Gue terus-terusan keringetan. Gue nggak bisa belajar dengan tenang. Gue nggak perhatiin guru. Gue nggak ngerti apa yang tadi diomongin guru di setiap pelajaran. Gue berkali-kali gigit bibir. Gue berkali-kali salah ambil buku. Gue berkali-kali salah panggil orang. Gue nggak bisa konsentrasi. Tapi intinya, gue gugup. Gue gugup banget.
Bentar lagi jam pulang sekolah, tapi gue masih nggak tau gimana cara nyamperin Athena – si berteka-teki itu. Tapi, kan, ini cuman dare. Apa gue kabur aja, ya? Ah, jangan lah, namanya janji, ya, harus ditepati. Walaupun janjinya secara tersirat.
Kring! Bel pulang sekolah berbunyi. Duh, gue tambah bingung. Tapi kenapa gue haru bingung, ya? Ini kan cuman dare. Inget-inget ya Kunal, INI CUMAN DARE. Dare yang entah kenapa bikin gue jadi bingung banget. Seakan ada sedikit perasaan terselip kayak paper clip di hati gue.
"Kunal, jangan lupa dare nya loh," kata Bintang memperingatkan. Dia jalan ke depan, bisikin sesuatu ke Ya, lalu pergi keluar kelas.
Tinggal satu anak lagi sebelum gue dan Athena bener-bener berdua. Anak itu cepet-cepet masukin bukunya ke dalam tas, menutup seleting tasnya lalu pergi ninggalin kelas. Sekarang, gue bener-bener cuman berdua sama Athena.
Duhh, mulainya gimana ya?
"Hei," seseorang manggil gue dari jauh, "kemaren itu lu beneran kasih minum ke gue, kan? Kalo iya, makasih minumnya." Athena. Ternyata kayak gitu suaranya. Suaranya bena-benar lembut. Ini juga pertama kalinya gue denger Athena ngomong. Dia gak pernah mau ngomong selain sama guru dan itupun dia harus nyamperin gurunya dulu dan ngomong pelan-pelan.
Eh bentar, dia yang manggil gue? Loh kok? Dia bisa manggil orang? Kesambet jin di mana dia? Hah? Serius ga sih?
"Iya bener. Sama-sama," jawab gue sambil tersenyum ramah sambil pasang muka bingung-bingung. Masa gue kasih minum ke dia bohongan. Tapi bingung itu buang waktu ya. Jadi mending gue mulai aja. "Athena." Athena yang sedang memakai tas punggungnya itu langsung membalikan badan.
"Apa?"
"Lo mau nggak jadi pacar gue?" Ada semacem suara-suara gaduh di lorong sekolah. Pasti itu Ya dan temen-temennya. Dan, gue baru sadar kalau kata-kata yang barusan gue keluarin, gue keluarin secara lancar. Tapi tetep aja ada perasaan takut salah. Gue takut Athena malah marah ke gue atau jadi gimana gitu ke gue. Gue juga baru sadar kalau kata-kata tadi itu agak aneh, bikin suasana jadi canggung, bikin gue jadi malu sendiri.
Pipinya memerah. Ada rasa sedikit malu atau mungkin rasa bingung kenapa gue nembak dia. "Ada syaratnya."
"Syarat?"
"Iya." Gue baru sadar suaranya tuh adem ayem gimana gitu. "Lo harus bikin gue bisa bahagia lagi." Gue nelen ludah. Syarat yang kelihatan mudah tapi pasti susah. "Tapi lo belum jadi pacar gue loh ya, nanti kalo lo udah bisa bikin gue bahagia baru lu jadi pacar gue."
"Oh, ya, iya. Nanti sore gue bisa dateng ke rumah lu sekalian ngajak jalan gak? SMS aja alamat rumahnya." Gue ngomong gitu karena gue bingung gue harus ngomong apa lagi.
"Bisa kok. Kalau begitu, gue minta nomor hape lu." Dia dateng sendiri ke gue. Gue kasih nomor hape gue ke dia. Dia senyum sebentar, lalu berjalan keluar kelas. Tanpa lambaian tangan.
Beberapa detik detelah dia keluar dari kelas, gue senyum-senyum sendiri. Senyum lega karena dare gue udah selesai. Gue bingung harus nyiapin ekspresi apa pada fans-fans gue yang pasti lagi nungguin gue keluar. Ya udahlah ya, gue nggak peduli.
Akhirnya gue keluar dengan ekspresi senyum-senyum nggak jelas gimanaa gitu. Sudah gue duga, mereka bakal nyorakin gue.
"Gini dong baru namanya laki-laki," kata Nolan.
"Kita udah denger semuanya kok," kata Ya.
"Iya, Nal, keren. Gue juga mau dong digituin," kata si Sableng Bintang.
"Iya, lain kali ya, Bin."
Kita ketawa nggak jelas. Jelas sih ketawanya, yang bikin nggak jelas mah orangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Teen FictionApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...