28

38 4 0
                                    



Gavin menatap layar ponselnya sembari berjalan menuju lobby hotel untuk keluar mencari makanan. Ia melirik jam tangannya saat sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Mau tak mau, Gavin berhenti dan melepaskan pandangannya dari ponsel. Sedetik kemudian, Gavin melihat Erga turun dari bangku penumpang. Disusul Alika yang turun dari kursi penumpang bagian depan. Gavin mengernyit bingung saat Erga langsung berjalan masuk ke dalam, tanpa sedikitpun melirik kearahnya, atau mengobrol sebentar dengan Alika yang juga sudah turun.

Lain hal dengan Erga, Alika tersenyum dan melambaikan tangannya kearah Gavin saat ia mendekat. "Gue bantuin ya?" Alika mengangguk sembari mendorong koper miliknya. Gavin mengambil koper warna abu-abu, yang ia yakin, pemiliknya adalah laki-laki yang ia pukul kemarin. "dari sana jam berapa?" tanya Gavin saat mereka berjalan beriringan.

"Jam 10 udah take off kok. Kebetulan, delay nya nggak begitu lama," jawab Alika tenang. Gavin mengangguk mengiyakan. Ada yang berbeda dari Alika hari ini. Gadis itu terlihat murung dan sedikit tidak bersemangat. Apa ada hubungannya dengan Erga yang tiba-tiba cuek tadi? Gavin mengerjapkan kedua matanya untuk mengusir pikiran-pikiran buruk tadi. "lo mau makan? Gue tadi niatnya mau keluar buat cari makan. Kalo lo mau, gue bisa suruh Jali buat beliin."

Alika tersenyum dan menggeleng, "gue udah kenyang. But, thanks."

****

Erga menumpukan kedua tangannya di besi penyangga balkon kamar. Matanya memandang ke satu titik dimana kota Surabaya terlihat begitu padat dan tersusun. Meskipun tatapan Erga berada di titik itu, tapi tidak dengan pikirannya. Bayangan akan kejadian dimana ia mengungkapkan perasaannya pada Alika, membuatnya sesak. Bagaimana kalau Alika berubah dingin padanya. Bagaimana kalau Alika membencinya. Bagaimana kalau Alika menjauh darinya. Kemungkinan-kemungkinan tersebut membuat hati Erga miris. Menyayangi seseorang, ternyata serumit ini.

Erga harus mengambil keputusan. Ia harus menemui Alika supaya ia tidak terus menerus dirundung gelisah seperti ini. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah 1 siang. Itu artinya masih ada sekitar 2 setengah jam lagi, untuk Erga menyiapkan semuanya. Termasuk berbicara dengan Alika. Ia rasa, setelah kembali dari toilet di pesawat, Erga merasakan suasana canggung. Alika yang memilih fokus pada awan-awan, dan Erga yang memilih melihat film di layar.


****


Alika menatap kosong langit-langit kamarnya. Ada banyak masalah di dalam kehidupannya. Tapi, kenapa semakin hari semakin banyak. Yang dulu-dulu saja belum sepenuhnya tertimbun. Kenapa sekarang bertambah lagi. Apa benar cobaan Alika harus sebegini banyaknya. Alika memejamkan matanya sejenak. Andai masalahnya bisa hilang hanya dengan Alika memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Andai saja, masalah yang merundungnya, tidak membuatnya seperti tercekik. Sesak dan akhirnya menyerah.

Alika masih ingat betapa canggungnya saat Erga kembali dari toilet pesawat. Mungkin Alika sedikit syok dengan ungkapan Erga. Mungkin ia masih tidak percaya pada apa yang laki-laki itu katakan. Alika mempercayai cinta? Bahkan dulu ia menolak untuk tahu. Ayah sudah meninggalkan Ibu yang begitu mencintainya. Dan Alika tidak mau hal tersebut berimbas padanya. Sudah cukup sakit melihat Ibu begitu banyak mengeluarkan air mata, dan Alika tidak mau menangis hanya mengasihani dirinya.

Ada hal yang perlu ia perbaiki. Erga adalah laki-laki yang Dara inginkan. Sahabat karibnya sendiri. Ia sudah berjanji untuk mendekatkan Erga dengan Dara. Bagaimanapun juga, janji tetaplah janji. Sebagai seseorang yang pernah dikhianati, Alika tahu gimana rasanya sakit itu. Jadi, Alika tetap berusaha agar Dara mendapatkan kebahagiaannya. Tidak peduli Erga menyimpan rasa dengannya. Tidak peduli dengan tasa sakit yang perlahan muncul seiring suara Erga yang terus terngiang.

Mungkin ia sedikit emosi tadi. Mengetahui kalau Erga telah menolak Dara di depannya. Mungkin Alika hanya tidak ingin Erga mempermainkan perasaan Dara dan membuat gadis itu sakit hati. Alika tidak mau.

Bagaimanapun, Alika tetap harus berbicara dengan Erga. Tidak peduli dengan suasana canggung yang terbentang diantara mereka.

Dilihatnya jam dinding. Pukul 2 siang. Sebentar lagi ia harus keluar untuk menemani band mereka manggung. Alika bangkit dari tempat tidurnya dan berbenah sebentar. Menyegarkan tubuhnya yang sudah lengket karna penuh keringat.

Sekitar pukul 2 lebih 15 menit, Alika keluar dari kamarnya. Tepat saat itu juga, pintu kamar yang ada di depannya ikut terbuka. Alika tidak tahu kalau kamar Erga berada di depan kamarnya. Seketika, jantung Alika berdetak tidak terkendali. Perasaan canggung lagi-lagi terasa di antara mereka. Entah apa yang ada pikiran Erga, sampai akhirnya laki-laki itu berjalan terlebih dahulu. Melewati lorong hotel sebelum akhirnya masuk ke dalam lift.

Alika mengendus keras. Bagaimana bisa jantungnya berdegup begitu cepat sedangkan Erga saja berlalu seperti tidak pernah terjadi sesuatu pada mereka. Atau lebih tepatnya, mencoba tidak terjadi sesuatu dengan mendiamkan segalanya. Alika benci didiamkan. Tapi dia selalu mendiamkan orang-orang. Mungkin ini yang namanya karma. Merasakan yang orang lain rasakan saat kita melakukan apa yang orang lain tidak suka. Menyesakkan.

****

I'm so sorry karna part ini cuma dikit banget. Nggak sampe 800 kata malah huhu:"""

Cuma mau ngingetin, bakal ada cerita baru lagi. Tapi masih nggak tau deh mau aku update di wattpad atau nggak.

CroireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang