tangis yang tertahan, dari keduanya.
Sang gadis bergegas berdiri lebih dulu, tersenyum lada sang pemuda. "Aku pamit, jaga kesehatan kamu ya."
Baru saja melangkahkan kakinya, Bambam sudah menahan tangan Lisa. Membuat gadis itu berbalik ke belakang.
Bambam melepas baseball cap kuning yang dipakainya, memakaikan topi tersebut ke kepala Lisa. "Di luar hujan."
Lisa ingin menolak, namun melihat bagaimana tatapan pemuda itu. Pada akhirnya ia mengangguk. "Terima kasih."
Selanjutnya Lisa kembali melenggang pergi, tak ingin terlalu lama tertahan. Ia tak mau jika keputusan yang telah diambilnya tiba-tiba harus berubah karena tatapan dari kedua mata bening itu.
Bambam menatap punggung gadis yang kian jauh darinya itu, sang gadis yang lalu pergi menembus hujan.
Ia kembali terduduk, menatap lurus keluar dengan tatapan kosong. Ada yang ikut menghilang dengan perginya gadis itu, hatinya telah ikut dibawa pergi.
Dipandanginya hujan yang kian menderas di luar sana. Ah, kenapa hujan-hujan itu bukannya membasuh luka? Malah semakin menusuk luka?
***
Bentar lagi Lisa ultah! Kalian mau kado apa buat Lisa di sini? Balikan ama Bambam? Wkwkwkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bambam, Untuk Lisa
Fanfiction[Book 1: Dari Lisa, Untuk Bambam] [Book 2: Dari Bambam, Untuk Lisa] . . . Bersamamu adalah suatu kebahagian yang tak pernah terkira nilainya.