lain di hati lain di mulut

67 5 0
                                    

Jika ia ingin pergi, lepaskan. Jangan ditahan, apa guna jika raganya bersamamu tapi hatinya bersama orang lain?

Sekali lagi ku katakan; lepaskan jika ia ingin pergi..

Meski kutau itu menyakitkan, tapi cobalah melepas perlahan..

---

Dari kemarin Zill menjaga jarak kepada Derin, padahal Derin berusaha mendekatinya tapi tetep aja Zill menjauh. Marah katanya sih.

"masih marah?"

"nggak."

"Zill, kamu masih marah sama aku, udah tiga hari lho,"

Memutar mata malas Zill menjawab, "kata siapa, huh?"

Derin mengangkat kedua bahunya acuh, ia mencomot cicki Zill, suasan di perpustakaan ini membuatnya bosan.

Iya sih Zill bilang 'nggak marah'. Tapi taulah kalian teori cewek itu seperti apa, lain di hati lain di mulut. Bilangnya nggak aslinya iya, bilangnya gak apa-apa aslinya ada apa-apa. Kebalikan terus, para kaum adam kan jadi bingung, serba salah juga, kalo ada apa-apa di bilang cowok yang egois, munafik jugalah. padahal omongan cewek juga beda yang ada di hatinya. Terus jadinya tuh sebenarnya yang munafik kaum hawa atau kaum adam?

"tiga hari marah itu nggak baik Syeizilla.."

Mau dibujuk dibaikkin seperti apa juga Zill terlanjur kesal. Seenaknya menukar-nukar. Memangnya cewek itu barang?!

"apa yang buat kamu marah? Aku tau kamu sama Pandi sebenarnya diem-diem mencintai."

Cuma Zill yang selama ini bisa 'mencairkan' sifat dinginnya Derin, esok akan bertambah lagi satu; Velin, mungkin?

"Derin emang sepupu aku, tapi nggak semua isi hati aku Derin tau,"

"iya aku mencintai Pandi, tapi itu dulu, Derin. dari dulu Derin ngatur ini itu ke aku, ngatur pertemanan aku, pola hidup aku, sungguh, sebenernya nggak nyaman kayak gini Derin, kamu itu sepupuku tapi nggak semua bisa kamu atur aku." Napas Zill membara sekarang, buku yang ia baca digenggamnya erat, dari dulu tertahan baru sekarang ia bisa ungkapkan.

"bahkan aku ke Bandung untuk ngehindarin kamu, setelah lama aku kembali sikap kamu tetep kayak gini. Kamu tuh kenapa gini terus?"

"karena aku cinta kamu, Zill." Perlahan Derin maju meregkuh badan Zill, pelukannya tak erat tapi bisa menyalurkan kehangatan.

Tes..

Satu tetsan air mata mencelos dari pelupuk mata Zill. Ia kira perasaan waktu kelas lima SD memudar, nyatanya tumbuh semakin kuat..

"pembohong. Mata hati kamu menjerit nama Velin, tapi pemikiran kamu justru berpihak sama aku." Bisiknya.

Zill menolak pelukan Derin, "kita nggak bisa gini, Derin."

"kenapa, Zill?! Apa karena Pandi, Rangga?" Derin mengguncangkan bahu Zill kencang.

"bukan, Derin."

"atau karena Bram?!" Zill terpaku mendengar nama itu, badannya bergetar hebat.

"Bram itu temen aku, Derin."

"temen yang kamu harepin masih hidup? Bram itu udah mati, Zill!" katanya membentak. Badannya semakin bergetar takut ia memejamkan matanya erat lalu menghembuskan napas.

"ikutin hati kamu, Derin. ada Velin di sana."

"tolong, bebasin aku, ya, Derin? aku ingin bebas. bahkan burung yang sebaik apapun berada di dalam sangkar ingin terbang bebas."

Sepi, sunyi, kecewa, rasa kehilangan, bimbang. Ah, semuanya menjadi satu, Zill pergi begitu saja meninggalkan Derin sendirian. Salahkan siapa mencintai sepupu satu darahnya? Apa salah ia? Atau kita salahkan Tuhan? Tidak semua. Ini semua perasaan yang tumbuh pada tempat yang seharusnya bukan untuk ditempati. Pahamilah, perasaan untuk seseorang itu tumbuh di mana saja dan kapan saja, tapi kau pun juga harus berusaha mengendalikan perasaan itu kepada orang yang tepat atau tidak.

"berantem sama Zill lagi?" kata Velin tiba-tiba duduk di sampingnya.

"kali ini gara-gara Velin atau Pandi?"

Dua-duanya.. batin Derin bergumam. Hatinya memang menjawab tapi mulutnya diam membisu.

Derin memandang Velin lama, "Velin denger semuanya?"

Ia mengangguk sambil tersenyum kecil. Velin dengar semuanya, bahkan melihat Derin memeluk Zill. Tentang Pandi, Derin, Zill dan Bram yang 'katanya' meninggal. Ck, semuanya membuat bingung..

"apa Velin cemburu Derin meluk cewek lain?"

"nggak."

"iya Velin cemburu. Kalau cemburu bilang aja," kata derin sambil mengelus kepala Velin lalu diarahkan menyender di pundaknya, sebelah tangannya melingkar di pinggang Velin.

Sungguh. Velin tidak ada cemburu bahkan tidak ingin dipeluk juga. Tapi pikirannya terlalu lelah memikirkan semua terjadi. Ia biarkan begitu saja perlahan ia menikmati sandaran di pundak kokoh Derin, rasanya nyaman terlebih ditambah elusan dikepalanya.

Walaupun posisi mereka seperti itu, cuma keheningan yang menyelimuti mereka. Tatapan keduanya lurus, kosong, terlalau lelah memikirkan apa yang terjadi. Pikiran pun sama butuh istirahat, butuh sandaran. Jika keduanya butuh sandaran dan saling membutuhkan, maka biarlah mereka seperti itu sementara.

"Velin?"

"iya."

"lain kali jika rindu seperti ini bilang, ya?"

"iya, Derin."

Tuh kan padahal tadi nggak mau, sekarang saat ditanya malah bilang iya. Dasar perempuan. Jadi apa benar perempuan yang munafik soal perasaan?

Sebenarnya yang munafik soal perasaan sama seimbangnya, lelaki perempuan sama. Jika lelaki; ingin memiliki tapi hanya memerhatikan dari jauh-tanpa berusaha memiliki. Jika perempuan; ingin bilang iya tapi kehalang gengsi sih.

---

SEE YOUUUU!!!

Oya, kata Derin, kalau ada yang rindu bilang saja.

RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang