Jarum jam menunjukkan pukul 9 malam saat mobil hitam milik Erga berhenti tepat di depan restaurant bergaya Eropa. Malam ini dia berjanji akan datang pada acara makan malam bersama keluarga besarnya. Memang, acara seperti ini jarang sekali diselenggarakan mengingat kedua orang tuanya yang juga sangat sibuk. Sebelum memasuki restaurant, Erga sempat melirik mobil sedan silver milik adiknya, terparkir tak jauh dari pintu masuk resto. Meski sesekali Erga pulang ke rumah, namun tak pernah ia mendapati adik satu-satunya itu berada di dalam rumah.Sudah hampir 1 tahun semenjak Erga memilih untuk hidup sendiri dengan membeli sebuah apartemen di daerah Kemayoran. Bukan masalah jarak kampus, rumah dan studio latihan yang cukup menyita waktu. Namun, suasana rumah yang sangat hening membuatnya malas berlama-lama tinggal. Maka dari itu, ia lebih memilih tinggal di apartemen yang notabene masih satu gedung dengan teman-temannya.
Erga melihat kedua orang tuanya yang tengah berbincang dengan adik laki-lakinya, saat seseorang menabrak punggung Erga dan membuatnya hampir terjelungkup ke depan. Membuat kaus putihnya terkena sambal spaghetti milik salah satu pelanggan restoran. Mood Erga yang tadinya biasa saja, sekarang berubah menjadi buruk setelah melihat bajunya yang kotor.
Pandangan seluruh pelanggan resto tertuju kearahnya. Tak terkecuali keluarganya. Tepat ketika Erga membalikkan badannya, ia melihat seorang cewek berambut hitam yang dikuncir satu dengan membawa beberapa bingkisan. Cewek itu menatapnya dengan senyum penuh rasa bersalah. Erga menghela napas panjang. Mencoba mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tengah berada di tempat umum dan bukan tempat yang cocok untuk mengumbar kemarahan. Akhirnya, Erga pun menarik tangan cewek itu keluar dari restaurant.
"maafin gue."
Cewek itu berdiri tepat dihadapan Erga saat laki-laki itu melepaskan tarikannya. Membuat cewek itu beberapa kali mengusap pergelangan tangan.
"apa lo bilang? maafin? Lo udah bikin baju gue jadi sambel spaghetti begini lo bilang maafin?"
"Kan bisa dicuci."
Suara cewek itu mencicit kala melihat kobaran api di mata Erga. Laki-laki itu benar-benar marah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar sambil melangkah mendekat kearah cewek itu, membuat si cewek mengambil langkah mundur.
"Trus gimana sama urat malu gue? mau lo cuci juga?"
"Erga, Udah!"
****
Apa yang lebih sial dari 'tiba-tiba saja sahabat satu-satunya yang lo punya, nitip pesen buat ngambil makan malamnya di restaurant setelah capek-capek kerja seharian'. Mungkin hal itu hal tersial yang pernah Alika lakukan untuk Dara. Ia tau, pasti Dara sedang mendapat tamu bulanannya karna sedari tadi cewek itu menelfonnya cuma untuk memastikan makanannya sampai dengan selamat.
Alika mengucapkan terimakasih pada seorang laki-laki yang berdiri di balik meja kasir. Setelah mendapatkan pesanannya, Alika segera meninggalkan restaurant itu karna badannya sudah mulai pegal-pegal. Namun tepat ketika ia sedang meneliti satu persatu makanan yang dipesan Dara, ia menabrak sesuatu yang keras. Lebih seperti punggung seseorang.
Dan benar. Ia telah menabrak seorang laki-laki yang berdiri tepat dihadapannya. Mata Alika sontak membulat saat dilihatnya laki-laki itu terjelungkup ke meja makan terdekat. Ketika laki-laki itu membalikkan badan, Alika melihat kaus putih yang ia yakin tadinya bersih menjadi berlumuran saus berwarna merah. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum dengan penuh penyesalan, dan berharap kalau laki-laki itu mau memaafkannya.
Namun angan tinggallah harapan saat laki-laki itu menarik tangan Alika dan membawanya keluar dari restaurant. Alika meringis kesakitan dan mencoba melepaskan diri saat langkah laki-laki itu berhenti di pelataran parkir.
"maafin gue."
Alika mendengar suara mencicit dari bibirnya ketika ia sadar bahwa itu adalah suaranya sendiri. Laki-laki dihadapannya ini benar-benar membuatnya takut. Meskipun awalnya Alika juga tidak tahu kalau ia tengah berdiri di hadapannya. Sayang sekali, seharusnya Alika langsung lari ketika melihat sinar kemarahan di mata laki-laki itu. Mengingat ia berada di area parkir, dan kemungkinan lolos untuk kabur adalah 90 persen.
"apa lo bilang? maafin? Lo udah bikin baju gue jadi sambel spaghetti begini lo bilang maafin?"
Alika menatap kaus putih yang memang terlihat mengenaskan dengan noda merah yang sangat terlihat begitu kentara.
"Kan bisa dicuci."
Alika rela jika harus mencuci baju milik laki-laki itu asalkan ia bisa kembali pulang dengan selamat tanpa perlu mendapatkan tatapan tajam darinya. Tepat ketika pikiran tersebut terlintas di pikirannya, laki-laki itu mengambil langkah mendekat yang sontak membuat Alika mundur. Posisinya benar-benar akan tersudut.
"Trus gimana sama urat malu gue? mau lo cuci juga?"
Selama ia menjalani kegiatannya sehari-hari, Alika tidak pernah bertemu dengan orang yang sebegini emosiannya. Ia hanya tidak sengaja menabrak dan baju laki-laki itu hanya berlumuran saus, bukannya rusak ataupun bolong-bolong. Langkah Alika hanya tinggal beberapa senti saat sebuah suara membuat langkah kaki laki-laki itu berhenti.
"Erga, Udah!"
Alika melihat seorang laki-laki yang wajahnya hampir mirip dengan laki-laki di hadapannya itu berlari mendekat kearah mereka. Membuat Alika dapat menghela napas lega, setidaknya itulah yang bisa ia lakukan mengingat ia hampir mati langkah.
"Apasih? urusan gue belom selesai sama dia?" Telunjuk laki-laki yang Alika dengar bernama Erga itu mengarah ke wajahnya. Membuat laki-laki yang baru saja datang menatap kearahnya.
"Lo dipanggil sama Mama. Sekarang."
"Tapi baju–"
"Sekarang!" Potong laki-laki berambut sedikit pirang tersebut. Membuat Erga yang tadinya menatap tajam kearah Alika, membalikkan badan dan masuk kembali kedalam restaurant. Sebelum Alika sempat mengucapkan kata maaf dan terimakasih, laki-laki yang menolongnya tadi sudah duluan masuk kedalam. Menyusul Erga yang sudah beberapa langkah lebih dulu.
Alika menghela napas lega saat diliriknya jam tangan yang menunjukkan pukul 9 malam. Dia harus segera pulang kalau tidak mau mendapat tatapan kesal dari Dara maupun wajah khawatir ibunya. Alika melirik bingkisan makanan yang Dara pesan untuknya saat tiba-tiba saja matanya tidak sengaja melihat pamflet berisi iklan lowongan kerja yang tadi sore Dara tujukan padanya.
Alika mendekat dan melihat dengan jelas apa yang tertulis disana. Tawaran yang mungkin dapat membantunya menyelesaikan masalah ujian akhir semester bulan depan. Kata-kata Dara seperti rentetan suara yang memenuhi otaknya. Tidak dapat berhenti. Ketika satu-satunya jalan yang dapat membantunya sudah didepan mata, tidak ada lagi harapan datangnya keberuntungan lain.
Setelah merobek pamflet yang terpampang di pohon dekat pelataran parkir, Alika merogoh ponselnya untuk menghubungi Dara. Kali ini dia mencoba percaya. Percaya dengan apapun yang akan membantunya menyelesaikan masalah. Ia hanya berharap, Ibu tidak perlu pusing memikirkan biaya ujian akhir semesternya.
"Ra, lo masih di rumah kan?"
***
Akhirnya, Erga dan Alika ketemu.
Erga jangan galak-galak sama Alika ya, ntar Alika nya takut.
Ntar Alika nya kabur, trus ilang deeh. Hu-hu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...