Tabuhan drum terdengar dari sudut studio bernuansa abu-abu itu. Tidak ada orang selain sosok laki-laki yang duduk dibalik alat musik besar tersebut. Entah apa yang membuat laki-laki itu menabuh drum seperti orang gila yang baru saja menemukan mainannya untuk dihancurkan. Pintu studio terbuka disusul dengan seorang laki-laki yang membuat tabuhan drum berhenti seketika. Laki-laki itu melempar tas nya ke sudut ruangan sebelum berjalan menghampiri gitar yang tergeletak rapi disamping drum.
"Dari mana aja lo?"
"Kenapa lo?"
Laki-laki yang duduk di balik drum itu mendengus pelan sebelum kembali menabuhkan stik drumnya dengan nada yang tidak beraturan. Sedangkan laki-laki yang baru saja datang lebih memilih memetik senar gitarnya pelan. Membuat nada yang tercipta tidak sinkron dengan nada drum yang ditabuh.
"Kalo udah selesai keselnya bilang. Gue juga mau latihan."
Dan tabuhan drum pun berhenti seiring dengan pintu studio yang terbuka. Terlihat sosok cewek berambut pirang yang berdiri di ambang pintu dengan tangan yang dilipat didepan dada. Menatap kedua laki-laki yang kini juga sedang menatapnya dengan sorot kesal.
"Gue sama Pak Adit mau bicara sama kalian. Terutama sama lo, Erga." Tunjuk cewek itu kepada laki-laki yang ada di balik drum besarnya. "Gue tunggu jam 3 di ruangan."
"Oh, dan Gavin!" Laki-laki yang duduk disamping drum dengan membawa gitar tadi mendongak. Menghentikan petikannya yang mengalun pelan.
"Ya?"
"Ada kiriman dari Mama,"
Dan pintu pun tertutup seiring dengan bayangan langkah kaki yang perlahan menghilang. Menyisakan mereka berdua lagi di studio.
"Kenapa lagi sih lo sama Pak Adit?"
Erga meletakkan stik drumnya dan melangkah keluar dari tempatnya meluapkan emosi. Ekor mata Gavin terus mengikuti kemana perginya Erga saat laki-laki itu lebih memilih menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada di ujung studio.
"Masih gara-gara pencarian manager? Lo tau kan kalo kita emang butuh manager. Fara nggak mungkin nge-handle kita terus-terusan. Sebentar lagi dia juga bakal terbang ke Amrik buat nerusin kuliahnya. Lo mau band kita kacau cuma gara-gara nggak adanya manager?"
"bukan itu masalahnya. Gue nggak siap aja kalo ada orang baru yang tiba-tiba gabung sama squads kita. Gue takut kalo pada akhirnya dia, manager kita yang baru, memilih mundur dan membeberkan semua rahasia kita di awak media. Lo pernah nggak sih mikirin hal itu?"
Gavin menaruh kembali gitarnya ke tempat asal sebelum menaruh perhatiannya kepada Erga. Sebenarnya Gavin tahu apa yang tengah digundahkan oleh temannya itu. Dia juga sempat berpikir, untuk apa mencari manager baru kalau Fara saja bersedia mengaturnya. Namun itu sebelum Fara akhirnya mengambil beasiswa ke Amerika. Kakak satu-satunya Gavin itu memilih melepas jenjang karirnya di dunia entertainment supaya lebih fokus di negara Paman Sam itu.
"Gue juga berpikir hal yang sama. Tapi itu sebelum Fara bilang sesuatu ke gue." Pandangan Erga yang semula terlihat kosong, kini mengarah pada Gavin yang juga tengah menatapnya.
"Nggak semua orang sejahat yang lo pikir. Kita bakal cari manager yang emang bener-bener berpendidikan. Paling nggak, dia punya beberapa keahlian dalam mengatur jadwal kita. Terutama saat off air, on air maupun pas manggung."
Erga menghela napas pelan sebelum akhirnya bangkit dan melangkah menuju pintu. Membuat Gavin yang semula menatapnya dengan tenang, berubah kesal karna lagi-lagi kata-katanya tidak dihiraukan. "Lo mau kemana?"
"Katanya suruh ke ruangan Pak Adit. Ada yang perlu diomongin kan? Ini udah jam 3. Ntar kena omelan Fara lagi." Dan sosoknya pun menghilang setelah pintu tertutup rapat. Menyisakan Gavin sendiri.
****
Derap kaki yang melangkah dengan cepat itu membuat pandangan beberapa orang menatap kearahnya. Dengan buku-buku dan lembaran kertas tugas yang ada ditangannya cukup membuat orang-orang memahami apa yang sedang Alika lakukan. Mengejar dosen. Bukan hal baru bagi para mahasiswa-mahasiswi seperti dirinya mengejar para dosen hanya untuk memberikan tugas praktikum.
"Permisi, Pak. Ini tugas praktikum saya. Tepat 3 hari kan pak?"
Laki-laki berkumis tebal yang mungkin baru saja menginjak kepala 4 itu berhenti dan menatap lembaran kertas yang diulurkan Alika padanya. Butuh beberapa menit bagi Alika untuk menahan pegal nya tangan karna lembaran tugasnya yang tak kunjung diterima.
Baru saja Alika ingin memanggil dosennya tersebut saat lembaran kertas tugas praktikum yang ia bawa sudah berpindah tangan. Alika mengembangkan senyumnya.
"Saya terima. Perihal nilai, akan saya umumkan minggu depan tepat kelas saya mulai."
"Terimakasih banyak, Pak. Saya permisi."
Lega. Satu-satunya kata yang dapat dideskripsikan Alika untuk perasaannya kali ini. Setidaknya sedikit karna nilai yang diberikan dosennya belum turun. Cewek itu berjalan menuju gerbang kampus saat ponselnya berbunyi. Dirogohnya saku dan diambilnya ponsel ketika nama Dara terpampang di layar.
"Lo dimana?" tanya Dara sebelum Alika sempat mengucapkan kata 'Halo'.
"lagi otw mau ke gerbang. Kenapa?"
"Tunggu gue. Jangan kemana-mana. Tunggu ya, awas kalo gue sampe sana, lo nggak ada."
Alika mengernyit heran saat panggilan telfon terputus begitu saja sebelum ia bisa mengelak. Hari ini ia harus segera menuju ke toko buku untuk kembali bekerja. Jam masih menunjukkan pukul 5 sore setelah kelas bubaran. Itu artinya dia bisa menyisakan waktunya untuk kembali bekerja.
Butuh 10 menit sebelum Dara yang menyuruhnya menunggu, benar-benar datang dengan lembaran kertas yang ada di genggamannya. Gadis itu terlihat begitu kelelahan karna berlari entah darimana menuju tempat Alika berada.
"Ada apaan sih lo nyuruh gue nunggu? Kenapa nggak lewat telfon aja coba?"
"Lo habis ini mau kemana?"
"Ke toko buku."
"Besok lo nggak ada kelas kan?" Alika menggeleng sembari menimang apa dia memang tidak ada jadwal kuliah. Dara tersenyum lebar sebelum menunjukkan lembaran kertas yang ia bawa. Alika menyipitkan matanya saat membaca artikel berisi lowongan pekerjaan tersebut.
"Dicari Manager Artist. Berpendidikan. Menarik. Dan bertanggung jawab. Maksudnya apaan nih?"
"Duh, lo masih nggak ngerti? Ini namanya ketiban duren alias rejeki nomplok. Lo kan lagi nyari pekerjaan yang bayarannya tinggi buat semester akhir lo, jadi gue pikir ini pekerjaan yang cocok buat lo. Daripada lo ikut kerja sampingan banyak tapi honor pas-pasan."
"Tunggu deh, lo nawarin gue pekerjaan sebagai Manager Artist? nggak salah?" Dara menggeleng dengan bola matanya yang membulat. "Ra, gue ini mahasiswi Politik, lo pikir dengan gue yang selalu berkutat dengan segala macam kasus korupsi bisa nge-handle seorang artis yang punya banyak banget kegiatan?"
"Kenapa nggak? Gue nggak mau lo kecapekan karna harus mondar mandir dari BSD City ke PIM yang jaraknya jauh banget. Dan lo tau kenapa gue selalu nyari alesan buat bareng sama lo? Itu biar lo nggak kecapekan karna naik busway. Lo harusnya mikir dong kesehatan lo. Paling nggak dengan lo ambil tawaran ini, nggak hanya kesehatan lo yang untung. Honor lo juga bakal cukup buat bayar semester akhir ini."
Alika mengalihkan pandangannya sembari mengusap wajahnya kasar. Dia benar-benar tidak mengerti dengan pola pikir Dara yang selalu diluar nalarnya. Gadis itu memang selalu susah ditebak.
"Oke kalo lo nggak mau nerima bantuan gue buat bayarin semester akhir lo. Tapi paling nggak, lo terima bantuan gue lewat artikel ini. Gue sayang sama lo, Al. Gue nggak mau satu-satunya sahabat gue gila kerja cuma karna nggak mau membebani gue sama Ibu."
Mendengar Dara menyebut Ibu membuat Alika menoleh dan menatap sahabat satu-satunya itu. Ada banyak sekali hal yang harus ia pikirkan beberapa hari terakhir ini. Terlebih dengan biaya akhir semester yang harus ia selesaikan sebelum batas waktunya berakhir.
"Gue pikirin lagi nanti. Gue harus buru-buru ke toko buku."
Alika meninggalkan Dara yang hanya menghela napas sembari menatap kepergiannya. Dara tahu, selalu tahu, bahwa Alika bukanlah orang yang mudah menerima apapun begitu saja. Sahabatnya itu mungkin adalah orang pertama yang Dara kenal sebagai manusia berotak batu dan berhati keras. Sama seperti sifatnya, Keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...