17

45 6 0
                                    




Gavin menyilangkan tangannya di depan dada. Mencoba memfokuskan pikirannya pada layar laptop yang menyala di hadapannya. Sudah sekitar 10 menit ia mencari ide dan tidak ada apapun di dalam pikirannya. Sejak lusa, Fara tidak mengirimkan pesan apapun sampai hari ini hampir usai. Dan hal itu yang membuat pikiran Gavin menjadi tidak karuan. Berbagai macam message, e-mail, panggilan video call Skype, Line, Whatsapp sampai Direct Message Instagram. Tidak ada satupun dari pesan Gavin yang perempuan itu baca, apalagi dibalas. Gavin hampir saja mengumpat saat dilihatnya Alika yang baru saja keluar dari lift. Sepertinya cewek itu baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan baru akan pulang.

"Al!" Alika menoleh dan tersenyum lebar. Langkah yang semula menuju pintu keluar, berubah menuju sofa lobby dimana Gavin duduk. "Baru kelar?" Alika mengangguk dan duduk di sofa samping Gavin.

"Daripada kepikiran sampe rumah, mending gue selesein sekarang aja. Lo sendiri belom balik?" Gavin menggeleng dan kembali menatap layar laptopnya lesu.

"Dari tadi nggak ada satu idepun yang masuk ke otak gue." Alika mengintip apa yang ada pada layar laptop Gavin saat dilihatnya daftar pesan masuk e-mail pribadi milik Gavin.

"Nggak ada ide yang masuk, apa sibuk nungguin kabar Fara?" Gavin mendongak dan tersenyum salah tingkah ketika Alika tahu apa yang membuat pikirannya tidak fokus. "Vin, Fara itu udah gede. Dia bisa jaga diri tanpa harus ngabarin lo setiap waktu. Mungkin aja dia sibuk, nggak sempet buka pesan-pesan lo. Nggak semua hal yang lo pikirin itu bakal terjadi. Gue yakin kok, Fara bisa jaga dirinya disana. Gue tahu, dia orangnya pemikir banget." Gavin mengangguk dan tersenyum lebar. Ditutupnya laptop sebelum bangkit dari sofa.

"Lo pasti belum makan kan? Temenin gue dinner yuk. Siapa tahu pikiran gue jadi agak tenangan dikit."

"Tahu aja lo perut gue bunyi. Yaudah ayok."








****





Dara menyandarkan tubuhnya di dinding koridor saat dilihatnya sosok Erga yang berjalan mendekat kearahnya. Laki-laki itu membawa dua kaleng minuman yang langsung disambut senyum lebar Dara. Diulurkannya kaleng minuman tersebut dan diteguknya sebagian.

"Gila, seru banget sih. Andaikan fakultas aku mau ribet-ribet begini." Dara meneguk minumannya sambil sesekali tersenyum lebar.

"Emang fakultas kamu nggak pernah bikin beginian?" Erga menatap orang-orang yang masih berdiri untuk menikmati musik yang terdengar begitu lembut dan indah secara bersamaan.

"Akhir-akhir ini pada sibuk nyelesein skripsi. Mungkin tahun depan kalau udah pada kelar." Erga mengangguk mengerti sambil meneguk sisa minumannya. "kamu sendiri, nggak ada niatan buat nerusin kuliah?" Erga menghela napas sambil berpikir sejenak. Karirnya mulai melejit saat ia masih duduk di bangku sekolah. Ia mulai menapakkan kakinya sejak Pak Adit yang saat itu sebagai manager Fara, menawarkan band milik Gavin untuk rekaman. Dan sejak saat itulah nama mereka mulai terdengar di awak media.

"gue nggak sempet mikir kesana. Gue masih ngerasa kalo karir gue jadi drummer aja udah cukup. Nggak perlu kuliah juga gue udah bisa menghasilkan duit." Dara terdiam. Bukan karna jawaban Erga. Melainkan panggilan yang cowok itu ucapkan membuat Dara bertanya-tanya, sebenarnya Erga itu menganggapnya apa. Kenapa panggilan aku-kamu yang pertama kali cowok itu sebutkan, bisa berubah-ubah seiring perubahan mood laki-laki itu. "udah hampir malem, keluar yuk. Kita cari makan aja. Perut kayaknya perlu amunisi deh."

Dara tersadar dari pikirannya dan mengangguk cepat. Ia tidak lagi berselera untuk meneguk habis minumannya. Dibuangnya kaleng tersebut ke tempat sampah dan berjalan menyusul Erga yang telah lebih dulu menuju ke parkiran.


CroireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang