Gue buru-buru lari ke tempat keributan. Awalnya sih gue ngggak tau mereka ribut di mana. Tapi setelah gue nanya orang-orang, gue jadi tau. Katanya sih mereka udah di bawa ke tempat yang aman, maksudnya udah di kawal guru gitu. Tapi tetep aja gue penasaran dan pengen nyamperin. Secara gitu ya, yang berantem tuh Nolan sama Rio. Nolan udah sahabatan sama gue dari lama dan Rio baru aja kenal tapi dia udah deket sama gue. Lagian katanya dia berantem gara-gara gue, gimana gue nggak penasaran?
Akhirnya gue sampe di tempat yang pengen gue tuju. Di deket tenda guru, di sebelah pohon apa tuh namanya gue nggak tau. Mereka sama-sama duduk di atas karpet. Pasti mereka lagi diceramahin. Biar nggak ganggu dan gue bisa tetep denger isi pembicaraan mereka, gue berdiri di belakang pohon, ngumpet. "Udah lah, Nolan, itu kan urusan dia, kamu ya nggak usah terlalu peduli lah," kata Pak Saleh, kepala sekolah SMA Proklamasi.
"Tapi saya kan cuman bilangin ke dia, Pak," bela Nolan.
"Bagaipanapun juga, itu tetep rahasia dia, Nolan. Mungkin ibunya nggak mau ngasih tau dia. Kamu ini jadi orang ember juga ya. Coba sekarang kamu di posisi Rio, kamu seneng nggak?" Kenapa arah pembicaraannya jadi mencong begini. Gue sama sekali nggak punya bayangan kalau Pak Saleh bakal ngomong kayak tadi. Terbersitlah dipikiran gue kalo mereka sama sekali bukan berantem gara-gara gue.
"Udah, Pak, nggak usah di bahas. Saya muak sendiri jadinya." Dalam satu detak jantung, Rio udah pergi. Nolan juga mau nggak mau ikut pergi. Dia minta diri sama Pak Saleh terus jalan ngelewatin gue. Tiba-tiba, dia sadar gue berdiri dibalik pohon.
"Ya?"
"Apa?"
"Ya lu denger semua percakapan kita tadi?"
"Sedikit."
"Jadi lu sekarang tau Rio itu anak pungut?"
"HAH?" Gue kaget sekaget-kagetnya.
"Ya ampun, ternyata lu belom ada pas itu. Ya ampun, gue nggak seharusnya bilang." Dia nepok jidat.
"Lan, lu kan udah telanjur bilang, mau nggak mau lu harus cerita ke gue yang selengkapnya."
"Nggak usah," kata seseorang. Dia langsung narik tangan gue menjauhi Nolan. Itu Rio, dia masih disini. "Biar gue sendiri yang ceritain." Ada getaran di suaranya. Rio barusan nangis. Masa, sih?
"Lu mau bawa gue ke mana?" tanya gue biar suasana nggak terlalu canggung.
"Kemana pun asal gue bisa nangis sepuasnya." Jadi gue nggak harus nanya apa dia barusan nangis. Jadi dia orangnya begitu, dia bisa ngakuin sendiri hal-hal memalukan tanpa malu-malu.
Dia terus narik tangan gue. Gue tau perasaannya sekarang. Perasaannya pasti sama kayak waktu gue tau bokap gue meninggal. Tapi ini kasusnya beda, emaknya masih hidup hanya saja dia baru tau kalo emaknya dan dia ternyata nggak punya hubungan darah sama lu. Itu sama aja kayak...emaknya cuman orang baik yang mau ngurusin dia karena suatu hal, bukan karena dia emang emaknya.
Dia balik badan, matanya merah. Sekarang kita lagi ada di tempat yang benar-benar nggak bisa ditebak sama teman-teman kita. Yah bisa dibilang cuman kita yang tau kemana kita pergi.
"Rio?" Gue natap dia dan gue rasa dia terganggu.
"Udahlah, nggak usah ngomong kalo gue ini pengecut, gue juga tau." Dia ngusap air mata yang ada di matanya sekarang. Mungkin biar air matanya nggak jatuh ke pipi.
"Siapa bilang cowok yang nangis pengecut?" tanya gue tanpa basa-basi.
"Orang-orang. Mereka bilang cowok nggak boleh nangis." Dia ngusap air matanya lagi.
"Terus kenapa lu masih nangis?"
"Emosi, Ya, emosi."
Gue nggak jawab, gue langsung meluk dia. Gue pernah baca atau denger di mana gitu cara yang tepat untuk nenangin orang yang emosi adalah meluk dia. Pelukan bisa bikin seseorang tenang, bikin seseorang itu nyaman.
Dia nangis dipelukan gue. Jadi selama ini dia cengeng? Apa jangan-jangan dia sok jagoan gara-gara dia cengeng gini? Tapi sekarang gue nggak peduli, dia lagi nangis dan sekarang gue malah bingung gimana nenanginnya. Dia emang nggak nangis selebay perempaun atau sampe tersedu-sedu gimana, tapi tetep aja gue kan belom pernah lihat laki-laki nangis, apalagi orangnya kayak Rio gini.
"Gue nggak punya tissue." Dengan bodohnya gue malah negluarin kata-kata itu.
"Gue juga nggak butuh tissue," katanya sambil terisak. "Ya, gue nggak cengeng, jangan pikir gue cengeng." Dia bisa baca pikiran?
"Iya, lu agak berlebihan." Orang yang lagi sedih cuman butuh kejujuran, menurut gue sih gitu. Emosi orang sedih nggak stabil, itu kadang yang bikin gue bingung cara nenangin orang sedih gimana. Itu yang bikin gue nggak pernah sukses nenangin orang sedih.
"Ya, apa Nolan bener?" tanya Rio. "Dia bahkan punya fotonya." Dia bahkan punya fotonya? Apa ini nggak terlalu bohong buat dijadiin gossip? "Dia nemuin sesuatu jatoh dari map emak gue pas dia lagi ke sekolah, dan yang jatoh itu akta lahir gue."
Oh iya, maknya pasti ke sekolah buat ngurusin data diri Rio, surat-suratnya dan sebagainya. Akta lahir orang yang di adopsi emang beda, disana ada nama orang yang ngadopsinya.
Gue terus ngelus-ngelus punggunya. Rio sekitar sepuluh senti lebih tinggi dari gue. Air matanya udah nggak ngalir daritadi. Dia ngelepas pelukan gue dan langsung ngelap matanya yang basah banget.
"Bahkan nama bapak gue aja nggak ada, Ya." Awalnya gue cuman mau bilang "oh" tapi beberapa detik kemudian gue sadar sebuah fakta penting: Rio anak haram. Harusnya gue bener. Dia narik dirinya sendiri dari pelukan gue.
"Udah ya, Ya." Dia jalan menjauh dari gue. "Gue mau ke kamar mandi dulu." Dia melambaikan tangannya ke gue.
"Mau gue temenin?" tanya gue, berusaha inisiatif.
"Nggak usah. Lu udah banyak membantu. Makasih pelukannya." Dia tersenyum. "Jangan pernah cerita ke siapa-siapa." Dia membalikan badan lalu pergi.
![](https://img.wattpad.com/cover/103984861-288-k127498.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare [Completed]
Novela JuvenilApa jadinya kalau hanya dengan bermain Truth Or Dare saja dua orang ini bisa membongkar rahasia masa lalu yang masih tersimpan rapi sampai sekarang? Azalea Libria Purnawinto Gue pilih Truth. Dengan waktu yang gak pendek, gue semakin deket sama dia...