Erga menyingsingkan anakan rambut yang jatuh di depan dahinya. Hari ini ia harus serapi mungkin. Dilihatnya bayangan tubuh dari cermin ketika jam dinding berdetak pukul 4 pagi. Erga mencoba belajar dari kesalahannya kemarin. Ia tidak mau mendapat bogem mentah lagi dari Gavin, kalau dia terlambat. Meskipun Erga belum menanyakan alasan laki-laki itu memukulnya, tapi paling tidak Erga berjaga-jaga untuk tidak membuat mood Gavin jelek.Dan hari ini ia telah siap. Pukul 5 ia harus sudah sampai di bandara karna pesawat akan terbang pukul 6 pagi.
Erga menyambar tas ransel berisi baju dan perlengkapannya saat pintu kamar nya diketuk. Dengan tas ransel yang diselempangkan di bahu kanan, Erga beranjak untuk membuka pintu. Kemarin, setelah menginap semalam di rumah, Erga memutuskan untuk tinggal semalam lagi. Mungkin karna ia sedikit rindu dengan suasana rumah.
Wajah adiknya muncul dengan mata yang masih setengah terpejam. Erga mengerutkan dahinya saat tiba-tiba saja Zelfin mengulurkan sebuah map berwarna merah padanya. Erga tidak langsung menerima karna tiba-tiba saja ponselnya berbunyi.
"dari siapa nih?" tanya Erga yang sesekali melirik layar ponselnya.
"dari temen lo. Cewek. Katanya ini schedule lo seminggu kedepan. Dia juga nitip pesen supaya lo nggak telat bangun dan sampe di bandara tepat waktu," Zelfin menguap sebentar sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "gue udah bela-belain pasang alarm buat lo. Biar lo nggak telat. Jadi, karna lo udah duluan bangun, gue yang tidur." Dan Zelfin kembali ke kamar nya.
Erga menyalakan layar ponselnya setelah terdengar suara pintu ditutup dari ruang sebelah. Nama Naufal terpampang di list panggilan tak terjawab miliknya. Sontak, Erga menghubungi kembali laki-laki itu. "Ngapain nelfon? Gue udah siap tinggal nunggu Pak Maman buat nganter gue."
"Kagak nanya. Gue nelfon lo buat bilang ke lo, kalo charger gue yang lo pinjem, bawa. Batre gue low dan gue bakal jadi orang idiot tanpa hape," balas Naufal yang membuat Erga mendengus kesal dan mematikan sambungan telfonnya secara sepihak.
****
Alika memejamkan matanya sejenak. Menikmati perasaannya yang tiba-tiba saja sesak. Entah karna perihal kemarin, atau sesuatu yang lain. Hari ini ia harus pergi ke Surabaya untuk mengikuti tour milik Wild Band. Pukul 6 tepat pesawat sudah landing, dan Alika masih di tempat dimana ia biasa menenangkan dirinya.
Bayangan akan sosok laki-laki paruh baya yang ia temui tempo hari lalu, masih membuat hatinya miris. Bagaimana tidak, laki-laki yang 3 tahun lalu ia cari kemanapun, tidak ia ditemukan. Bak ditelan bumi. Alika menyerah. Mencoba percaya pada apa yang ia dengar tapi tidak ia lihat.
Namun, ketika Alika mencoba untuk percaya pada apapun itu, kepercayaan itu seakan luntur. Bukan karna Alika tidak mau, tapi seseorang yang selalu membuatnya yakin dan percaya, hilang. Pergi bersama angin lalu yang kehadirannya hanya bisa dirasakan. Tanpa bisa ia amati dan ia sentuh. Alika tersenyum miris. Segitu hancurnya kah kehidupannya? Sampai-sampai Ayah nya meninggalkannya pergi? Segitu sialnya kah hidup Alika, sampai-sampai kakak nya sendiri memilih untuk pergi ketimbang menetap?
Kini, ia tak tahu pada siapa ia harus percaya. Ia tidak tahu harus pada siapa ia bersandar. Mungkin Alika sedikit bersyukur karna ada Dara dan Ibu. Tapi mereka benar-benar belum bisa mengalihkan pikiran Alika, dan membuat yakin Alika sepenuhnya.
Tanpa sadar, ia terisak. Menangisi hidupnya, juga menangisi hal-hal yang membuatnya rapuh. Alika bukan tidak mau terlihat lemah, namun ia tidak mau dikasihani pada orang-orang yang menganggapnya kecil. Ia terlalu rapuh untuk hal itu.
Kejadian tentang tempo hari yang membuat tubuh Alika membeku lagi-lagi datang. Perasaannya memang tidak begitu mendukung saat itu. Ia tidak yakin apakah harus menemani Erga, atau malah menunggunya di mobil. Tapi melihat wajah gugup laki-laki itu, membuat Alika membuang semua perasaan buruknya. Dan saat itulah ia percaya bahwa perasaan buruk, memang selamanya akan menjadi buruk.
Alika melihat laki-laki itu. Laki-laki paruh baya yang dulu pernah menjadi alasan Alika pulang sekolah. Laki-laki yang dulu pernah menjadi tempat bersandar bagi Alika kala ia dirundung sedih. Laki-laki yang akan melangkah maju saat orang-orang membully Alika. Laki-laki yang dulu mencintai Ibu, kakak dan dirinya dengan sepenuh hati. Dan Alika melihatnya sekarang. Berdiri tegak dengan jas dan dasi yang tersemat rapih. Mempunyai jabatan tinggi di salah satu perusahaan bergengsi di tanah air.
Lalu, untuk apa perasaan khawatir Alika selama ini? Berpikir kalau ayahnya tersesat disuatu hutan dan sedang mencari bantuan. Atau ayahnya yang sedang berada di luar kota dan tidak punya cukup uang untuk kembali kerumah. Tapi ternyata, laki-laki yang Alika khawatirkan tengah berdiri di depannya. Menggunakan pakaian orang penting dan bahkan sangat berpengaruh pada kantor tempat dimana Alika bekerja.
Alika memejamkan matanya. Merasakan nyeri yang tiba-tiba saja menjalar. Lebih sakit lagi saat ia bertanya pada ibunya, tapi hanya air mata yang menjadi jawabannya. Alika benar-benar bingung. Bagaimana bisa hidupnya serumit ini.
Ponsel Alika berbunyi. Dilihatnya layar ponsel tersebut dan sebuah nama membuat Alika terpaksa menyeka air matanya. "Ya Ga?"
"Lo dimana?" tanya laki-laki itu langsung pada intinya. Alika berpikir sejenak sebelum mencoba untuk tidak terdengar bergetar pada suaranya.
"G-Gue lagi di...Kampus. Ada hal yang harus gue selesein buat sidang bulan depan, Ga," jawab Alika berbohong. Tidak ada sahutan disana. Hening. Sekitar 6 detik sebelum Alika hendak memutuskan sambungan, suara Erga kembali terdengar.
"Kalo lo butuh bahu buat nangis, bahu gue siap buat lo." Alika mengernyit bingung.
"Maksud lo?"
"Jadi, lo kabur dari bandara cuma buat nangis disini?" sebuah suara datang dari belakang punggung Alika. Sontak, gadis itu menoleh dan mendapati Erga yang berdiri disana. Cepat-cepat Alika bangkit dan menghampiri Erga.
"Kok lo bisa ada disini? Bukannya pesawat lo udah berangkat ya? Harusnya kan lo-" Alika melirik jam tangannya dan menepuk jidat. "Lo bisa dimarahin Pak Adit kalo gini caranya."
"Gue tahu," balas Erga santai.
"Kalo tahu, kenapa malah disini? Lo jam 3 ada konser di Surabaya, Ga. Ini tour lo. Lo nggak bisa gampang-"
"Kenapa nangis?" potong Erga sembari mengambil satu langkah mendekat kearah Alika.
"Ga, lo harus berangkat sekarang. Lo mau konser dan tour lo han-"
"Gue nggak bakal pergi kalo lo juga nggak pergi. Ngerti? Jadi kenapa lo nangis?" potong Erga lagi. Sekarang dengan nada yang sedikit lebih tinggi karna Alika terus menerus mencoba mengalihkan pembicaraannya. Mau tidak mau, Alika terdiam. Ia tidak mungkin menceritakan tentang masa lalunya yang buruk. Itu bukan hal yang tepat sekarang. Ia juga tidak mau membuka luka lama, tidak untuk sekarang.
"Nggak sekarang gue cerita," balas Alika pelan. "Sekarang, kita berangkat. Gue nggak mau dipecat sama Pak Adit cuma gara-gara lo kabur dari bandara."
"Kalo lo dipecat karna gue kabur, gue juga bakal dipecat kan kalo lo ikut kabur gue." Erga menyunggingkan sudut bibirnya dan membuat wajah Alika memerah seketika.
"Erga! Stop it!" Alika memutar bahu Erga dan mendorongnya menuju jalan raya untuk menghentikan taksi, dan kembali ke bandara. Alika sempat melupakan janjinya pada Dara untuk membantu gadis itu dekat dengan laki-laki, yang sekarang berdiri di sebelahnya.
"Ga, kenapa sih lo care banget sama gue?"
---------
Iya, sekali ngepost langsung 3.
Kagak ngapa yah. Kemarin-kemarin nggak ada feeling banget buat nulis dan ngelanjutin Croire. Sempet berpikir buat menyudahi cerita ini dan berpindah ke cerita lain.
Kayak doi yang berpindah ke lain hati. Aduhay.
Tapi, akhirnya aku mendapatkan anugerah untuk melanjutkan kembali. Tunggu Part2 selanjutnya darikoeh.
ketjup mandjah,
A.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...