27

42 4 0
                                    




Pukul 9 pagi, Gavin sudah sampai di Surabaya. Ia tinggal mengambil koper di bagian bagasi sebelum keluar dari bandara untuk menuju hotel dan istirahat. Moodnya sudah lebih baik dari kemarin, meskipun ia masih marah dengan Erga. Apalagi sekarang, anak itu seenaknya mengubah jadwal dan mengatakan kalau ada keperluan mendesak tentang keluarganya. Bagaimanapun Gavin mengenal Erga, laki-laki itu selalu bodo amat dengan keperluan keluarga. Boro-boro mendesak, sepele aja ogah-ogahan.

Gavin duduk di bangku tunggu sembari menanti kopernya keluar. Saat itu juga, Naufal ikut duduk disampingnya. Terakhir kali mereka berbincang adalah ketika Naufal bersikap dingin kepada Gavin, serta kejadian dimana laki-laki itu menahan bogem mentah Gavin pada Erga. Yang mungkin sedikit Gavin sesali karna ia tak pernah bersikap sekasar itu pada siapapun. Kecuali jika memang kelakuan Erga yang sudah kelewatan baginya.

"Gue boleh tanya?" Naufal menatap Gavin sejenak sebelum melirik jam tangannya. Gavin berdeham untuk membalas pertanyaan Naufal. "Kalian ada masalah apa sih? Gue liat-liat akhir-akhir ini kalian bener-bener sensi. Nggak kayak dulu. Okelah, kalian sering berantem. Tapi nggak pernah sampe nonjok gitu. Ada masalah serius diantara kalian?" tanya Naufal menatap Gavin serius.

Gavin menghela napas panjang sebelum menyandarkan punggungnya di sandaran kursi besi yang dingin. Pikirannya melayang pada kejadian dimana Erga memeluk Alika di balkon kamar laki-laki itu. Bukan masalah bagi Gavin kalau Erga berpelukan dengan Alika, hanya saja, ia tidak mau salah satu diantara mereka, harus menanggung sakit hati karna ulah Erga. Siapa lagi kalau bukan Dara.

Gavin tahu, sejak awal, Erga memang terlihat kesal dengan Alika. Namun Gavin lama-lama tahu, kalau Erga tertarik dengan kepribadian Alika yang begitu telaten. Bahkan, saat bertemu dengan produser penting, Erga lebih memilih ditemani Alika ketimbang Gavin. Dan Gavin rasa, itu bukan hal buruh baginya.

"Gue cuma berusaha buat nyelametin satu hati, yang bakal dihancurin sama Erga. Dan gue nggak mau kalau nantinya, sahabat gue ngelukain dua-duanga sekaligus."

"Maksud lo? Erga sama Dara?" tanya Naufal.

"Dan Alika," sambung Gavin pelan. Membuat Naufal mengangkat sebelah alisnya.

****

Alika menatap awan-awan putih di jendela pesawat sebelum melirik Erga yang terlelap di sebelah kirinya. Laki-laki itu terpejam layaknya bayi. Bergeming di tempatnya tanpa merasa terganggu dengan suara di dalam headset yang terhubung di telinganya. Alika merasakan detak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat saat ia bersama Erga, ketimbang bersama Gavin. Padahal, ia yakin seratus persen, kalau ia lebih tertarik dengan Gavin ketimbang Erga. Tapi kenapa Alika malah merasakan kebalikannya?

Alika menggelengkan kepalanya cepat untuk mengusir pikiran-pikiran nyeleneh seperti tadi. Erga hanya milik Dara. Dan Alika tidak mau merebut apa yang menjadi milik sahabatnya. Alika tidak mau melukai hati Dara. Gadis itu selalu baik padanya, mana bisa Alika membuat Dara menangis.

Alika menghela napas panjang dan membuangnya dengan keras. Begitu kerasnya sampai Erga terbangun dari tidurnya. "Eh, kaget ya? Sorry, gue malah bangunin lo."

Erga tersenyum kecil sebelum mencopot headset di telinganya dan mematikan layar yang ada di hadapannya. "Lo kenapa sih? Ngeliatin awan mulu?"

Alika melirik awan sebentar sebelum kembali menolehkan wajahnya ke Erga. "mmm... karna, karna awannya bagus aja," elak Alika sembari melemparkan pandangannya keluar jendela.

"kenapa harus ngeliat awan yang jauh si, kalo yang deket aja lebih bagus. Lebih tulus lagi," kata Erga pelan. Pelan sampai nyaris berbisik. Meskipun hampir tidak terdengar, Alika masih sempat mendengarnya samar-samar.

"lo bilang apa?" tanya Alika yang dibalas gelengan cepat oleh Erga. Alika hanya mendengus pelan sebelum pikirannya kembali melayang pada Dara. "Ga," panggil Alika. Erga yang sudah kembali memejamkan matanya, hanya berdeham menjawab panggilan Alika.

"Lo kenapa nggak jadian aja sih sama Dara? Gue liat-liat lo berdua udah serasi deh. Cocok. Gue juga seneng ngeliat Dara lebih bahagia setelah ketemu sama lo. Gue baru kali ini ngeliat dia begitu sayang sama orang." Ya Ampun Alika, kenapa hati sama logika nggak bisa sejalan sih. Kenapa dia harus ngomong kayak gitu kalo kenyataannya sebaliknya. Ia tidak ingin jawaban yang buruk dari Erga. Tapi dia juga nggak mau egois dengan hanya melibatkan perasaannya saja.

Setelah merenung beberapa saat tadi, Alika menyimpulkan kalau ia memang tertarik dengan Erga. Ia tidak tahu dengan pasti apakah ia hanya kagum, suka, atau malah lebih dari dua tahap tersebut. Alika tidak mau berharap lebih kalau pada akhirnya, harapan itu musnah. Lagi-lagi ia harus menanggung luka yang sudah ia obati terus menerus.

Alika melirik Erga yang tak kunjung menjawab. Saat itulah mata Alika bisa menatap langsung mata hitam Erga. Alika jadi tahu, kalau mata Erga bukan coklat pekat. Melainkan hitam jernih. Nyaris seperti abu-abu, tapi lebih gelap.

"Sebuah hubungan, dibangun nggak hanya dengan komentar orang tentang cocok atau nggaknya. Gue, bukan orang yang seneng kritik ataupun saran dari orang lain. Tapi, gue tahu gimana ngehormatin saran mereka. Jadi, gue bukannya menolak saran lo. Tapi, perasaan gue sendiri yang emang belom bisa gue pahami. Mungkin Dara emang asyik anaknya. Gue suka sama dia. Tapi bukan berarti gue bisa seenaknya jadian sama dia, tanpa gue bangun rasa percaya gue ke dia," Alika menatap penuh Erga. "Gue, harus bangun kepercayaan pada siapapun yang bakal gue anggap special. Yang gue anggap lebih dari apapun."

"Dan gue percaya sama lo, Al."

Erga menghela napas panjang sebelum kembali menghadap ke depan dan memejamkan matanya. Diam-diam, laki-laki itu mencoba meredakan detak jantungnya yang berdegup kencang saat melihat mata cokelat jernih tadi.

"Tapi Dara lebih bahagia sama lo, Ga. Gue seneng ngeliat sahabat gue bahagia. Lo harusnya tahu apa yang gue rasain karna lo juga punya sahabat."

"Gue hargai perasaan lo, Al. Tapi gue tetep nggak bisa. Gue emang tertarik sama Dara. Gue emang suka sama Dara. Tapi gue nggak bisa jadian gitu aja sama Dara," balas Erga dengan nada yang sedikit tertekan.

"Kenapa sih lo nggak mau jadian sama Dara? Gue tahu Dara lebih dari lo. Dan gue sahabatnya. Gue mau yang terbaik buat dia. Dan dia merasa kalo lo yang pantas buat dia!" nada suara Alika semakin meninggi. Membuat Erga sedikit terhenyak.

"Gue nggak bisa, Al!" balas Erga tidak kalah tinggi. Selain Alika, laki-laki itu juga sedikit emosi.

"Kenapa sih lo selalu bilang kalo lo nggak bisa? Emangnya apa yang kurang dar-"

"Karna gue sayangnya sama lo!" Alika terdiam. Menatap wajah Erga yang sudah memerah karna menahan amarah. Erga menghela napas panjang agar emosinya sedikit menurun. Juga detak jantungnya yang sudah berdetak tiga kali lebih cepat. Erga sudah kelepasan mengatakan perasaannya, dan ia tidak tahu harus melihat reaksi Alika bagaimana. "Sorry, gue ke belakang dulu," pamit Erga tanpa menunggu respon dari Alika yang melemparkan tatapnnya ke luar jendela.

"harusnya lo tau, Ga. Kalo gue juga sayang sama lo. Tapi gue, lebih sayang persahabatan gue sama Dara."

~~~~

Hohoho

Kayaknya ada yang keceplosan ngomong nih. Hayo Erga, trus gimana tuh sama Alika nya?

Ditolak apa diterima yak?

Enaknya gimana? Kalo ditolak, Erga sama aku aja deh. Punya pacar drummer juga oke kok, hihihi.

Oke, jadi updatenya bukan 3 lagi. Jadi 4 karna ini juga ku update hari ini. Oke, ndak apa apa.

CroireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang