Gue terpaksa pergi sama Aldo. Gue terpaksa pergi sama Aldo berdua. Berdua doang tanpa ada makhluk lain diantara kita. Sumpah, ini canggung banget. Sama canggungnya kayak ketemu sama calon mertua. Yah, gue nggak tau sih, nggak pernah soalnya. Tapi beneran deh, ini canggung banget.
Gue cuman senyum-senyum sedangkan Aldo fokus nyetir mobil sampai akhirnya saat-saat yang gue tunggu datang menghampiri. Aldo nanya, "kalau gue bener-bener kakaknya cewek tadi gimana?"
"Ah, masih kepikiran yang itu." Gue bingung mau jawab apa. "Oh ya, namanya Athena."
"Gue emang hilang ingatan, nyokap gue di rumah juga bilang gitu. Tapi anehnya, kenapa gue nggak ngerasa sakit kepala atau gimana gitu ya. Lu tau kan, yang kayak di sinetron-sinetron itu."
Gue ketawa. Aldo lucu juga. "Gue juga bingung. Emannya semua orang yang hilang ingatan, ingatannya bisa balik lagi ya."
"Gue nggak percaya. Buktinya ingatan gue nggak balik tuh sampe sekarang." Aldo nih bisaan aja. Jadi bingung mau dijawab apa.
"Jadi, kita makan di mana?"
"Disini." Aldo langsung membelokan mobilnya ke kiri. Restauran ini menarik. Mungkin menunya bakal bagus-bagus. Tapi ternyata pas gue masuk, gue baru sadar kalo ini cuman warung indomie yang indomie-nya tuh dimasak aneh-aneh gitu. Harusnya sih enak.
Aldo ngajak gue duduk di atas. Kata dia sih lebih enak. Ya sih, emang lebih enak, lebih lega soalnya nggak ada semacem bar-nya. Juga lebih adem dan lebih sepi.
"Lu aja yang pilihin makanan gue. Gue masih kebawa suasana tadi." Oke. Gue pilihin makanan buat Aldo.
"Pedes nggak?"
"Boleh."
Gue segera manggil pelayan restaurannya. Gue pesen makanan dan minumannya lalu jreng! Kita canggung lagi. Dia terus main hapenya dan gue terus main hape gue. Kita terus kayak gini sampe Rio dateng. Ya, Rio.
"Ya, mau ikut gue sebentar nggak?" tanya Rio tiba-tiba, bikin gue kaget aja.
Gue nggangguk.
Gue kodein Aldo biar dia tunggu disitu. Tiba-tiba Rio narik tangan gue. Dia bawa gue ke teras. Ketika angina ngeramasin rambut gue dan Rio masih ngeremes tangan gue, dia ngomong, "Ya, maafin gue."
"Kasih gue alesan kenapa gue harus maafin lo."
"Pertama, gue ngaku gue salah kemaren. Gue emang berengsek kemaren dan mungkin gue akan selamanya berengsek, gue juga nggak tau. Tapi yang gue tau, hari ini gue nggak berengsek. Karena katanya hari ini menentukan siapa kita di masa depan. Jadi yah, lu tau kan maksud gue."
Gue geleng-geleng kepala.
"Gue nggak akan jadi berengsek. Gue janji."
Gue senyum sambil bertanya dalam hati, ada lagi?
"Kedua, iya gue yang kemaren ngajak lu ke rumah gue. Iya gue yang terlalu emosian sampe gue nyuruh lu pulang dan lain-lain. Pasti lu lebih bete lagi dari gue, jadi gue minta maaf."
Dia jadi lebih dekat ke gue. Matanya fokus ke gue. Ada apa nih?
"Ketiga, gue sayang sama lu. Terus kan katanya hari ini menentukan siapa kita di masa depan, jadi lu mau nggak jadi pacar gue?"
Gue diem. Dia barusan nembak gue? Beneran?
"Dijawab dong," pinta Rio.
"Karena katanya hari ini menentukan siapa kita di masa depan, gue mau deh jadi pacar lu." Kalimat itu nggak ngalir keluar dari mulut gue gitu aja. Butuh setengah menit berpikir. Mikir mau jadi pacarnya atau engga dan mikir gimana cara nerima dia dengan kata-kata yang nggak sesimpel "iya gue mau" atau "boleh".
Rio tiba-tiba ketawa. "Dibohongin aja mau," katanya.
"Lah? Lu bohong?"
"Enggak kok, cuman bercanda."
"Bercanda yang mana? Nembaknya atau yang lu ngomong tadi?"
"Nembaknya."
"Hah?"
"Tapi gue bercanda lagi."
"Hah? Gimana sih? Yang bener gimana?"
"Kok khawatir? Pengen banget ya jadi pacar gue ya? Cie, cie."
Gue ketawa. Dia juga. "Jadi mulai sekarang kita pacaran?"
"Ih, masih ditanya. Udah sana cepet masuk, makanan lu udah dateng tuh."
"Lu nggak masalah gue makan sama Aldo?"
"Nggak apa-apa, kan janji makan barengnya udah dibuat sebelum kita pacaran. Lagipula gampang lah, gue bisa gabung sama kalian, kan?"
Gue senyum. Terserah Rio aja deh. Gue jalan di depan Rio. "Aldo, ini si Rio mau ikutan makan bareng, boleh?"
"Boleh," kata Aldo, "sekalian gue bayarin, lu kemarin juga ikut nolongin gue kan?"
"Iya," jawab Rio. "Makasih lo."
Ah... Hari yang aneh. Rio udah nyakitin gue sampe gue nangis di tempat aja guemasih mau jadi pacar dia. Dasar Azalea, padahal gue masih ada sedikit rasa kecewa sama dia. Tapi ya gimana, udah telanjur cinta. Cinta kan gitu, buta, bisu, tuli, bodoh lagi. Tapi ya gitulah, namanya juga cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Fiksi RemajaApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...