Fifteen

15K 2.3K 266
                                    


Rere berjalan pelan mencari Jun yang sudah 4 hari terakhir ini selalu berdiam diri di sudut perpustakaan ditemani tumpukan berkas yang dia baca setiap barisnya dengan raut wajah serius.

Rere menepuk pelan bahu Jun yang tampaknya tidak menyadari kehadirannya. "Sayang...."

Jun menoleh, tersenyum walau raut wajahnya terlihat lelah. "Sudah selesai shift? Kamu mau pulang? Maaf aku ga bisa antar ya, padahal udah malam. Kamu gapapa sendirian? Pokoknya langsung kabari aku begitu kamu sampai ya," ucapnya bertubi-tubi.

"Kamu masih ga pulang juga? Udah berapa hari kamu menginap di sini? Sempat istirahat kan?" Rere balas bertanya.

"Aku selalu tidur kok walau cuma 2-3 jam. Ga usah khawatir."

Rere menarik kursi dan duduk di hadapan Jun. "Sudah makan?" tanyanya lagi.

Jun mengangguk. "Selesai shift aku langsung ke kantin trus ke sini."

"Did you find something?" Rere bertanya pelan.

Dengan muram Jun menggeleng. Menarik napas berat sebelum berkata, "Sejauh ini belum. Tapi masih banyak juga yang belum aku baca. Maybe I'll find something di antara tumpukan berkas ini." Jun menunjuk tumpukan berkas yang ada di meja.

"I'm so sorry," ucap Rere lirih. "It must be hard for you and your family. Aku memang tidak mengenal baik AJ dan istrinya tapi aku tahu seberapa besar arti mereka di hidup kamu."

Jun tersenyum, mengusap pelan puncak kepala Rere. "They are strong person. I knew it... Terutama AJ. Aku ga enak aja kalau hanya berdiam diri and do nothing. I know yang kulakukan belum seberapa. Mungkin juga sia-sia untuk kasus OI type two. Tapi...." Jun tak mampu meneruskan ucapannya saat dia melihat Rere mengambil berkas di depannya dan mulai membaca.

"Re...." tegur Jun keheranan.

"I'll help. Jangan menyerah... It's so not you. Jun yang aku kenal itu keras kepala, nekat, tapi ga pernah berhenti berusaha. I don't know ke depannya akan bagaimana. Entah ada cure yang bisa kita temukan di antara tumpukan jurnal medis ini atau enggak. But when you find anything...anything, Jun. I wanna be here with you," ucap Rere sambil lalu. Matanya sibuk memperhatikan jurnal dengan seksama.

Jun tersenyum simpul dengan perasaan hangat yang tiba-tiba membuncah. Dia tahu Rere baru selesai membantu operasi yang prosedurnya memakan waktu 8 jam. Dia juga tahu kalau beberapa hari terahir ini Rere diam-diam mengajukan diri menggantikan Jun berjaga di ICU agar Jun bisa lebih berkonsentrasi  untuk mencari tahu tentang penyakit OI. Dan sekarang ini, Rere mengorbankan waktu istirahatnya untuk Jun padahal besok dia masuk shift pagi.

Rere don't need to say much... Tapi dia selalu ada untuknya. And that is all he needs.

Jun bangkit, membungkuk sedikit mengecup kening Rere. "Love you," ucapnya pelan sebelum kembali melanjutkan membaca berkas-berkas yang ada.

-----------

"Kak!" tegur Jun saat melihat AJ keluar dari ruangan Azha.

"Hai, Jun." AJ mencoba tersenyum walau senyumnya tampak dipaksakan.

"Sendiri? Kak Ally mana?"

"Home. Dia ga mau ikut," gumam AJ.

Jun mendadak terdiam.

"I need coffee, mau ikut?" AJ menawarkan.

Jun melirik jam tangannya. Sebetulnya sebentar lagi dia harus ke NICU, namun, sepertinya AJ sedang butuh teman. Jadi dia mengikutinya. Urusan hukuman yang akan dia dapat karena telat nanti saja dia pikirkan.

"We already made our decision," ucap AJ setelah menyesap kopinya sedikit.

Jun diam saja, menunggu AJ bercerita dengan sendirinya.

"Lusa kami akan ke sini, meminta agar Ally bisa mempercepat kelahiran putri kami." AJ tercekat sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Dan aku meminta Azha untuk membantuku mengurus pemakamannya. Jika harus mengurusnya sendiri, kurasa aku tak akan sanggup.

Aku mau dia dimakamkan dekat Opa dan Omanya, memudahkan aku untuk berkunjung nanti."

Jun tak mampu untuk mengucapkan kata apapun. Tenggorokannya tercekat. Dia tahu kata penghiburan saat ini tidak akan ada artinya. Yang AJ dan Ally butuhkan bukan kata-kata. Hanya harapan yang ditiupkan diam-diam, berbisik kepada Sang Maha Pencipta agar mereka berdua dikuatkan dalam menghadapi duka. Yang benar-benar mereka butuhkan hanya doa yang tulus dari orang-orang yang menyayangi mereka.

AJ seperti menerawang, berucap sendiri tanpa memandang Jun.

"I think it's a right thing to do. I can't see my daughter suffer, Jun. Kamu tahu kan, gerakan yang salah sedikit saja, dia bisa mematahkan tulangnya sendiri bahkan saat dia masih di dalam kandungan Ally. Tempat yang seharusnya paling aman untuknya.

Aku tahu bagaimana rasanya tulang patah, kamu ingat kan aku pernah mematahkan tanganku saat bertanding bela diri. And it's painfull. Membayangkan anakku yang bahkan belum bisa menangis akan mengalami hal itu... It's killing me....

I'm her father. Aku harusnya ada untuk melindungi dia, but I can't... I can't!" seru AJ putus asa.

Jun memberi tepukan pelan di bahu AJ. Sekedar mengingatkan kalau dia tak akan melalui ini sendirian sekaligus permohonan maaf tak terucap. Maaf jika dia tak bisa menemukan little clue, petunjuk apapun yang bisa membantu their little niece agar selamat.

"Jun, do me a favor please... Tolong hubungi Al, Daddy and Mommy setelah semua selesai. Aku ga mau membuat mereka khawatir sekarang. Can you do that for me?"

Jun cepat-cepat mengangguk.

AJ tersenyum tipis, bangkit dan berjalan pergi tanpa menyentuh kopinya lagi.

Jun memperhatikan punggungnya yang menjauh, tak tega melihatnya lelah, dan tampak seperti memanggul gunung di punggungnya.

'You're gonna make it, Kak... Everything's gonna be alright.' doa Jun dalam hati.

-------------

Papa AJ kesayangankuhhhh 😭😭😭😭😭

Luv,
NengUtie

Kang JunedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang