you

997 74 40
                                    

Bahkan langit turut bersedih dikala matahari kehilangan cahayanya.

---

Dari tadi tidak ada henti Derin menjambaki rambutnya, padahal Velin di sampingnya. Rasanya Derin ingin membuang isi pikiran di kepalanya biar nggak jadi pusing kayak gini, terlebih Velin yang duduk di sampingnya hanya melirik cuek. Maklum saja, Velin paling malas ikut campur ursan orang lain, jadi ya dia Cuma cuek melihat Derin seprustasi ini. Sebenernya Velin juga bingung di sini. Sudah hampir 2 jam Derin memarkirkan mobilnya di ujung jembatan,daritadi  mereka berdua hanya duduk di dalam mobil sambil melihat pemandangan di luar yang tampak ramai di sore hari.

Lagi-lagi Derin melirik Veliin sinis, cewek itu bodoh atau tidak peka sih?! Derin lagi prustasi kayak gini dia asik makan permen gagangnya.

Sudah cukup kesal dengan semua yang terjadi hari ini. Ia melajukan mobilnya kencang menuju bagian terpencil Ibu Kota. Ini sih tempat kemarin; ujung tebing sambil melihat sunset.

Tangan Velin ditarik cukup kasar oleh Derin, ia membawa gadis itu ke sebuah pohon rindang. Keduanya mendangak, ada rumah pohon tanpa atap di sana. Satu persatu Derin menaiki tangga pohon itu lalu melirik ke bawah. Ck! Velin Cuma menatapnya tanpa ikut naik.

“naik!” dengan ragu Velin menaiki tangga pohon itu sesampainya di atas ia terbuat kagum dengan pemandangan dari atas sana.
Keduanya terdiam, tanpa kata, tanpa basa-basi, pun sama keduanya menikmati semilir angin sepoi-sepoi. Suasana seperti ini mengapa menjadi canggung, nggak Derin nggak Velin merasakan kecanggungan itu.

"Tantangan Pandi selesai."

Di saat hening seperti ini suara Derin memecahkan kecanggungan di antara mereka.

"Kita juga selesai."

"Gue tolak."

Alis tebal Velin terangkat sebelah, wajahnya jelas sekali menandakan raut terheran-heran.

"Tantangan Pandi selesai. Tapi kita nggak."

Mata bulat Velin mendelik tajam. Mengangkat sebelah alisnya.

"Derin suka Velin mungkin," katanya santai, kelewat santai sih ini namanya. Apalagi mukanya tetap datar.

Tidak ada degup jantung yang saling beradu, tidak ada wajah yang merona merah seperti tomat,  tidak ada tingkah yang malu-malu. Semua ini tidak ada rasa bagi Velin, buktinya cewek itu tak menanggapi pandangannya justru sibuk menulusuri setiap inci awVelin menggelengkan kepalanya kencang, benar-benar menyanggah pemikiran cowok itu.Sukanya ke gue, cintanya ke orang lain."

"Lo cinta gue?"

"Gak."

"Kenapa?"

"Mendung," ia menarik napas sejenak lalu menghembuskannya pelan. "Bahkan langit turut bersedih dikala matahari kehilangan cahayanya."

Selalu. Velin membuatnya bimbang seperti ini. Nggak menjawab pertanyaannya, menjawab dengan perkataan ambigu, bahkan makna yang tersirat ia sedang sedih.

"Turun, sebentar lagi senja akan datang."

"Masih aja takut matahari terbenam," bukan tangan yang dicekal Derin melainkan kerah baju bagian belakang Velin ditarik Derin.

Velin terhuyung ketika hendak turun, badannya kembali duduk seperti semula, bahkan Derin menghadangnya tidak memperbolehkan turun padahal langit sudah mulai gerimis.

"Senja tersamarkan oleh kesedihan langit."

Memang benar, cahaya pantulan matahari terbenam itu agak  memudar karena  gerimis kali ini. Tapi ini sama saja hal konyol.

"Velin, liat mataharinya. Nikmatin setiap tetesan kesedihan langit."

Velin memejamkan matanya rapat-rapat. Ini kedua kalinya Derin mengajak --memaksa aslinya-- Velin melihat matahari terbenam. Gerimis hilang tapi hujan yang turun. Kali ini Senja hilang disamarkan oleh hujan..

Akhirnya Velin mengalah ia perlahan membuka matanya, benar saja senja itu hilang tergantikan kabut yang menyamarkan kota Jakarta. Derin tersenyum kecil, usahanya membuat Velin menikmati langit sore tidak terlalu mengecewakan.

---

Pakaiannya basah ia tutupi hoodie warna pink. Meski hujan tadi sore bersama Derin membuat bajunya basah tetap aja tidak melunturkan keinginannya ke kafe favoritnya, coffe no.48.

Sebenarnya Velin berbohong, ketika Derin mengantarnya pulang pas di depan teras rumah  ia tidak langsung masuk ke dalam, justru kaki jenjangnya melangkah ke tempat favoritnya.

"Cie, yang abis jalan sama Derin." Tanpa sopsn santu Pandi duduk di hadapannya, mata Pandi mengerling jahi bahkan bibirnya tersenyum sinis.

"Lo tau satu hal?  Derin ngorbanin seseorang demi lo," yang semula Velin malas mendengarkannya entah kenapa topik ini dapat mencuri perhatiannya.

Pandi tersenyum miring, pancingannya berhasil. "Lo gak tau? Derin ngorbanin seseorang demi lo."

"Siapa?"

"Zill. Tadinya gue mau jadiin lo bahan mainan gue, cuma.. " pandangan Pandi memerhatikan intens, badannya sedikit maju ke arah Velin. "Cuma Derin lebih milih Zill yang gue mainin," katanya berbisik dengan suara berat.

"Lo tau sendiri Zill itu sepupunya. Tapi dia lebih milih sepupunya yang gue mainin daripada lo," senyum sinis kali ini lebih mencolok daripada sebelumnya terlebih melihat raut wajah Velin.

"Padahal mereka brother complex, ralat Derin sendiri yang brother complex."

"Ha?"

"Brother complex, jatuh cinta sama saudaranya sendiri."

Penuturan singkat Pandi sangat memengaruhi pikiran Velin saat ini. Benar dugaannya, ada yang ganjal antara Derin dan Zill. Ck, Derin mencintai sepupunya sendiri.

"Derin cinta sama Zill. Tapi sayangnya Zill.." Pandi menyesap kopinya sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "Zill cinta sama orang lain. Gue yakin lo tau, orang itu.. Bram."

Velin tak ada henti daritadi terpanjat kaget. Matanya melotot kali ini, meski tidak ada tanggapan tapi respon dari gaya tubuhnya cukup memuaskan Pandi.

Sebenarnya siapa  Pandi..

--
Siapa yang rindu Velin? *geer XD
FYI, akhir-akhir ini part cuma 800+ word. Sengaja pendek biar update terus wkwk.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang