Kamu mataharinya, dan aku bulannya..
---
Semua kepala menengok ke arah gaduh itu, tak luput wajah tercengang menghiasi satu persatu. Semuanya kaget melihat Derin dengan kemarahannya datang ke basecamp cowk-cowok berandalan itu. Dari awal Pandi sudah mmengira jalan ceritanya akan seperti ini. God, sekarang Pandi seakan pengatur sekenarionya.
"Gak butuh," katanya sarkas melempar gelang itu kasar.
Pandi tertawa geli, "wih dibalikin. Velin yang balikin apa lo yang balikin?"
"gelang murahan."
Derin sih nggak ada takutnya, ia memasuki kandang musuh seorang. Lihat saja, antek-anteknya Pandi sudah siap menerkam buas dirinya
.
"Derin!"Derin membalikan badan, mencari siapa yang memanggilnya. Tuhkan, teman-temannya ikut nyusul. Ini sih usul Rangga yang katanya biar solidaritas banget.
Mata Derin mengabsen satu persatu temannya yang ikut datang. Ada Rangga, Vano, Zill, dan err.. Velin?
Kaki jenjang Velin maju menghadang pergerakkan Derin yang ingin menonjok lawannyua. "udah," katanya purau sambil mendorong pelan dada tegap Derin.Suasana berubah canggung. Mata elang Pandi mengamati tajam cewek yang diapit Rangga dan Vano, masih sama, cewek lugu yang sok berani datang ke sini padahal daritadi menundukkan kepalanya. Gadis itu, Zill.
Tangan Pandi terkepal tetapi matanya masih menatap lekat Zill. "she is mine!" ucapnya sambil menarik Velin dalam rangkulannya.
Bugh..
Bogeman mentah mengahantam wajah sangar Pandi, tangan kekar Derin mengambil alih rangkulan itu kepadanya.
"kenapa lo? Marah? Bukannya Velin Cuma sekedar bahan taruhan kita," tenang tapi menusuk ciri khas Pandi kalau berkata.
Tak ada jawaban Derin menarik Velin menjauhi kawanan itu. Tidak menyerah Pandi berjalan mendekati teman derin terutama Zill.
"hai, manis."Bajingan..
Zil menundukkan kepalanya dalam-dalam ketika Pandi berusaha mensejajarkan tingginya. Untung saja ia rangkulan Rangga dan Vanno segera mengaitnya untuk mengamanakannya. Rangga menendang perut Pandi lalu pergi dari tempat itu. Derin memberi aba-aba kepada kedua temannyan untuk membawa Zill pulang, sementara ia membawa Velin dengan mobilnya.
Tidak jauh dari tempat kejadian itu Derin memberhentikan laju mobilnya di depan taman. Ia turun dari mobil menuju stand penyewaan sepeda, Velinh yang mengekori dari belakang mengernyit ketika cowok itu mulai menaiki sepeda."apa liat-liat?!"
Velin memutar bola mata malas, belum apa-apa udah ngegas.
"cepet naik!" kata Derin melirik jok belakang."lambat!" dengan menggentakkan kaki Velin menaiki boncengan itu.
Derin mulai menggoes sepeda itu, mengitari alun-alun taman lalu perlahan menjauhi keramaian. Seperti saat ini, ia berhenti depan rumah kosong. Ada-ada aja, malem gini goes sepeda terus masuk ke rumah kosong lagi.
Walaupun tempat ini kumuh tapi Velin akui rumah kosong ini memiliki rooftop yang cukup bagus pada saat malam, posisisnya sangat pas untuk melihat hiruk pikuk ramainya taman dari atas sini.
"ini rumah gue," Velin melirik Derin, "dulu kebakaran."Velin hanya menganggukkan kepalanya, malas merspon lagian apa untugnya?
"liat, bulannya meredup."Jari Derin menujuk hamparan langit. Brnar, cahaya bulan itu meredup ditutupi awan.
"tapi bulan ada bintang yang bantu buat meneranginya," helaan napas Velin terdengar sambil mengamati hamparam bintang.
"seredup apapun bulan itu akan tetap kembali karena ada bintang yang bantu meneranginya," kembali Velin menghela napas matanya mulai memandang kosong."nggak kayak matahari, nggak ada yang bantu menyinari. Bahkan cahayanya sering redup ketutupan awan."
Kata Velin sirat akan makna, telinga serta pikiran Derin menajam mekirkan sirat makna ucapan Velin.
"siapa yang bantu menyinari bulan?"
"bintang."
"siapa bintangnya?"
"seseorang buat Derin."
"iya, seseorangnya itu, Avelina Senja." Kata Derin tersenyum manis.
Nggak ada respon.
Tetap datar, air mukanya kayak biasa, ngebales omongan juga nggak, bales tatapan juga nggak. kondisinya masih sama: mendangak ke atas diiringi muka temboknya.
"kata Derin Vel itu jadi matahari. Kalo Vel jadi matahari Derin cari orang lain buat jadi lentera Derin kegelapan."
"nggak mau."
"terus?"
"Derin maunya Velin yang jadi rumah dan cahayanya Derin."
---
Kondisinya malam, dingin menusuk tulang di depan sudah tersaji teh hangat sambil disuguhi langit yang penuh bintang, bulannya agak sedikit redup sebab mendung sudah bergelayut manja menutupi bulan bulat itu.
Derin nggak langsung pulang, ia mampir dulu ke runah Velin.
Ya hitung-hitung ngunjungin calon mertua..
Mereka berdua duduk di teras rumah bergaya modern itu. Kata mama Velin sih biar tambah sosweet gitu deh. Padahal mereka berdua nggak ada mesranya, saling bercakap saja juga tidak.
"udahan, ya?" tangan Velin menaruh gelas teh yang ia minum ke atas meja.
Tak mau kalah Derin ikut meminum teh dengan santai, matanya ikut memincing ke arah lawan bicara. "apa?"
"kita."
"akan terus selamanya," kata Derin menyambunyi omomgan Velin sambil tertawa sinis.
"udahan, Derin. Pandi udah tau, tantangan udah berakhir, game over."
"gak. Lo bakal tetep jadi rumah gue."
Velin tertawa pelan, "lo buta? velin itu manusia, bukan rumah."Ya sudahlah biarkan mereka berdua bersama bermesraan dengan kebodohannya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia
Teen FictionIni tentang Derin; yang menjaga Senjanya, Bulan yang mengiri mataharinya, Dan berakhir dalam jiwa yang hilang. Ini pun tentang Velin, tentang mencari seseorang yang melengkapi jiwanya, Tentang Mematahkan harapannya, Ah ini juga bersama Sang Bulan ya...