08

53 6 0
                                    




Alika memperhatikan penampilannya di kaca. Mulai dari kaus putih sampai legging hitam yang sengaja ia beli di Tanah Abang, serta rambutnya yang ia cepol diatas kepalanya. Tidak ada riasan apapun di wajahnya selain bedak dan lipstick yang ada di kamarnya. Alika bukanlah seorang cewek yang sangat memperhatikan penampilan, terlebih masalah make up. Kalau saja Dara tidak meninggalkan beberapa lipstik dan mascara di kamar Alika, pasti akan sangat ribet untuk memilih dua benda tersebut di Tanah Abang.

Hari ini hari ketiga ia bekerja sebagai manager artist. Sejauh ini, pekerjaannya masih simple dan tidak membutuhkan tenaga lebih, apalagi sampai menyita pikiran Alika. Ia juga masih bisa melanjutkan tugas-tugas kuliahnya di kantor. Dan untuk masalah Erga tempo hari, Ia sendiri tidak terlalu memikirkan bagaimana cowok itu memperlakukannya. Terakhir kali bertemu, cowok itu hanya meminta maaf pada Fara dan menghilang entah kemana. Hari-hari selanjutnya juga ia tak pernah terlihat di kantor. Entah karna memang dia tidak ada jadwal rekaman atau memang ia datang, namun tidak ingin bertatap muka dengan Alika.

Sebenarnya hal tersebut sedikit mengganggu Alika, mengingat ia sebagai manager band mereka dan ikut andil dalam setiap kegiatannya. Namun selama Erga dapat memperlakukannya secara profesional, ia juga akan bersikap sama.

Lamunan Alika buyar kala suara ketukan pintu terdengar, disusul dengan suara wanita yang lembut memanggil namanya. Alika mengambil tas punggungnya dan membuka pintu saat dilihatnya Ibu Alika telah berpakaian kantor dengan rapi. Wanita setengah baya itu tersenyum ketika melihat Alika berdiri dengan map-map yang ada di tangan kanannya.

"Hari ini Ibu nggak masak. Kalau kamu makan siang pulang, ada beberapa makanan didalem kulkas." Alika tersenyum mengiyakan. Alisnya mengerut saat melihat wajah Ibu nya yang terlihat begitu lelah. Sudah lebih dari 2 tahun, Ibunya banting tulang untuk membiayai berbagai keperluan rumah. Mulai dari cicilan hutang sampai beberapa perlengkapan rumah tangga. Alika menghela napas panjang ketika diraihnya lengan Ibu dan dituntunnya wanita itu ke sofa tamu.

"Ibu nggak usah kerja dulu hari ini. Wajah Ibu pucet banget. Istirahat dulu dirumah." Ibunya menggeleng sembari meraih rambut Alika dan mengusapnya lembut.

"Ibu harus kerja hari ini. Ada beberapa kerjaan yang harus diselesaikan supaya dapet bonus. Kan lumayan buat nambah-nambah biaya kuliah sama nutup utang kita."

"Masalah biaya kuliah biar Alika yang pikir, Bu. Kalaupun Ibu nggak kerja sehari kan juga hutang masih bisa ketutup Bu meskipun sedikit-sedikit. Nanti sisanya bisa disisihin buat tabungan Ibu." Ibu tersenyum ketika kedua tangannya menarik kepala Alika dan mengecup dahi Alika lembut. Kehangatanya mampu membuat Alika merasa nyaman. Terlepas dari segala masalah yang dihadapinya, Alika tahu, Ibu nya lah kekuatannya. Ibunya lah salah satu alasan kenapa dia tidak pernah berpikir untuk Give up dari kehidupannya.

"Ibu nanti pulang lebih awal buat istirahat. Ibu janji," ucap Ibu nya setelah kecupan hangat di dahi, terlepas. Alika melihat tubuh yang semakin hari semakin kurus itu, menghilang dari balik pintu.

Ada dua hal yang membuatnya benar-benar muak dengan kenyataan. Mencoba menghindar, tapi selalu kembali menghadapi apapun yang membuatnya bimbang. Ia tidak percaya pada apapun. Ia tidak percaya dengan siapapun. Mungkin dengan Alika membangun benteng dalam dirinya, tidak ada seorangpun yang dapat ia percaya selain Ibu dan tentu saja, Dara. Dua hal yang selalu ia ingin hindari adalah, bagaimana kepercayaan menghancurkannya. Hancur saat orang yang selalu ia panggil 'Ayah' lebih memilih pergi dan melepas tanggung jawabnya. Meninggalkan keluarganya hanya karna memilih kehidupan yang lebih layak. Ya, Ayahnya meninggalkan Ibu untuk wanita yang jauh lebih kaya darinya.

Bukan hanya ayahnya, kakak satu-satunya juga pergi meninggalkan rumah. Alika ingat ketika malam itu, Ibu dan kakaknya tengah bertengkar hebat. Kakak yang ingin terlepas dari kehidupan serba minim ini, memutuskan untuk ikut temannya bekerja di luar negeri. Ibu tidak pernah mengizinkannya karna ia yakin, Ibu tidak ingin kehilangan Kakak. Tepat saat Kakak memutuskan untuk kabur, ia sempat berbicara pada Alika.

"Dek, terserah kamu mau marah sama kakak atau kamu mau membenci kakak. Tapi satu yang kakak mau dari kamu, jaga Ibu. Cukup bajingan bangsat itu yang ninggalin Ibu. Maaf kakak ngecewain kamu sama Ibu, tapi kakak yakin, kakak pasti kembali. Kakak bakal jemput kamu sama Ibu ke kehidupan yang lebih baik. Jaga diri ya adik kecil. Kakak sayang kamu."

Alika percaya, Kakak adalah satu-satunya orang yang akan ia percayai sampai nanti. Sampai ia benar-benar bisa membanggakan Ibu serta Kakak. Namun, perkataan Kakak bukanlah hal yang sanggup ia percayai saat sebuah berita tentang teroris terdengar. Bom di salah satu pusat kota di Amerika menjadi penyebab utama kakaknya pergi. Meninggalkan Alika beserta Ibunya. Kata-kata Kakaknya bukan lagi hal yang terus ia pegang sampai kini. Kata-kata tersebut hanyalah omong kosong kakaknya supaya ia dan Ibunya tidak akan membenci Kakak. Itu hanyalah alasan Kakak.

Alika tersadar saat ponselnya bergetar dan meneriakkan dering telfon yang nyaring sedari tadi. Diusapnya air mata yang ternyata telah menetes, sebelum didekatkannya ponsel tersebut ke telinga.

"Halo? Iya, gue kesana sekarang."


****


Gavin menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya saat pintu berwarna coklat iu terbuka. Menampilkan sosok Alika yang tengah mengatur napasnya dan menyeka keringat yang terlihat di dahi dan beberapa bagian wajahnya. Gavin mengerutkan keningnya sesaat melihat wajah cewek itu yang kelelahan. Diambilnya botol mineral yang ada di meja dan diulurkannya pada Alika. Cewek itu mengambil botol mineral tersebut dan meneguknya cepat.

"Pelan-pelan. Airnya nggak bayar, nggak usah keburu."

Alika berhenti meneguk air mineral tersebut dan tersenyum lebar ketika rasa lelahnya telah sedikit mereda. Gavin menghela napas sembari merebahkan punggungnya ke sandaran sofa yang empuk.

"Jadi, minggu depan kalian bakal manggung di BSD City trus hari Jumat nya kalian manggung di PIM. Pihak penanggung acara udah ngehubungin gue kemarin, dan kita udah diskusiin tentang biaya, perlengkapan kalian juga fasilitas kalian. Jadi, gue tinggal pengajuan ke Pak Adit. Kalian udah latihan kan?"

Gavin mengangkat sebelah alisnya saat Alika mengalihkan pandangannya dari buku note ke wajah Gavin. Cowok itu hanya tersenyum kecil. Membuat Alika mendengus kesal karna bukannya mendengarkan ia berbicara, Gavin malah fokus pada hal lain.

"Gue nggak yakin lo denger apa yang gue omonging tadi."

"Denger." Alika menatap Gavin tidak percaya. Membuat cowok itu membalas tatapannya dengan sedikit senyuman jenaka. "Beneran. Lo nggak percaya?" Alika menggeleng dan menutup buku note sembar bersiap-siap untuk menemui Pak Adit.

"Jadwal manggung gue kan? Gue denger kali. Lo pikir gue ngapain aja tadi diem mulu disamping lo?"

"Ngeliatin gue. Dan lo pikir gue nggak tahu kalo mata lo ngeliatin gue mulu."

"Emang iya gue ngeliatin lo?" Alika mengangguk dan tertawa kecil melihat wajah Gavin yang konyol. "Perasaan lo aja kali. Orang gue ngeliatin buku note lo."

"Oh ya?"

"Oh jadi lo seneng ya gue liatin mulu?" Alika bangkit dan mencoba mengabaikan pertanyaan Gavin yang membuatnya merasa konyol disana. Cewek itu meraih pintu saat suara Gavin kembali terdengar. "Al, yeee diliatin malah pergi. Mumpung diliatin orang ganteng juga, ih."

CroireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang