Pelajaran Kimia dan lu lupa ngerjain tugas, pulang aja pulang sana. Bisa gila kena hukuman nyalin PR dua kali lipat, berdiri di luar kelas sampai pelajaran selesai, plus, direndahkan sama Pak Ogi. Parahnya lagi, itu yang terjadi sama gue sekarang.
Bingung level gak tau lagi. Mau nyalin tapi nanti pasti ketahuan, kalau ketahuan nyalin malah lebih parah. Bisa-bisa nggak dianggep muridnya. Tanpa sengaja dan tanpa terduga, gue punya ide.
Kabur. Kabur ke rooftop.
Tempat di mana cuman gue dan temen-temen gue yang tau. Gue ambil tas, simpen tas di loker, masukin kunci loker ke kantong, dan cao ke rooftop.
Jalan masuk rooftop ada di dalam gudang sekolah. Meskipun sepi, gue tetep aja ngendap-ngendap. Setelah berhasil masuk, gue menggeser papan triplek yang digunakan untuk nutupin jalan ke rooftop – sebuah tangga.
Begitu sampai rooftop, angin langsung nerpa gue. Rambut gue diacak-acak angin. Kalau kata Kunal sih, 'dikeramasin angin'. Tunggu apa lagi? Gue duduk di tengah-tengah, tempat paling aman untuk sembunyi. Orang-orang dibawah nggak akan bisa liat gue.
Gue nyalain lagu Fix You. Gue nggak bawa earphone, terpaksa deh gue nyalain lagunya dari speaker hape. Dan, setelah lagu pertaman habis, gue baru sadar dari tadi Rio ngeliatin gue dari belakang.
"Loh, Rio?" Dia senyum-senyum. Senyum sinis ala Rio.
"Gue juga nggak bawa tugas kimia." Senyumnya berubah jadi tawa. "So don't call me babyyy..." Dia tiba-tiba nyanyi.
"Unless you mean it." Dan, yah, gue lanjutin.
Kita ketawa-tawa. Beberapa kalimat di lagu mengalir. Sampai kita berdua nyanyi bareng. "Let me know the truth...Before I dive right in to you."
Gue natap matanya. Dia natap balik. Tatapan yang nggak biasa. Tatapan yang belum pernah gue dapetin. Seakan ini bukan Rio.
"Hoi, bukannya kita musuhan?" Tiba-tiba, begitu aja, gue nyadar.
Dan, jawabannya bikin gue pengen ketawa. "Selama dua jam pelajaran ini aja kita temenan."
"Abis dua jam pelajaran ini kita musuhan lagi?"
"Abis dua jam pelajaran ini kita pacaran aja," katanya sambil senyum-senyum jahil. Dia bercanda.
"Hah?" Asdfghjkl. Nggak jelas banget.
Dia ketawa kenceng. Kenapa ketawa coba? "Abis dua jam pelajaran ini terserah lu hubungan kita apa." Gue sih pengennya kita pacaran Rio, kayak yang lu bilang. Ups. Ketahuan deh.
"Btw kenapa lu bisa tau tempat ini?" tanya gue. Penasaran karena perasaan yang tahu tempat ini cuman gue dan kawan-kawan gue doang. Walaupun penjaga sekolah, petugas kebersihan sekolah, dan guru-guru tau, mereka juga nggak tau kalau gue dan kawan-kawan tau tempat ini.
"Gue ngikutin lu." Simpel.
"Ngapain lu ngikutin gue?"
"Bukan urusan lu."
"Oke."
Yaudah lah kalo buka urusan gue. Untung dia dateng, jadi gue nggak sendirian kurang kerjaan selama satu setengah jam di rooftop kayak jones.
Tiba-tiba langit jadi gelap. Gemuruh sana, gemuruh sini. Haduh. Bisa gila gue kehujanan disini. "Lu nggak takut kehujanan disini?" tanya Rio.
"Enggak kok. Emangnya lu takut?"
"Gue cuman takut besok lu kehujanan terus sakit." Ini serius apa enggak, sih? Perasaan baru kemaren gue dijahilin dia, dicontek terus sama dia sampe gue capek, dan hari ini dia... dia baik banget ke gue. Seolah kita lebih dari temen. Sumpah, perasaan gue sekarang campur aduk banget kayak kopi dicampur teh.
"Kehujanan terus sakit, sih, gak-pa-pa. Gue takutnya kita kesamber petir. Gosong disini, mati disini. Itu lebih parah kali." Dan, setelah ngomong kayak gitu gue bener-bener merasa itu parah. Parah banget.
"Ada penangkal petir kali disini. Masa bangunan yang punya empat lantai nggak punya penangkal petir? Yang tiga lantai aja kayaknya punya." Lagi-lagi, Rio bener. SMA Proklamasi memang nggak luas, makannya dibangun tinggi. Lagipula, kelasnya juga banyak. Untuk IPA aja ada empat kelas, Bahasa ada tiga kelas, dan IPS – yang paling banyak – ada lima kelas. Bisa bayangin lah ramenya SMA Proklamasi. Sampai-sampai jam istirahat setiap angkatan beda-beda Disini juga ada aula, lab – lab fisika, kimia, biologi, lab bahasa, dua ruang komputer, studio musik, lapangan, ruangan masing-masing ekskul dan lain-lain.
"Tuh liat tuh," kata Rio sambil nunjuk ke arah samacam tombak yang berdiri dengan ujung tombak di bagian atas. Penangkal petir yang lebih tinggi dari gue dan Rio.
Sekarang, bunyi gemuruh terdengar bersamaan dengan rintik-rintik hujan. Sialan. Apa yang harus gue lakuin? Gue taruh hape gue di dalam kantong rok yang lebih dalam dari kantong baju. Musik tetap menyala dengan suara paling gede, biar rileks. Lagu Don't You Worry 'Bout A Thing habis digantikan dengan lagu... Accidentally in Love.
"Ya?" panggil Rio sambil senyum-senyum. "Lu tau lagu ini juga? Gue pikir selama ini anak jaman sekarang gak ada yang tau lagu ini."
"Ah, lu juga tau lagu ini? Gue juga mikirnya gitu. Ternyata lu tau." Dia julurin tangannya, ngajak gue nari. Nari? Nggak tau juga, sih. Tapi ini kayak ajakan buat nari.
"Nari di tengah hujan kan seru. Apalagi ditemenin lagu ini dan part time friend gue." Ah, ternyata dugaan gue bener, dia ngajak gue nari. Dan, selama tiga menit gue dan Rio serasa lagi jadi orang gila yang nari-nari nggak jelas.
How much longer will it take to cure this? Just to cure it 'cause I can't ignore it if it's love, love. Makes me wanna turn around and face me. But I don't know nothing 'bout love.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Teen FictionApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...