Alika menghembuskan napas panjang saat dilihatnya pantulan dirinya di kaca lift. Ia memindai kembali penampilannya sebelum melirik ke arah Erga yang ada di sampingnya. Ia mendapati Erga tengah memandang keatas. Dari raut wajahnya, Alika tahu laki-laki gugup. Dan selama Alika menemaninya bertemu dengan para produser, baru kali ini Alika mendapatk Erga begitu gugup."Lo bakal ngadepin sama seperti lo ngadepin produser-produser terdahulu. Kenapa harus gugup sih?"
"Kali ini beda Al. Gue, Gavin, Naufal dan Pak Adit bener-bener berharap besar sama produser satu ini. Selain mereka menggarap musik video beberapa band terkenal, mereka juga punya garapan yang bagus. Itu artinya, kalo gue dapet kerjasama sama mereka, bisa dipastikan para produser lain bakal melirik musik video kita, dan kita bakal banyak tawaran buat manggung."
Dara menatap Erga dengan sedikit takjub. Selain Gavin yang begitu excited dengan pekerjaannya, ternyata ada orang lain yang melakukan hal serupa. Dan orang tersebut adalah Erga. Seseorang yang pernah Alika ragukan dalam melakukan beberapa pekerjaan. Dan sekarang Alika tahu, bahwa ia belum betul-betul mengenal siapa Erga.
"Gue bakal bantu lo." Erga sontak menoleh dan menatap Alika yang sudah mengalihkan pandangannya terlebih dahulu. Menatap pantulan dirinya yang tengah berdiri menanti pintu lift terbuka. Alika melirik Erga yang masih memandang kearahnya. "Kenapa sih lo? Penampilan gue kurang layak ya masuk ke ruang-"
"Nggak. Orangnya nggak memikirkan penampilan. Cuma, beneran lo bakal bantu gue?"
"Gue bakal bantu kalian. Bukan cuma lo doang. Karna ini juga termasuk dari pekerjaan gue."
"Cuma buat gue doang juga nggak pa-pa kok." Alika mengerutkan keningnya sebelum menoleh kearah Erga yang tersenyum lebar. Baru saja Alika ingin menanyakan apa maksud kalimat yang Erga lontarkan, saat bunyi lift berbunyi dan pintu terbuka. Menampilkan beberapa orang berseragam rapi yang juga sedang menanti pintu lift terbuka.
Alika melangkah terlebih dahulu sebelum disusul oleh langkah kaki ringan milik Erga. Keduanya sama-sama diam saat seorang perempuan menghampiri mereka dan memberi petunjuk menuju sebuah ruangan yang berpintu coklat.
"Silahkan, anda telah ditunggu oleh Pak Wicak." Erga membalasnya dengan senyuman. Sedangkan Alika, gadis itu mengerutkan keningnya saat mendengar nama Wicak. Ada hal yang tidak asing baginya ketika mendengar nama itu.
Erga membuka pintu coklat tersebut dan masuk kedalam disusul oleh Alika. Tepat ketika perempuan tadi menyuruh mereka duduk, suara air dari pintu putih yang ada di seberang mereka, terdengar. Alika melirik Ega sekilas. Raut wajah laki-laki itu tenang. Namun Alika tahu, laki-laki itu masih gugup seperti pertama kali ia lihat tadi.
Mata Alika berpindah menuju pintu putih tersebut saat suara aliran air terhenti. Hanya terdengar beberapa gemerisik sebelum suara kunci diputar. Alika menyadari adanya beberapa gerakan dari laki-laki sebelahnya. Ditangkupnya kedua tangan laki-laki itu dan diberikannya senyuman yang baru kali ini Alika lontarkan pada Erga.
"Lo bakal dapet produser satu ini. Gue yakin."
****
Gavin memandangi layar ponselnya yang hanya terpaku pada satu kontak. Ingin sekali ia menghubungi Alika saat beberapa menit yang lalu, tak ada jawaban dari ponsel Erga. Jam sudah menunjukkan lewat makan siang. Dan sudah seharusnya Erga mendapat jawaban dari produse yang mereka incar. Dipandanginya sekali lagi kontak Alika saat pintu studio terbuka, menampilkan sosok Naufal yang menghampiri dirinya dan duduk di kursi yang tak jauh dari tempat Gavin duduk.
"Masih belom ada jawaban dari Erga?" Gavin menggeleng. Mematikan layar ponsel dan menaruhnya di meja kecil dekat sofa. "kenapa nggak nyoba nelfon Alika aja sih? Toh mereka berdua kan lagi bareng."
Tanpa ingin berniat menjawab pertanyaan Naufal, laki-laki itu hanya diam sembari menatap lawan bicaranya. "maksudnya mereka berdua lagi bareng buat ketemu produsernya. Bukan bareng yang kayak 'gitu'. Sensi amat sih mas."
"minggu depan kita bakal tour ke beberapa kota. Dan kalo Erga nggak dapet tuh produser, tour kita nggak bakal bisa mulus. Yang ada, penggemar kita bakal pindah ke boyband-boyband yang baru naik daun itu."
"Lo kayak nggak percaya Erga aja sih. Selama ada Alika, semua beres deh. Eh iya, lo dipanggil Kenta tuh. Katanya ada beberapa fans yang ngirim lo paket." Gavin menatap ponselnya sekilas sebelum bangkit dan berjalan keluar studio.
****
Erga merasa hangat. Entah sejak kapan hangat itu bersarang. Namun ia tahu, kali ini hangat itu lebih dari sekedar hangat. Ditatapnya kedua tangan Alika yang menangkup tangannya yang terasa dingin. Jujur, hal pertama yang membuatnya gugup adalah kali ini. Bertemu dengan orang paling berpengaruh dalam karirnya. Dan untuk beberapa hal lain, keberadaan Alika juga sempat membuatnya gugup.
Erga ingin tangan itu tetap berada pada tempatnya. Erga ingin merasakan kehangatan yang luar biasa ini tidak berhenti dalam sekejap. Namun, angan tinggallah angan. Tangan Alika terlepas dari genggamannya saat pintu putih di hadapannya terbuka. Menampilkan sosok laki-laki berperawakan tegas dengan jas dan dasi kantoran yang mekat ditubuhnya. Meski baru pertama kali bertemu, rasanya Erga merasakan hal yang familiar.
Erga bangkit dan mendekati laki-laki itu untuk menjabat tangannya. Dan detik itulah ia merasakan sebuah perubahan. Alika tidak ada di sampingnya, berdiri seperti tadi, dan ikut menjabat produser itu seperti sebelum-sebelumnya. Erga menoleh ke belakang dan mendapati Alika duduk. Masih seperti semula. Tapi kali ini, pandangannya kosong. Erga mengerutkan dahinya saat arah pandangan itu tidak lurus. Namun tepat menuju laki-laki yang berdiri di hadapannya.
Erga menatap Pak Wicak yang juga tengah menatap lurus kearah Alika sebelum dihampirinya gadis itu. Erga menggenggam kedua tangan Alika yang terasa seperti air es. Dingin dan kaku. "Al? are you okay?" Alika mengerjap perlahan dan tersenyum kearah Erga. Gadis itu menggeleng dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Meski samar, tapi Erga tahu, gadis itu tengah menangis.
"Ga? Kalo misal lo ketemu dia sendiri nggak pa-pa kan? Gue kayaknya perlu udara segar deh."
"emang lo kenapa? AC nya terlalu dingin ya?"
"bukan. Mmm, kayaknya..kayaknya gue perlu sesuatu buat diminum. Gue haus banget."
"Kenapa nggak minta sama mbak nya aja sih? Gue mintain ya?"
"Jangan!" Erga terkejut saat intonasi suara Alika meninggi. Membuat Erga harus menghentikan pergerakannya dan menatap heran Alika. Gadis itu bergantian menatap dirinya dan laki-laki yang masih berdiri di belakang Erga. "Mmm...gue...gue keluar dulu." Dan Alika meninggalkan Erga keluar ruangan. Erga sadar, ada yang tidak beres dengan Alika. Yang ia lihat dan ia rasakan adalah, bahwa gadis itu benar-benar jauh berbeda dari biasanya. Alika menangis dan berteriak.
Juga Pak Wicak yang tiba-tiba saja mematung sembari menatap pintu coklat yang ditutup oleh Alika, selama beberapa menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...