Sebuah suara pintu membuat gadis berambut pirang yang tengah menekuni laptop di atas meja itu bangkit dan menghampiri. Dibukanya pintu dan muncullah Alika dengan kantung plastik yang ia bawa dengan tangan kirinya, membuat Dara tersenyum sumringah. Alika adalah satu-satunya sahabat yang sangat mengerti Dara. Dibukanya tas kantung plastik tersebut dan menyembullah tempat pizza yang harumnya langsung menyerbak memenuhi ruangan."Gila, kalo gini caranya lama-lama gue tambah lebar nih." Meskipun Dara sibuk berceloteh tentang bagaimana dampak tubuhnya setelah memakan makanan cepat saji, namun gadis itu tetap menyuapkan sepotong pizza ke mulutnya dan tidak sadar kalau Alika tengah menatapnya.
"Ra,"
Cewek itu mendongak sementara mulutnya penuh dengan potongan pizza yang baru saja masuk kedalam mulut. Alika ingin sekali berbicara perihal tawaran Dara dan biaya ujian akhir semester saat cewek itu menatapnya polos. Ada sesuatu yang menyumbat pikirannya malam ini. Selain tragedi yang tadi Alika alami.
Bukannya meneruskan kata-katanya yang terpotong, Alika malah bangkit dan menuju kamarnya. Meninggalkan Dara yang masih bingung dengan sikap Alika. Potongan pizza yang memenuhi mulutnya segera ia telan sebelum bangkit dan mengetuk pintu kamar Alika.
"Al, lo manggil tadi ada apaan? Jangan bikin gue kepo dong. Lo kan tau gue orangnya nggak suka dibuat kepo."
"Nggak kenapa-napa. Nggak jadi."
"Tuhkan apalagi yang kayak begituan. Gue jadi mikir nih lo mau ngapain. Ayolah, jangan bikin gue kepo."
Dara tidak mendengar jawaban dari Alika saat tiba-tiba saja pintu kamar Alika terbuka dan wajah cewek itu menyembul. Dara melemparkan senyumnya pada Alika.
"Besok aja. Gue capek, mau tidur."
"Tap-"
Sebelum Dara bisa menyelesaikan kalimatnya, Alika telah lebih dulu menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Dara yang masih menatap pintu kamar Alika dengan alis mengkerut.
****
Alunan lagu yang terdengar di seluruh penjuru studio. Memberikan sensasi yang tak biasa ketika pintu terbuka dan muncullah seorang perempuan cantik berambut pirang dari balik pintu. Membuat Gavin yang sedang merasakan alunan lagu dengan dalam, terpaksa mendongak dan mendapati kalau Fara, kakak perempuannya, tengah menatapnya. Perempuan itu mendengus pelan sebelum melangkah menuju sounds dan mematikan alunan lagu yang tercipta.
"Kenapa si?"
"Lo disuruh Pak Adit buat ikut nyeleksi orang-orang yang ngelamar jadi manager lo. Di depan udah pada ngumpul tuh orang-orangnya."
"Kenapa nggak lo aja?" Meskipun Gavin tidak keberatan dengan tugas yang diberikan padanya, namun ia hanya ingin tahu, apa saja yang akan kakak perempuannya lakukan jika pekerjaannya ia kerjakan. "Lo lebih berpengalaman, exactly."
"Gue sama Pak Adit bagian interview. Lo boleh kok minta tolong temenin Erga atau Naufal. Mereka harusnya free dong. Ini kan calon manager kalian."
Gavin menghela napas pelan sebelum bangkit dari sofa. Melangkah keluar studio dengan Fara yang berjalan disampingnya. Gavin masih tidak percaya kalau sebentar lagi, Fara bukan lagi tanggung jawabnya. Kakak perempuannya itu akan punya tanggung jawab yang lebih besar di negeri orang nantinya. Sekali lagi, Gavin benar-benar tidak ingin memikirkan kepergian kakaknya. Tidak untuk sekarang.
"Erga dimana?" tanya Gavin saat dilihatnya ruangan yang selalu digunakan Erga untuk bersantai, kosong. Dan ia juga tidak melihat batang hidung cowok itu saat pertama kali Gavin datang ke kantor. Fara mengangkat kedua bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Croire
Teen FictionDekapan itu hangat. Namun tak lebih hangat dari pelukan pengiring senja pada suatu waktu. Tak lebih hangat dari lekuk senyum kala rembulan berpendar dilangit cakrawala. Tak lebih hangat dari kenangan yang lebih dari berjuta kali disingkirkan, namun...