WARNING TYPO MERAJALELA
-
Diam-diam ada yang memendam kekecewaan.
Kamu, ya?
---
Pintu berderit tidak ada suara hangat yang menyambut Velin ketika sampai di rumah biasanya selalu ada celoteh ria dari mamanya, pertanyaan dari Papanya, bahkan suara televisi dari ruang tamu ikut menyambut. Tapi kali ini beda, keheningan yang menyambutnya.
“ma?” kepala Velin mengedarkan ke penjuru rumah. Tidak ada sahutan.Bodo amatlah, paling mamanya ke rumah tetangga. Velin menaiki tangga menuju kamarnya. kamar Velin dan kamar orang tuanya itu sebalahan, jadi sambil lewat sambil mengintip keberadaan mamanya.
Suara tangis berderai pelan, Velin mengernyitkan alis samar. Ada mamanya dan ayahnya.
“andai aja kita nggak kayak gini, Karin nggak bakalan pergi Pa,”
Karin lagi.. tunggu saja, sebentar lagi pasti ada yang menyalahkan Velin karena kepergian Karin.
“coba aja Velin tetep di rumahnya.”
tuh kan bener..
sedari dulu sebenarnya Velin muak di sini. Ada yang terlihat baik tapi aslinya tidak, terlihat bahagia aslinya justru kebalikannya, sama juga ada yang selalu menyalahkannya di belakangnya, ada yang menuntut Velin ini-itu, memang terlihat bahagia—awalnya. Tapi tetap saja kan serapih apapun menyembunyikan bangkai akan tercium juga?.
Velin cuek mendengar itu memang sudah dasarnya jadi orang cuek ya didiemin aja. Ia meletakkan tasnya di kamarnya duduk sebentar memikirkan kegiatan apa yang selanjutnya ia lakukan. Satu ide terlintas muncu, ia langsung tergesa menuruni tangga lalu menuju ke dapur. Kalian bisa menebak, dia akan belajar masak—lagi. Buat Derin tentunya.---
104.Nomor apartmen ini diingat betul oleh Velin, feelingnya sih biar bisa ke sini kalau ada apa-apa. Tapi bener kan sekarang terjadi, ia ke apartmen Derin lagi.
Jari Velin terulur memencet bel, tak lama pintu terbuka menampilkan gadis cantik di hadapan Velin.“nyari Derin ya?” Velin mengangguk. Zill menyuruhnya masuk ke dalam lalu meneriaki Derin dari sudut ruangan. Tak lama Derin pun datang, Zill yang melihat kalau mereka butuh privasi segera pergi ke kamarnya—kamarnya sendiri tanpa bareng Derin.
“kenpa? Kangen?”
Belum apa-apa Derin udah pede duluan.
Velin memutar mata malas sambil mengeluarkan bekal makannya—kali ini warna hijau. Hakikatnya Velin ke sini karena mencari pelampiasan kebosanan di rumah, abisnya dia bingung mau ke siapa. Teman Cuma Shasa, itu pun dia sedang pergi ke luar kota. Kalau nggak Shasa ya kenalan Velin kan Derin doang.
“apani?” buru-buru Derin membuka kotak bekal itu wanginya yang harum langsung menyengat menggiurkan.
“ada racun ya?”
ngeselin kan pertanyaannya.
Kata Derin itu apa-apa harus hati-hati. Nah selama ini kan Velin sikapnya ‘begitu’ sama Derin, terus sekarang tiba-tiba datang ke aprtemennya lalu memberikannya mmakanan. Yang kayak gini patut dicurigakan.
Padahal aslinya Derin aja yang suudzon mulu.
“ada.”
Suapan tangan Derin mengarah ke Velin. “aaa.”
Velin mengernyitkan alis bingung. “ngapain?”
“makan, kalo lo mati berarti bener ada racun.”
Kekehan kecil terdengar dari mulu Velin, ia menyantap suapan darinya lalu berkata, “see? I’m fine, ok?”
Suapan pertama cukup ragu bagi Derin untuk memakannya. Pasalnya ini nasi goreng buatan Velin. Ia tau betul tabiat Velin kalau masak tuh seperti apa. Cuma satu kata yang bisa mendefiniskannya; GAK ENAK.
Eh tapi tunggu dulu. Ini rasanya enak, ya lumayan lah bagi seorang pemula. Mungkin ini hasil jeripayah Velin belajar masak.“lagian kalau gue mati lo juga baklan nyusul mati kan?”
“dih, kata siapa.”
“kan kita sehidup-semati,” ujar Velin jail.
Uhuk..
“udah pinter gombal ternyata.”
Mereka berdua sama-sama tertawa pelan.
“makanan lo lumayan enak,” komentarnya bak juri. “resepnya apa?”
“pake bumbu instan yang ada di warung.”
Pantes aja. Ditarik deh mujinya..
Ingin jitak pala orang rasa-rasanya Derin. kemarin mi instan sekarang bumbu instan. DASAR MANUSIA SERBA INSTAN!. Derin itu inginnya Velin bisa masak dari bumbu yang dia buat sendiri, bukan dari yang serba instan semua. Kalau manusia apa-apa instan, kapan manusia bisa berkembang?!
“kenapa emangnya?” tanya Velin polos.
“gak,” balasnya dingin sambil menaruh kotak bekal itu di atas meja setengah membanting sih.
Pelipis Velin padahal nggak gatel ti]api ia garuk. Bingung sama kelakuan Derin yang kayak gini.
Drrtt..
Bram sadar, nggak mau nengokin?
Velin mengernyit melihat pesan singkat dari nomor tidak dikenal. Bram sadar? Siapa yang mengirimnya pesan? Ah seketika ingatan Velin terlempar pada Pandi yang pernah mengirimnya pesan, pasti ini dari Pandi. Velin mengingat dijit angka paling belakang nomor Pandi dan ini dijit nomor belakang berbeda dengan nomor cowok itu, munugkin ganti nomor.
“dari siapa?” tanya Derin kepo.
“pacar.”“lo selingkuh?!”
“iya.” Ucap Velin datar.
“gue pacar lo. Lo gak boleh selingkuh!” katanya ngegas matanya ikut melotot. Derin ngegas mulu heran.“pacar?” tawa Velin terdengar meremehkan. “inget ya, kita itu pacaran sebatas tolong menolong tantangan konyol lo itu.” Lanjutnya sambil menujuk tepat muka Derin.
Wah, rupanya Derin menangkap omongan Velin itu sebagai kode-kodean..
“udah ya derin, Velin mau pergi.”“kemana?” Tambah lagi selain suka sewot Derin mempunyai kelainan kepo yang akut. Dari tadi nanya mulu. Penting juga nggak buat dia.
“jenguk Bram.” Velin keluar dengan santai, ia memang sengaja memancing Derin dengan nama Bram ia juga penasaran ada hubungan apa mereka. Kita tunggu saja pertanyaannya Derin pasti bakal membeludak.
“Bram? Bramastya Anggara?”
Tidak diacuhkan Velin. Ia memilih jalan membelakangi Derin sambil mengacungkan jari jempolnya.
Gawat jika benar Bram yang dimaksud Velin adalah Bram yang ia maksud juga. Maka Zill tak akan Derin beri tau apapun.--

KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia
Teen FictionIni tentang Derin; yang menjaga Senjanya, Bulan yang mengiri mataharinya, Dan berakhir dalam jiwa yang hilang. Ini pun tentang Velin, tentang mencari seseorang yang melengkapi jiwanya, Tentang Mematahkan harapannya, Ah ini juga bersama Sang Bulan ya...