satu diantara dua

615 52 28
                                        

Mencintai untuk meindungi, atau melindungi karena mencintai?

--

Cekrek..

"Ganteng bener gue!"

1.. 2.. 3...
Cekrek..

"Jelaslah ganteng, satu gen ama babang manu!"

1.. 2.. 3...
Pletak!

"WOY SIAPA YANG JITAK PALA GUE?! Yang jitak pala gue sumpahin jomblo seumur hid--"

Ocehan Vano terhenti ditengah-tengah ketika melihat siapa yang menjitaknya.

"Apa?!"

Nyali yang semula besar bringsut ciut. Vano mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah bersamaan, membentuk peace lalu ia mengarahkan ke lawan bicaranya yang menyalak kesal.

Kesal, pake banget. Gimana nggak kesel Rangga baru beberapa menit nitipin HP ke Vano galeri sudah penuh foto dia. Ada yang kayak gini?

Mending fotonya gaya normal, ini gaya absurd. Apalagi setiap jepretan memakai suara, pake blitz pula, di tengah kantin pula. Malu-maluin kan, setiap jepret keluar kilat dikantin.

"KAMERA HP GUE RETAK DAH VAN!" Melakukan pertolongan pertama Rangga merampas ponselnya lalu mengelus-elus benda pipih itu terutama dibagian kamera.

"Gue baik tu. Sebelum gue terkenal gue kasih foto kegantengan gue ke lo."

Kasih sih kasih tapi ini namanya kelewatan. 300 foto untuk 20 menit.

"Cih, HP gue terlalu subhanallah buat lo yang astaghfirullah!"

Rangga itu hidupnya penuh quotes. Omongan dia sekarang aja pengubahan dengan quotes yang ia lihat di beranda timeline. Maklum Rangga baru jomblo, sedang memasuki hidup galau mati nggak mau.

Badan Vano ia geser sedikit mencari perlindungan dri Derin tetapi sebelum berlindung dari amukan Rangga, Derin terlebih dahulu mengusiir cowok tengil itu. "Jaga jarak. Ketek lo bau."

Muka melasnya sudah terpampang jelas. Walaupun mukanya melas, ide jahil selalu muncul. "cuy, liat! Ada Pandi!" Kata Vano menunjuk ke satu arah. Serempak Rangga dan Derin menengok ke arah yang dituju Vano.

"KUPU-KUPU GAJAH-GAJAH, KETIPU MAU AJAH!"

Emang dasar temen sialan, baru aja dibully malah ngerjain orang lagi.

Tawa Vano menggelegar seisi kantin, bahkan tukang jualan di kantin itu sampi menengok ke arahnya. Malu-maluin.

"Siapa yang ketipu?"

Ketiga cowok itu menengok. Terpampang jelas sekarang; Pandi berdiri di belakang Vano memakai pakaian urakan, rambut dicepak bak preman, kuping ditindik sebelah, terlebih ditambah tato di lengan kirinya. Tak heran Pandi yang bergaya layaknya preman itu bisa memasuki sekolah ini dengan mudah, bagaimana enggak? Keluarga Pandi itu ketua yayasan di sekolah ini.

Vano cengengesan, "eh? Gue yang ketipu ternyata."

Rangga memasang muka angkuh. "Ngapain lo?"

"Gue ngapain? Sekolah punya gue, bebas mau ngapain aja."

Cowok berambut cepak itu melirik sekilas lalu duduk di meja kantin, mata tajamnya memerhatikan Derin yang acuh akan kedatangannya. Pandi sengaja menyenggol lengan Derin dengan kakinya dari atas meja, Derin mendangak tidak terima diperlakukan kurang sopan seperti itu.

Sambil menyesap rokoknya Pandi melempar sebuah foto. "Kemaren jatoh pas lo jotos gue."

Ketiga cowok itu serempak melirik dingin foto yang dilemparkan Pandi. Gawat, foto itu..

"Betah bener brother complex," kata Pandi sambil tersenyum miring.

Badan Derin menegang tak sadar ia mengeraskan rahangnya. Bukan hanya Derin, Rangga dan Vano bersikap sama. Dalam foto itu terdapat Derin dan Zill saling merangkul mesra.

"Tantangan selesai. Putusin Velin, dan Velin buat boneka gue."

"Ba-ji-ngan!" Desis Derin marah, ia tau betul bagaimana liciknya Pandi dalam hal seperti ini. Dalam hidup Pandi; kalah itu tak ada. Ia tidak bisa mengorbankan Velin yang tak tau apa-apa, apalagi mengorbankannya untuk Pandi.

Tangan Derin mengambil secarik foto itu, lalu merobeknya 2 bagian pas di tengah-tengah. Foto itu terbelah, tak lagi saling merangkul. Dengan nafas memburu Derin melempar bagian foto muka Zill ke arah Pandi.

"Zill buat lo. Jangan Velin," ujarnya dingin, Pandi tersenyum puas sambil menangkap robekan foto muka Zill itu.

Derin mencintai sepupunya Zill. Tapi dia justru melindungi Velin bukan Zill. Argh, sial ini membuatnya gila!

Pandi tersenyum kemenangan, ia membalikan badan bermaksud ingin pergi tapi seseoranh menghadang di sana. Pandi tersenyum miring ketika Zill mematung di tempat, bahkan tenggorokan Derin tercekat rasanya.

Good, drama akan segera dimulai..

"Jangan lupa pulang, bantu mama masak," kata Pandi di depan Zill lalu berlalu pergi.

Tatapan kosong milik Zill mengarah tepat ke Derin. Perlahan tapi pasti, ia berjalan menjauhi Derin.

Brak

Rangga menendang bangku, jari telunjuknya menunjuk Derin. "Sebenrnya yang bajingan itu elo!"

Perlahan Rangga ikut pergi meninggalkan Derin. Gantian sekarang, Vano maju di hadapan Derin. "Mengorbankan seseorang untuk orang yang baru lo kenal." Vano ikut menjauh.

Hampa, semua menjauhinya. Setidaknya masih ada Velin yang jadi penenang.

Tidak menggubris kata-kata sohibnya. Derin lari mengejar Zill. Mencari keberadaan sepupunya itu.

"ZILL!" Teriaknya ditaman belakang sekolah. Zill membelakanginya, tdak merespon teriakan Derin.

"Gue tau lo suka Pandi. Makanya gue lakuin ini," Zill membalikkan badan ketika mendengar penuturan Derin. Amarah cewek itu sudah benar mencapi ubun-ubun.

"iya, tapi dulu. Sebelum gue tau kalau Rangga lebih sayang gue."

Pantas saja akhir-akhir ini Rangga sensitif jika Pandi dengan Zill saling berdekatan. Contohnya seperti kemarin, ia tak segan-segan menendang perut Pandi yang mencoba menggoda Zill. Bodoh! Nggak peka sama perasaan sahabatnya sendiri.

Mengapa jadi serumit ini Tuhan..

---

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang