Rio nyetir dengan tenang. Dia kayak udah biasa bawa mobil. Hebat juga. Gue kalo mau kemana-mana tinggal minta dia anterin aja dong. Ah tapi pacar aja belom, masa iya suruh nganterin. Gue ngeliatin muka nya, dia serius banget. Eh iya, emangnya dia tau mau ke rumah sakit mana?
"Rio, lo tau mau ke rumah sakit mana?" tanya gue.
"Tau kok. Ini udah sampe malah." Rio berbelok. Dia langsung berheneti di area drop off. Gue yang nggak tau apa-apa tentang rumah sakit terpaksa harus turun nganterin Aldo. Gue bingung sekarang gue harus ngapain.
Akhirnya gue memutuskan untuk nanya satpam aja. Dia nyuruh gue ke UGD. Gue bawa Aldo ke UGD. Dia nggak mau gue papah atau gue kasih perhatian lebih atau gimana lah. Dia malah jalan sendiri ke ruang UGD. Dia nggak mau gue anterin malah. Dia bilang gue cuman bikin dia merasa dia udah ngerepotin gue. Ya, gue ngerti kok perasaan kayak gitu. Akhirnya gue pergi ninggalin dia. Gue duduk di ruang tunggu, nungguin Kunal.
Lima menit, sepuluh menit, Kunal datang. "Lama banget, sih."
"Gue ngurus administrasinya dulu. Gue juga udah kasih nomor telepon gue ke susternya, jadi nanti kalo Aldo butuh apa-apa dia bisa hubungin gue," jelas Kunal. "Sekarang kita harus pulang."
Gue ngangguk. Muka Rio mendadak berubah jadi sendu-sendu gimana gitu. Dia kenapa? Rio narik tangan gue. Dia gandeng gue. Dia gandeng gue kayak gue anak kecil yang bakal kabur kapan aja. Kita keluar dari rumah sakit berdua. Dia gandeng tangan gue sampai ke mobil.
Gue duduk manis di kursi depan. Rio mijit-mijit kepalanya. "Kenapa?" tanya gue. Pasti ada yang salah.
"Gue berantem sama mama," katanya singkat, padat, jelas. Gue bisa nebak alasannya.
"Oh. Karena itu ya?"
Dia ngangguk.
"Menurut lo, gue harus gimana?"
"Emang lu berantemnya gimana?" Harusnya gue nggak nanyain soal itu. Tapi kalo kita mau bantu orang, kita harus tau permasalahnnya, kan?
"Gue nanya ke emak gue kalo gue ini anak adopsi atau bukan."
"Aduuhh," gue ngeluh kesel. "Jelaslah. Orang tua mana yang suka kalo masalah yang selama ini dia sembunyiin tiba-tiba kebongkar gitu aja." Gue ngambil napas. "Dia sebenernya kesel, Rio. Dia kesel, terus sedih. Emosinya lagi nggak bener pas itu. Lu harus coba ngomong lagi sama dia."
"Lagi-lagi lu bener." Mukanya datar. Dia kelihatan terbebani gitu. Dia kelihatan beda dari biasanya.
"Katanya pelukan bisa bikin tenang..."
"Katanya kalo pelukan sama orang yang tepat tambah bisa bikin tenang..."
"Konyol deh," kata gue. "Nggak usah basa-basi lah."
Sebuah pelukan erat mendarat di badan gue. Rintik-rintik hujan juga tiba-tiba turun. Mereka seakan tahu kalo ini waktu yang pas buat mereka turun. Pas? Pas apanya? Sekarang gue terjebak sama Rio di mobil, berdua di parkiran rumah sakit. Sekarang, hujannya malah tambah gede. Rio belom pinter nyetir, dia pasti ga berani nerjang hujan.
"Serem nih ya hujannya." Dia ngelepas pelukannya. Apa gue bilang? "Keluar makan di kantin rumah sakit mau nggak? Kan nggak enak kalo kita kelihatan berdua disini."
"Sekarang kita makan dulu, nanti pulang lu temenin gue pulang rumah, ya. Gue mau ngomong sama mak gue."
Gue? Nemenin dia pulang rumah buat ngomong sama emaknya? Lah gue siapa?
Tanpa gue sadari dia udah ada di luar, di sebelah pintu gue sambil bawa payung. "Ayok keluar, dingin nih," teriaknya. Gue sambut dengan senyuman. Dia lucu juga ya.
![](https://img.wattpad.com/cover/103984861-288-k127498.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Fiksi RemajaApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...