Erga menggeliat pelan saat gorden apartemennya dibuka. Membuat sinar mentari masuk ke kamarnya dan berhasil menusuk mata Erga yang terpejam. Diusapnya wajah yang terasa dingin karna suhu AC yang belum dimatikan. Erga menggeram pelan saat seseorang menarik selimutnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya. Erga menyentakkan tangan tersebut dan kembali menarik selimutnya sampai menutupi tubuh. Tidak ada gangguan lagi sampai pipi kirinya terasa dingin. Ia berjengit kaget dan terduduk di tempat tidur saat bayangan seorang wanita memenuhi kornea matanya."Udah jam berapa? Lo nggak mau latihan? Besok lo udah manggung di Surabaya dan lo masih mau males-malesan disini?" Erga mengerjapkan kedua matanya sebelum wajah Alika tergambar dengan jelas di otaknya.
"Ngapain lo disini?" tanya Erga heran. Terakhir kali, ia melihat Alika tengah bersama Gavin. Dan setelah hari itu, ia memutuskan untuk bersantai di apartemen sampai akhirnya tertidur ketika ia berhasil menamatkan game di PS4-nya.
"Ngapain gue kesini? Bangunin lo. Gue pagi-pagi ke kantor buat ngecek latihan kalian, tapi ternyata lo nggak dateng juga. Dan, gue denger dari Gavin kalo kemarin, lo nggak latihan." Erga mendengus pelan sambil melempar pandangannya ke meja kecil samping tempat tidur. Dahi berkerut saat mendapati sebuah piring berisi roti tawar selai.
"Gue males," balas Erga yang malah mendapat pelototan dari Alika.
"Males? Lo besok manggung dan sekarang lo bilang males? Gila ya lo?!" Erga menatap tajam Alika yang baru saja membentaknya.
"Kenapa? Lo aja bisa seenak jidat lo absen dari kantor, kenapa gue nggak?" Alika mengangkat sebelah alisnya sambil menghela napas.
"Gue absen karna ada beberapa hal yang harus gue urus. Dan hal itu lebih penting dari males-malesan di dalem kamar kayak lo gini."
"Penting? Penting kata lo? Nge date malem-malem, sampe lo absen dan telfon di alihkan itu lo bilang penting? Ternyata begitu ya kehidupan calon Sarjana?" Alika mendengus keras sebelum bangkit dan berkacak pinggang tepat di hadapan Erga.
"Gue nggak pernah minta cuti sama Pak Adit, selain karna urusan gue penting dan mendesak. Kalo lo bilang gue ngedate atau apalah itu, lo salah. Gue nggak pernah ngedate sama siapapun, asal lo tahu."
"Oh bukan ngedate, jadi kemaren lusa itu lo sama Gavin lagi makan malem, bukan ngedate?" Alika menautkan kedua alisnya menatap Erga yang terlihat begitu emosi. Setelah sadar kalau suasana menjadi agak canggung, Erga turun dari tempat tidur dan mengambil piring yang ada di atas meja tadi ke balkon kamar.
"Kok lo tahu sih gue pergi sama Gavin?" tanya Alika yang ternyata menyusul Erga. Erga memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya tanpa berminat menjawab pertanyaan Alika. "lo ngikutin gue ya?" Erga membelalakkan matanya mendengar tuduhan Alika.
"Enak aja. Lo pikir lo siapa? perlu banget gue ikutin," balas Erga sengit.
"trus kok lo bisa tahu kalo malem itu gue keluar sama Gavin? Apalagi kalo bukan ngikutin?" Erga menelan kunyahan terakhir rotinya.
"Gue lagi makan disana, trus gue nggak sengaja lihat lo berdua ngedate. Kenapa? Takut udah ketangkep basah kalo ternyata urusan lo gak penting-penting amat?" balas Erga dengan menekankan kata ngedate. Membuat Alika terdiam dan melemparkan pandangannya ke luar balkon, sampai saat ponselnya berbunyi. Erga menatap gerak-gerik Alika dan sedikit heran ketika melihat raut wajah Alika yang berubah. Raut wajahnya kini berubah menjadi penuh sarat kesedihan. Erga menaruh piring berisi sisa roti tadi ke atas meja.
Erga tidak terlalu mendengar percakapan Alika, tapi Erga tahu, kalau gadis itu tengah menyembunyikan tangisnya. Terdengar dari suaranya yang bergetar. Tepat setelah ponsel diturunkan, Alika menghela napas panjang. Beberapa kali juga Erga melihat gadis itu mengucek matanya ataupun mengusap kedua pipinya.
"Kalo lo mau nangis, gue rela bahu gue basah." Alika membalikkan badannya dan mencoba bersikap seperti biasa. Tapi Erga tahu, gadis itu tidak bisa karna sedetik selanjutnya, ia menangis. Erga bangkit dan merengkuh kedua bahu Alika. Menenggelamkannya ke sebuah pelukan yang mungkin saja bisa menenangkan Alika.
Gadis itu menangis di pelukan Erga. Dan entah kenapa, Erga dapat merasakan sakit yang luar biasa meskipun ia tidak tahu menahu permasalahan Alika. Tapi mendengar tangisan pilu milik Alika, membuatnya bisa merasakan apa yang Alika rasakan. Diusapnya rambut hitam gelap milik Alika sembari merengkuhnya lebih dalam.
5 menit kemudian, tangis Alika mereda. Menyisakan isakan-isakan kecil. Ada hasrat tidak ingin melepaskan. Namun ia tahu, ia harus melepaskan pelukannya.
Erga melonggarkan pelukannya dan menatap wajah Alika yang penuh dengan sisa-sisa air mata. Sekarang Alika terlihat begitu kecil. Dan bukan waktunya Erga membuat gadis itu tidak nyaman. Justru, disaat seperti inilah, Erga mau membuat Alika nyaman dengannya. "Mungkin gue bukan orang yang tepa buat lo bercerita. Tapi, kalo lo butuh orang buat jadi samsak lo, gue rela." Alika tertawa kecil sambil mengusap matanya yang memerah. Membuat Erga menarik ujung-ujung bibirnya.
"Thanks, Ga. Gue cengeng banget ya," kata Alika dengan tawa yang masih terlihat terpaksa. Erga mengusap kepala Alika sambil menatap kedua mata Alika.
"Bukan salah lo jadi cengeng. Setiap orang juga butuh nangis untuk membuat dia lebih lega. Jadi, nggak ada salahnya lo nangis. Nggak selamanya lo bisa nahan apa yang lo rasain. Kadang, lo juga perlu ngungkapin semuanya."
"Tapi gue nggak pernah percaya sama keadaan. Ada satu titik dimana gue dikhianati oleh keadaan, dan ada satu titik dimana gue begitu menginginkan keadaan itu berpihak sama gue." Erga menjajarkan kepalanya agar bisa melihat mata Alika lebih dalam lagi.
"Mungkin sekarang lo nggak bisa percaya sama keadaan. Tapi suatu saat, lo bakal percaya sama apapun. Lo hanya perlu belajar. Belajar percaya sama apapun tentang diri lo. Gue bukannya mencoba menggurui lo, tapi gue adalah tipe orang yang sangat percaya pada apapun tentang diri gue." Alika menatap Erga dengan sisa-sisa air mata yang masih bersarang di ujung-ujung matanya. Ia tersenyum sebelum Erga membalikkan badannya dan kembali duduk di kursi balkon.
"Ngomong-ngomong, gue nggak ngedate waktu itu sama Gavin. Dia nemuin gue dirumah karna ada beberapa pekerjaan yang harus gue selesein. Jadi, sekalian aja dia ngajak gue makan karna Ibu belum pulang," terang Alika yang ikut duduk di kursi samping Erga. Erga hanya menatap Alika dan menganggukkan kepalanya sambil sesekali mengunyah roti selai coklatnya.
"Lo kemana aja sih waktu itu? Gue telfonin hp lo, nggak aktif. Ujung-ujungnya di alihkan ke mailbox. Lo kira gue nggak khawatir apa." Alika sontak menoleh kearah Erga dengan cengiran yang terbentuk di ujung-ujung bibirnya. Erga sendiri memilih untuk memfokuskan makanannya.
"Lo khawatir? Sama gue?" tanya Alika dengan raut jail. "Gue boleh ngakak nggak?"
"Apaan sih. Ya wajar lah orang khawatir. Lo tiga hari minta cuti tanpa keterangan. Lagian yang khawatir nggak cuma gue kok. Pak Adit, Naufal sama temen-temen yang lain juga nanyain lo," elak Erga.
"Tapi mereka nggak kayak lo yang nelfonin gue sampe seratus kali lebih, kan?" Kini giliran Erga yang menatap heran kearah Alika.
"kok lo bisa tahu gue nelfonin lo terus?"
"Yaiyalah. Orang ada pemberitahuan di hp gue. Lo pikir dengan dialihkannya panggilan lo, gue nggak tahu berapa kali lo nelfonin gue?" Alika tertawa kecil. "Hp lo lebih canggih dari gue, tapi otak masih enceran gue."
"trus kalo lo tahu, kenapa nggak nelfon balik?!"
"ya ngapain juga gue nelfon balik? yang ada gue malah diomelin. Mendingan nggak usah." Erga menatap Alika tajam sambil menggigit sisa terakhir rotinya. "eh iya, lo udah ketemu Dara? kok gue tiba-tiba kangen ya sama dia. Hubungan lo sama dia baik-baik aja kan?" tanya Alika yang membuat Erga terdiam. Kenapa ia baru terpikirkan Dara sekarang. Kenapa tidak kemarin-kemarin dan bukan dari mulut orang lain. Terakhir kali mereka bertemu, mereka berada dalam posisi tidak mengenakkan. Dara yang terlihat emosi dan dirinya yang terlihat kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...