00

353 14 1
                                    

Pagi yang hangat menyapa jendela kayu yang sedikit terbuka. Membuat kain gorden bergerak saat angin yang berhembus sedikit kencang, menyusup masuk melalui celah kecil yang terbentuk. Hening. Hanya terdengar bunyi dentingan jam yang bergerak setiap detiknya. Sosok berambut hitam itu masih tetap bergeming di atas tempat tidur. Tidak peduli dengan suara-suara burung yang sibuk bernyanyi diluar. Atau suara klakson kendaraan yang semakin lama, semakin nyaring.

Tepat setelah pergerakan pertama yang sosok itu lakukan, suara dering ponsel terdengar. Membuatnya kembali menggeliat sebelum akhirnya meraih benda tersebut di meja kecil samping tempat tidur. Matanya masih menutup. Bahkan tubuhnya pun masih dibalut selimut tebal.

"Halo?" Suara serak terlontar kala panggilan telfon tersebut telah tersambung. Ada sedikit suara gemerisik dari seberang sebelum suara lainnya menyusul. Suara perempuan yang sangat familiar baginya. Membuatnya kembali menelungkupkan wajah ke bantal.

"Gue udah di depan rumah lo nih. Cepetan keluar napa, kaki gue pegel banget."

"Iya bentar, gue baru ngumpulin nyawa bentar." Dan sambungan telfon pun terputus saat sosok berambut hitam yang kini duduk di atas tempat tidur itu, membuka sedikit matanya. Beranjak dari tempat tidur setelah hanya 3 jam terlelap bukanlah hal yang membuat harinya baik. Tugas praktikum membuatnya hampir gila dan menyerah. Kalau saja ia bukan salah satu seorang anak yang sangat menghargai sebuah beasiswa, mungkin ia akan dengan mudahnya melalaikan tugas sebagaimana teman-temannya.

Dengan rambut yang masih acak-acakan dan kepala yang sedikit pusing karna efek dari kurang tidur membuatnya terhuyung sedikit. Satu hal yang ia lihat pertama kali saat membuka pintu adalah tampang masam seorang cewek yang berdandan layaknya cewek-cewek fashionable jaman sekarang. Tanpa perlu dipersilahkan masuk pun cewek itu sudah duduk di kursi tamu rumahnya.

"Gila, besok-besok kalo bikin rumah jangan yang masuk gangnya jauh banget dong. Pegel nih kaki gue."

"Ya lagian kenapa coba lo jalan kaki? Tukang ojek kan banyak."

"Ya Ampun Alika, lo pikir tukang ojek jaman sekarang mau dikasih goceng cuma buat nganter sana sini doang?"

"Katanya rumah gue masuknya jauh, kok sana sini doang?"

"Maksud gue buat jalan kaki. Bukan ojek." Cewek berambut pirang yang kini duduk di salah satu kursi ruang tamunya bukanlah cewek biasa. Dia berasal dari keluarga terpandang yang mungkin tidak dapat diremehkan hanya dengan sebelah mata. Dulu, sebelum Alika benar-benar mengenal Dara, dia tidak pernah percaya dengan orang yang mempunyai jabatan tinggi. Atau orang-orang penting seperti orang tua Dara.

Namun saat suatu hari ia benar-benar mengenal Dara, ia tahu bahwa persepsi nya tentang anak dari orang terpandang benar-benar salah. Dara bukanlah salah satu dari mereka yang menatapnya dengan jijik. Menatapnya dengan pandangan meremehkan atau mengasihani. Dara adalah satu-satunya orang yang dapat melihatnya dengan binar hangat. Binar pertemanan yang mungkin sampai sekarang adalah hal yang sangat sukar Alika percayai.

Cewek berambut pirang itu membuka kantung plastik yang memang saat ia membuka pintu sudah ada di tangan kanannya. Meskipun Alika selalu menolak pemberian apapun dari Dara, tapi cewek itu tak pernah jera membawa makanan atau paling tidak buah tangan untuk Ibu nya. Alika tahu kalau orang tua Dara selalu melakukan bussiness tour dan hanya akan pulang sebulan sekali. Hanya untuk menengok anaknya barang 3 hari maupun 4 hari. Maka dari itu, Dara lebih sering menginap dirumah Alika ketimbang tidur di rumahnya sendiri.

"Kebetulan pas gue lewat depan gang rumah lo, ada yang jualan telur gulung. Ibu mana?" Bau hangat khas telur gulung yang memang selalu mangkal di depan gang rumah Alika itu, menguap. Membuat pewangi ruangan yang Ibu simpan di sudut ruangan terkalahkan. "Ibu! Dara dateng! Bawa telur gulung lhoo!" Teriaknya.

CroireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang