Alika tidak tahu kemana alur hidupnya akan berujung. Yang ia tahu, ia selalu yakin pada apa yang menjadi prinsipnya. Ia berhasil menggunakan uang hasil jerih payahnya sendiri untuk membiayai kuliah, tanpa membebankan Ibu di setiap perjalannya. Alika bisa mengatasi semuanya sendiri, kecuali kisah percintaannya.Kadang, Tuhan memberikan cobaan yang ia yakin akan dilalui umatnya dengan ikhlas dan tawakal. Dan Alika percaya, kalau Tuhan selalu memberinya kenikmatan-kenikmatan yang lain.
Hari ini adalah tahun kedua bagi Alika untuk mencicipi beasiswa di negri Sakura, Jepang. Setelah memutuskan untuk keluar dari pekerjaan lamanya, Alika memilih untuk menjadi pengangguran di rumah sembari menunggu sidang. Tapi ternyata, Tuhan berkehendak lain. Ia dipanggil oleh dosennya karna tawaran beasiswa mampir untuk Alika. Tanpa pikir panjang, Alika menerimanya dengan bangga. Ibu memberikan ijin pada Alika asalkan Alika mau bertemu dengan ayahnya.
Tadinya Alika menolak. Untuk apa bertemu orang yang sudah mengkhianati dirinya dan Ibunya selama bertahun-tahun. Tapi ternyata, setelah pertemuan Alika dan Ayahnya saat menemani Erga, ayahnya mencari keberadaan Alika dan Ibunya. Untungnya, beberapa kenalan ayah mengenali Ibu. Sehingga, ayah datang kerumah tanpa sepengetahuan Alika.
Ibu sudah menceritakan semuanya. Tentang ayah yang pergi karna dituduh menghamili orang, dan memaksa nya untuk menikahi wanita hamil tersebut. Kakak pergi bukan karna tahu ayah selingkuh dan pergi meninggalkan mereka, melainkan karna sebuah penyakit langka yang harus diderita kakak beberapa tahun belakangan. Awalnya Alika marah. Marah karna dia tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Bahkan kematian kakaknya pun ia tak tahu sebabnya.
Tapi setelah Ibu membelai rambutnya dan mengatakan dengan halus, Alika mulai berpikir untuk memperbaiki masa lalunya. Masa lalu ada bukan untuk dijauhi. Masa lalu ada untuk dijadikan sebuah pelajaran. Dan Alika tahu, dengan ini, dia harus lebih kuat. Ayah telah kembali bersama mereka. Setelah menikahi wanita hamil tersebut, ayah ternyata diberi sebuah perusahaan pada orang tua wanita itu karna ayah mau menjadi bapak dari anak yang dikandungnya. Meskipun bukan bapak kandung dan harus meninggalkan keluarganya, ayah rela karna ayah bukanlah orang besar yang punya jabatan tinggi.
Wanita hamil tersebut juga berterimakasih pada Ayah sebelum meninggal, karna penyakit jantung. Dan anak yang dikandungnya kini, sudah beranjak dewasa. Ayah sering bercerita tentang keluarga yang ia tinggalkan pada anak itu. Dan yang membuat Alika terharu adalah, anak itu ingin bertemu Alika. Air mata Alika menetes kala mendengar perempuan kecil bermata sipit itu memanggilnya kakak.
Sekarang, Alika harus bersyukur pada apa yang Tuhan rencanakan. Alika harus benar-benar percaya pada apa yang akan terjadi esok hari. Dan sekarang, ia ingin menjadi wanita yang berpikiran luas.
****
Tokyo sedang dalam musim semi saat ini. Pohon-pohon Sakura mulai melihatkan bunga-bunga Sakura berwarna merah muda. Alika suka melihat mereka bermekaran di pinggir jalan. Sesekali Alika memungutnya dan dibawanya pulang untuk hiasan di jendela kamar.
Jam menunjukkan pukul 4 sore saat Alika duduk di salah satu rumah makan di Shibuya. Hari itu sedikit ramai karna akan memasuki akhir pekan. Toko-toko banyak didatangi oleh warga yang akan menghabiskan waktu weekend nya. Alika sendiri tidak berminat membeli apapun selain makanan. Karna memang perutnya terus berbunyi sedari siang.
Saat Alika tengah menyantap makanannya, seseorang menepuk pundaknya. Sontak Alika menoleh dan mendapati teman kampusnya tengah tersenyum lebar padanya. "Jī, suisoku,"* kata Alika pada laki-laki itu.
"Gomen'nasai. Anata wa, anata o odoroka sete imasu ka?"* Alika mengangguk sembari menyesap teh hijaunya. "Gomen, Alika." Alika berdeham dan mengangguk untuk membalas permintaan maaf laki-laki itu.
"Alika, aku ada teman yang juga datang dari Indonesia. Sama sepertimu." Alika mengerutkan dahinya bingung. "Sebentar, dia sedang dalam perjalanan kesini." Alika mengangguk lagi sebelum memasukkan sushi ke dalam mulutnya.
Setelah sepuluh menit berlalu, teman Arata tak kunjung datang. Sedangkan makanan Alika sudah habis sejak 5 menit yang lalu. Alika hendak beranjak dari tempatnya saat sebuah suara memanggil nama Arata. Arata dan Alika sontak menoleh. Saa itulah perut Alika merasa mual. Jantungnya seakan diremas. Tubuhnya juga terasa kaku. Teman yang dimaksud Arata, ternyata orang yang beberapa tahun lalu, menghancurkan persahabatannya.
"Alika?" panggil Erga dengan ragu. Arata yang tadinya tersenyum lebar, sontak menaikkan sebelah alisnya karna Erga menyebutkan nama Alika. "Apa kabar?"
"Kalian sudah pernah kenal?" tanya nya dengan bahasa Jepang yang fasih. Erga menatap Arata sebelum mengangguk. Alika mencoba mengambil oksigen yang tiba-tiba saja terasa kering. Paru-parunya kekurangan stok udara.
"Baik," jawab Alika pelan. Entah kenapa, matanya serasa panas. Ia benci pada laki-laki yang tersenyum dan berdiri di hadapannya ini. Tapi ia juga rindu dengan tawanya. Ia rindu beradu pendapat dan argumen dengannya. Ia rindu segalanya tentang mereka berdua. Dan Alika benci kala dirinya terus menerus memikirkan logika dan gengsinya. Sontak, Alika menghamburkan pelukannya pada Erga. Erga sedikit terkejut ketika didekapnya tubuh Alika yang lebih berisi ketimbang dulu. Erga bisa menyimpulkan kalau wanita itu hidup bahagia disini.
"Al, kau merindukanku?" Tidak ada jawaban dari Alika. Hanya anggukan kecil yang bagi Erga, merupakan hal yang sangat berarti baginya.
****
"gue masih takut tentang masa lalu. Gue masih takut tentang persahabatan gue dan Dara yang hancur. Meskipun gue mencoba percaya lagi, tapi gue masih melukai satu orang. Gue pernah ngerasain gimana rasanya dikhianatin. Dan itu benar-benar pengalaman yang paling sakit menurut gue. Gue nggak mau ngeliat Dara sedih. Gue pengen ngeliat dia bahagia, Ga." Erga menatap Alika yang sudah menitikkan air matanya.
"Gue tahu gimana perasaan lo, Al. Gue tahu lo pernah ngerasain jadi Dara. Bahkan, lo lebih sakit dari yang dialami Dara. Tapi, nggak berarti lo harus mikirin perasaan orang lain ters menerus. Lo juga harus mikirin perasaan lo sendiri. Lo nggak seharusnya menolak percaya karna lo nggak bakal tau apa yang lo hadepin, sebelum lo berani nyoba. Makanya, jangan takut. Percaya sama diri lo sendiri." Alika tersenyum kearah Erga. Entah, ia harus berjuang percaya pada apalagi setelah ini.
"Lagian, Dara udah maafin lo kok. Dia nemuin gue sebulan setelah kejadian di hotel. Dia bilang, kalo dia egois. Dia cuma mikir tentang perasaannya dan nggak mikirin perasaan lo juga. Mungkin emang dia suka sama
gue, tapi setelah dirasa, dia nggak perlu maksa gue buat nerima dia. Karna apapun yang dipaksakan, bukan jadi hal baik buat ke depannya. Dia juga bilang kalo mungkin, lo adalah orang yang tepat buat gue." Alika menoleh dan memicingkan matanya. Membuat tawa Erga pecah. "Nggak, tapi gue beneran. Gue sayang sama lo. Dan Dara nggak bisa maksa gue buat nggak sayang lagi sama lo. Dia kehilangan lo banget setelah lo ngilang.""Gue nggak ngilang," elak Alika.
"Iya, nggak ngilang. Tapi pergi nggak bilang-bilang?" Alika tertawa kecil. "Besok Dara kesini. Mungkin dia tahu lo ada di Jepang dari Ibu karna belakangan dia ada di rumah lo terus."
Alika mendengus kasar. "Dasar, wanita gabut," gerutu Alika saat teringat bagaimana Dara yang selalu membuat ramai rumah.
"Al," panggil Erga. Alika hanya berdeham tanpa mau melepaskan pandangannya dari gemerlap kota Tokyo di atas atap apartementnya. "Lo nggak bakal pergi lagi kan setelah gue bilang, kalo gue sayang sama lo?"
Alika diam. Tidak ada jawaban apapun yang gadis itu lontarkan. Erga takut. Takut kalau setelah ini, Alika pergi seperti mimpi yang hanya semalam dan keesokan harinya hilang. "Kalo gue ngilang, yang ngomelin lo lagi siapa?" balas Alika dengan senyum lebar di wajahnya. Erga menarik hidung Alika dan membuat gadis itu meringis pelan, sebelum menariknya ke dalam dekapan hangat.
•••••
* Astaga, kukira siapa
*Maafkan aku, kau terkejut ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...