Alika meletakkan berkas-berkas map keatas meja Fara saat perempuan itu masuk dengan laptop yang menyala di tangannya. Pak Adit tidak masuk kantor hari ini karna ada beberapa hal yang harus ia check di luar kota perihal show yang akan dilakukan Wild band. Alika duduk di sofa yang ada di samping kanan meja Fara dan mulai menggeluti jadwal-jadwal Wild Band yang diadakan sebulan kedepan. Tepat ketika Alika tengah menganati jadwal untuk bulan depan, pintu ruangan terbuka dan muncullah Erga yang sepertinya datang untuk latihan. Hari ini mereka memang ada jadwal latihan untuk manggung hari Jumat.Cowok itu melirik Alika sekilas sebelum duduk dihadapan Fara dan membuka map-map yang Alika letakkan tadi. Alika yang semula menatap kedatangan Erga kembali memusatkan perhatiannya pada lembaran kertas dihadapannya. Diantara mereka berdua memang masih terjadi konflik. Apalagi setelah kejadian Erga yang meminta maaf pada Fara, dan mengabaikan Alika yang ada dalam satu ruangan. Sebenarnya Alika tidak peduli dengan Erga yang masih marah padanya, atau Erga yang masih kesal padanya. Hanya saja, meminta maaf pada laki-laki itu adalah suatu hal yang Alika kesalkan. Beribu kali ia meminta maaf, hanya akan diabaikan oleh Erga.
"Habis latihan gue free kan?" tanya Erga entah pada siapa. Laki-laki itu menatap kertas tanpa tahu siapa yang ia tanyakan. Erga mendongak dan melihat Fara yang masih sibuk dengan laptopnya, dan menoleh untuk melihat Alika yang sibuk dengan kertas jadwalnya. "Heloo, gue disini sama manusia kan? bukan sama patung?"
Alika mendongak dan pandangannya langsung bertabrakan dengan mata Erga. Tanpa ada minat untuk menjawab, Alika kembali menunduk dan menekuni kertasnya lagi. Erga mendengus saat melihat reaksi Alika padanya. Alhasil, laki-laki itu menatap Fara supaya wanita itu bisa sedikit berempati padanya.
"Far,"
Fara hanya berdeham tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan sesekali mengetikkan sesuatu di keyboardnya. Erga kembali mendengus dan menggoyangkan tangan Fara agar wanita itu menoleh kearahnya. Fara yang sedang serius, berdecak kesal dan menatap Erga yang melemparkan senyum lima jarinya.
"Apaan sih? Bisa nggak, nggak usah ganggu gue seharian ini aja? Gue butuh konsentrasi nih."
"Ya makanya gue tanya itu dijawab, biar gue nggak gangguin lo terus." Fara menatap Erga kesal dan mengambil selembar kertas yang ada di map mejanya. Fara membaca sebentar sebelum menatap Erga lagi.
"Habis lo latihan, lo harus ngambil kostum yang udah disiapin sama Vita di butiknya karna cuma lo yang belom ngambil."
"Kok gitu? Kenapa nggak diambilin sekalian sih?"
"Ya karna kostumnya banyak, Erga. Lo pikir dengan ngebawain kostum lo itu nggak butuh tenaga ekstra? Lo drummer, otomatis keringet lo banyak dan lo butuh kostum banyak. Atau lo mau nge drum dengan kostum yang basah gara-gara keringet lo?" Erga memutar bola matanya dan kembali memperhatikan Fara yang mulai membaca jadwal mereka lagi.
"trus lo harus ke Ciko buat ngambil sepatu yang lo titipin ke gue kemarin. Lo titip buat bersihin sepatu kan? Jangan bilang lo lupa." Erga mengangkat sebelah alisnya sebelum mengangguk menyetujui. "Udah sih itu aja."
"Kesananya sama lo kan?"
"Ya nggak lah. Itu kan bukan kerjaan gue. Lagian gue lagi sibuk hari ini. Mesti nyelesein data-data buat ke Amrik."
"Ya trus gue sama siapa? Gue kan nggak tahu list-list barangnya di Vita, cuma tahu sepatu gue di Ciko doang."
"Sama Alika kan bisa, Erga. Lagian dia hari ini free kok. Cuma nungguin kalian latihan abis itu udah deh, terserah dia mau balik apa stay." Erga melirik Alika yang sekarang sudah memakai earphone di telinganya dan telah mengganti lembaran-lembaran kertas menjadi buku besar berjudul Tata Hukum Negara. "Alika!"
Alika mendongak saat suara Fara terdengar lebih keras karna melihatnya memakai earphone. Alika melepas salah satu earphone dan menatap kearah Fara. Mencoba tidak memperdulikan Erga yang juga tengah menatap kearahnya.
"Lo nemenin Erga ke Vita sama Ciko ya? Nih anak nggak ngerti apa-apa. Takutnya ntar kecolek sama anak buahnya Vita yang melambai-lambai jadi repot lagi." Alika mengangguk dan kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Yaudah, sana latihan. Disemprot Gavin baru tahu rasa lo."
Erga mendengus sebelum bangkit dari tempatnya dan keluar ruangan. Menyusul Gavin dan Naufal yang sudah berada di dalam studio lebih dulu.
****
Alika melemparkan pandangannya keluar kaca jendela saat kemacetan mulai memadati jalan raya. Selama 30 menit ia habiskan untuk mengamati gedung-gedung Jakarta yang menjulang tinggi. Meskipun di dalam mobil tidak hanya dia sendiri, tapi suasana yang menciptakan keheningan diantara dirinya dan Erga. Ya, setelah menunggu latihan mereka selesai, Erga menyuruhnya untuk menunggu di lobby kantor sementara cowok itu keparkiran untuk mengambil mobil. Kalau saja bukan Fara yang menyuruhnya, dan kalau saja menemani Erga mengambil kostum bukan bagian dari kerjaannya, Alika tidak akan mau duduk disamping Erga dengan keadaan yang sangat hening.
Suara penyiar radio yang terdengar di penjuru mobil-lah yang menjadi satu-satunya sumber suara agar suasana tidak sehening pemakaman. Sementara Alika yang memperhatikan gedung, Erga juga memusatkan perhatiannya pada jalanan raya yang ramai padat. Sebenarnya kemarahan Erga pada Alika sudah mulai memudar. Namun ketika melihat Alika dan bagaimana cewek itu mendorongnya hingga mencium saus spagetti, membuatnya lagi-lagi merasa kesal.
Keheningan diantara keduanya bertahan sampai mobil Erga memasuki pekarangan butik dan berhenti tepat di samping sebuah mobil berwarna putih. Alika ikut turun saat dilihatnya Erga sudah lebih dulu meninggalkannya. Alika sudah dua kali datang ke tempat ini, dan hari ini adalah yang ketiga. Sebelumnya ia datang bersama Gavin dan hari berikutnya bersama Naufal. Jujur, meskipun Naufal lebih sering sibuk bermain game, namun laki-laki seru juga jika diajak ngobrol. Alika bisa bercerita apa saja dengan laki-laki itu. Sedangkan Gavin adalah satu-satunya laki-laki yang menurut Alika terlalu romantis. Laki-laki dengan tingkah laku super lembut pada setiap wanita. Alika tidak terkejut jika fans Gavin banyak. Meski tidak lebih banyak dari Erga.
Seorang wanita tengah berbincang dengan Erga saat Alika memasuki gedung bertingkat 3 itu. Kebanyakan pegawai disana memang laki-laki. Dan seperti kata Fara, laki-laki disana kebanyakan agak kewanitaan alias agak bencong. Jadi, tidak heran kalau Erga minta ditemenin supaya tidak terkena colekan salah satu dari mereka. Alika melangkahkah kakinya memutari penjuru ruangan sembari melihat design-design kebaya, baju maupun dress yang terpajang disana.
"Al,"
Alika menoleh dan mendapati Erga tengah memandang kearahnya dengan beragam kostum ditangannya. Alika mendekat dan melihat Vita, wanita yang berbincang dengan Erga tadi, sudah menghilang dari hadapan mereka berdua.
"Bawain nih. Gue mau ke ruangannya Vita dulu." Belum sempat Alika menolak, laki-laki itu sudah menyerahkan kostum-kostumnya ke tangan Alika dan meninggalkannya sendiri. Alika hanya bisa menghela napas saat punggung Erga hilang dari pandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Genç KurguDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...