Gue sekelompok sama Athena dan beberapa orang yang gue sama sekali nggak deket sama mereka. Gue tau mereka orangnya yang mana aja, tapi gue nggak terlalu kenal sama mereka aja. Mereka yang bawa senter, mereka yang bawa semua perlengkapan. Terserah mereka lah mau ngapain, gue sama Athena ngikut aja.
Mereka udah dapetin dua bendera sepanjang perjalanan. Ada yang disembunyiin dibali pohon, ada yang kegeletak gitu aja di jalan. Itu semua mereka yang ambil sih. Gue sama Athena udah kayak hantu aja, kita kayak nggak dianggep gitu.
Gue juga nggak terlalu suka sama si Diana. Dia yang paling ambisius. Dia yang paling pengen menang. Selama perjalanan ini aja, Diana udah mancing keributan lima kali gara-gara hal sepele. Terlalu ambisius mah susah.
"AHH!" teriak gue kesakitan. Sakit banget. Gue nggak sadar kalo ada semcem batu yang nonjol keluar. Gue hajar aja tuh batu dan akhirnya... gue keseleo. Kayaknya sih gue keseleo. Gue nggak bakal mungkin bisa ngelanjutin perjalanan. Kalau pun gue paksa lanjutin, hasilnya pasti kaki gue lebih bengkak, lebih sakit, lebih nyusahin kelompok ini.
"Tuh kan, apalagi sekarang?" tanya Diana penuh emosi. Sentimen banget sih. Gini-gini gue kan juga kelompok lu.
"Ya udah, gue disini aja. Udah sana pergi lanjutin noh cari bendera," kata gue. Tanpa mikirin gue atau sekedar bilang 'ya', Diana pergi ninggalin gue. Temen-temen yang lain juga terpaksa pergi ninggalin gue, kecuali Athena. Si teman setia.
"Udah, lu pergi aja, gue sendirian disini juga nggak apa-apa."
Athena ngeleng. "Gue harus disini. Ntar lu mati disini gue yang sedih."
"Elah, lebay amat lu. Gue cuman keseleo."
Gue dipapah Athena duduk di bawah pohon. Dia duduk disebelah gue. Gue rada menggigil. Sebenernya bukan karena udara pegunungan yang dingin ini, tapi karena gue sekarang duduk dibawah pohon di antara kegelapan sambil nahan sakit bareng Athena yang sekarang kepalanya lagi ada di pundak gue.
Gue jadi inget yang Athena ceritain ke gue tadi pagi. Soal mamanya yang sekarang rada error. Jadi mamanya emang suka melukis dari dulu sebelum kedua kakak Athena ini meninggal. Sejak kakaknya Athena meninggal, lukisan mamanya ini jadi berubah. Saking depresinya, mamanya jadi suka ngelukis yang aneh-aneh. Tapi katanya, kemaren ini gambar dia makin aneh lagi. Katanya sih sejak gue ke rumahnya—sejak mamanya manggil gue Julius—lukis mamanya jadi tambah aneh. Katanya mamanya ngelukis suatu peristiwa pembunuhan. Lukisannya bersambung, satu kanvas satu cerita. Kata Athena 'kisah pembunuhannya' belum selesai.
Kok lucu sih. Tadinya gue sama Athena kenalan cuman gara-gara dare. Gue sama Athena deket juga cuman gara-gara dare. Tapi sekarang, semuanya berubah. Sekarang gue emang bukan pacarnya, tapi gue kayak temennya yang paling dia percaya.
"Nal, nyanyi dong, biar nggak serem," kata Athena tiba-tiba.
"Lo takut?"
"Ayolah, nyanyi."
"Gue nggak bisa nyanyi tapi ya... coba aja."
"Look at the stars, look how they shine for you... and everything you do, there were all yellow..." Gue nyanyi sebisa gue. Gue nyanyi sambil nengok ke dia, sambil ngeraba kaki gue yang sakit juga.
Gue terus nyanyi sampe akhirnya gue dan Athena ketiduran.
Ketiduran berdua dibawah pohon, diantara kegelapan, dibawah bintang-bintang, nungguin guru nyariin kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Teen FictionApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...