"Woi Kunal, lama lu!" Gue teriak dari bawah. Kesel. Nungguin dia kayaknya lama banget, kayak nungguin siput manjat gedung pencakar langit. Biasanya dan di mana-mana, cewek yang kemana-mana dandannya lama. Lah sekarang malah kebalikan, masa si Kunal yang lama banget mandinya.
"Kunal, lu gak mau sekolah apa gimana? Katanya ini hari pertama lo..." gue teriak lagi dari bawah. Kesel gue. Akhirnya daripada nunggu sambil greget-greget sendiri, gue naik ke atas.
Sesampainya di atas, gue tau satu hal. Ternyata daritadi dia ga dengerin gue. Alias, dia ngebo. Alias dia ketiduran. "Kunal!" teriakkan gue sontak bikin dia bangun. "Untung lu udah mandi, jadi masih belom bisa gue tinggal."
"Ini jam berapa?" tanya Kunal setengah ngantuk.
"Jam tujuh."
"Hah!?" Mata Kunal yang tadinya cuma lima watt mendadak berubah jadi 20 watt. Dia langsung merubah posisinya. Yang tadinya tidur telentang jadi duduk dengan ekspresi kaget sekaget-kagetnya.
"Jam tujuh kurang lima belas maksudnya." AHAHAHAH. Makannya jangan tidur terus. Dasar, kebo! "Eh, tapi jangan balik tidur. Perjalanan dari rumah ke sekolah itu sepuluh menit, belom juga nunggu angkot. Terus kalo telat semenit aja, itu gerbang sekolah juga udah di tutup."
"Ya udah, mending lo pake sepatu terus lo pergi."
"Terus lo gimana?"
"Ya, perginya kalo gue udah rapi juga," kata Kunal dengan nada bercanda. "Tenang, gue itu semuanya cepet, kok. Yah kecuali belajar, gue agak lemot emang." Kunal segera lari ke kamar mandi, gatau ngapain, mungkin pipis.
Ya udah, gue tinggal turun kebawah. Berhubung gue masih butuh cemilan, gue langsung buka toples kerupuk udang kesukaan gue. Maklum lah, badan gue ini tipe badan yang gabisa gendut. Menurut gue sih, gue nyemil atau makan banyak kayak apa juga ga terlalu ngaruh.
Lima menit.
Gue yakin, gue sama Kunal pasti telat. Tapi kalo ga sekolah nanti dimarahin mama. Yah, nggak apa-apa lah, setidaknya gue udah nyoba. Ah, tapi ini karena si bocah sialan itu ketiduran. Dasar resek.
Tiba-tiba si Kunal turun. "Maaf, Ya, perut gue gajelas tadi," kata Kunal dengan wajah seakan dia tidak melakukan kesalahan. "Ayok buruan, nanti telat lho."
"Eh, ini mah namanya udah telat tauk." Dengan muka cembetut dan rasa ingin marah yang gue simpan baik-baik dalam hati, gue telen habis itu kerupuk lalu menggendong tas sekolah. Gue dan Kunal berpamitan sama mama. Mama bahkan gatau kalau kita bakal telat. Yang dia tau hanya "gue sekolah".
Yah, begitulah nyokap gue... Dia bisa dibilang hanya fokus cari duit aja. Setelah bokap gue meninggal karena kecelakaan kapal, dia sempet stress ngadepin semua kenyataan yang pahitnya lebih pahit daripada kopi terpahit di dunia ini. Sampai-sampai om gue – kakaknya mama bawa mama ke psikolog. Tapi entah kenapa setahun kemudian, saat sadar kantongnya menipis, dia mulai bawa amplop cokelat keluar masuk perusahaan, alias ngelamar kerja.
Kunal juga home-schooling biar lebih bebas. Dia mau bantuin nyokap gue ngisi duit di kantongnya yang lama-lama hanya bisa buat makan siang doang. DIa jadi guru les. Dia ngajar anak SD. Walaupun gajinya gak seberapa, yang penting bisa ngurangin beban mama.
Gue... Gue masih tetep sekolah di sekolah umum. Gue bikin PR, gue belajar buat ulangan, masuk sekolah tiap hari... Bedanya gue ngerjain sebagian pekerjaan rumah, sebagiannya lagi Kunal yang kerjain. Kalo memasak, gue sama Kunal paling nggak bisa masak. Jadi, nyokap gue langganan cathering buat makanan sehari-hari.
Hmm.. Ribet juga hidup gue.
------------------------------------------------------------------------------
"Eh Azalea lea le, cepetan lo!" teriak Kunal yang baru sadar kalau dirinya bakalan telat. Terus itu kenapa nama gue jadi ada lele nya gitu ya? Nama gue kan cuma Azalea, ga ada lelenya. "Ayo dong Lea, cepetan, nanti kita telat lho."
"Eh, yang bikin telat tu siapa?"
"Elo. Siapa suruh elo jalannya lama."
"Eh enggak ya, yang bikin telat tuh elo. Siapa suruh udah bangun terus tidur lagi."
"Maklum lah, setelah lima tahun jarang bangun pagi, gue kan harus membiasakan diri dulu."
"Terserah lo deh ya. Sekarang mending lu lari ke jalan raya. Pantengin tu angkot!"
"Serah lo!"
Entah kenapa setelah sahut-sahutan itu gue pengen lari ngejar Kunal yang sekarang sudah menghilang dibelokan gang yang langsung menghubungkan jalan kecil itu dengan jalan raya. Akhirnya gue lari nyusul Kunal. Gue takut dia naik angkot duluan dan ninggalin gue.
Sesampainya di pinggir jalan, dia belum juga naik angkot. "Kok lu belom naik angkot?"
"Angkotnya baru aja pergi."
"Serius?" Gue bener-bener kaget. "Kenapa ga dikejar, kakek?"
"Neneknya belom dateng, gimana mau kejar?" Yah, dia mulai lagi. Bercanda di saat-saat kayak gini ga penting tau. Ga bikin gue ketawa pula. Adanya bikin gue tambah kesel. Lama-lama gue ledakin juga ni anak.
"Gausah bercanda kakek sayang..." kata gue dengan senyum palsu yang kelihatan palsunya. Dalam satu detak jantung, ekspresi gue berubah. "Harusnya lu kejar, kampret! Bilang ke supir angkotnya bentar lagi gue sampe, suruh dia tunggu. Atogak teriak kek, panggil gue gitu. Aduh, rese ya. Kalo udah jam segini biasa angkot jarang lewat tau gak sih!?" Kalimat itu keluar begitu saja dalam satu napas. "KITA TELAT TAUK!" Gue pasang muka kesel sekesel keselnya.
"Ya udah, kalo gitu apalagi? Kita lari ke sekolah." Tanpa persetujuan gue, dia lari gitu aja. Yah, apa boleh buat? Gue harus ikutan lari juga, kan?
Setelah lari tanpa henti selama limabelas menit. Akhirnya si Kunal capek juga, dia berhenti di perempatan. Gue ikutan berhenti. "Eh, Ya, sekolah kita belok kanan atau kiri atau lurus atau balik lagi ke rumah aja gausah sekolah?" Gue nepok jidat. Ternyata dia gatau sekolah itu belok mana.
"Belok kiri. Gue juga pengennya balik pulang, tapi nanti kalo ketahuan mama bisa habis kita diceramahin sejam ga berhenti." Yah, begitulah mama. Ceramah gak tanggung-tanggung, bisa sejam, bisa setengah jam. Udah kayak acara tausiah yang di TV. "Ayok lari lagi."
Kunal lari lagi. Walaupun napas tersengal-sengal ga karuan gini, gue masih aja ngikutin Kunal yang kayaknya punya mesin dalam tubuhnya. Habisnya, masak udah lari sejauh ini masih ga capek juga? Mungkin dia punya kekuatannya Quicksilver. Duhh Ya, ngarang mulu deh lu!
"Itu nanti di depan setop ya, Nal," gue memperingatkan.
"Kenapa?"
"Itu sekolahnya."
Dia tidak menjawab. Dia terus berlari sampai akhirnya kami sampai di SMA Proklamasi. Gue langsung buka tas, ambil botol air minum, dan meminum isinya. Gue melirik ke jam tangan. Pukul 07.15. Telat limabelas menit. Biasanya kalau telat lima menit masih bisa nyelip masuk, tapi kalau limabelas menit? Selamat bersenang-senang, kalian nggak bakal diijinin masuk. Mungkin bagi orang itu menyenangkan. Tapi bagi gue itu hal yang sangat buruk. Walaupun hari pertama nggak ada pelajaran, gue ketinggalan momen-momen pertama gue di kelas sebelas, apalagi kali ini ada Kunal. Udah lama gue nggak ngerasain rasanya satu sekolah sama dia.
Tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari ke arah sekolah. Siapa dia? Kok kayaknya gue nggak pernah lihat. Bajunya keluar, dasinya entah di mana, keringatan pula. "Bangsat! Kerjaan preman-preman kampung, nih! Motor ilang, telat sekolah pula. ARGH!"
"Siapa lo?" tanya gue yang masih setengah kaget dengan makiannya.
"Gue anak baru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Teen FictionApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...