Aku tak nyata, begitu katamu. Jika ya, lalu mengapa? Aku pun tak pernah berharap menjadi nyata. Tak pernah memintamu memercayai aku nyata.
Bukankah sejak awal memang aku tak pernah nyata? Lalu, apa masalahmu?
Aku telah cukup lama pergi, mencoba tak mengganggumu. Bukankah kamu yang lalu lebih dulu mengusikku?
Apa lagi kini salahku?
Kalau kamu keberatan dengan keberadaanku, itu masalahmu. Bukan urusanku.
Dengan satu sentuhan jari saja, kamu tentu bisa hilangkanku dari pandanganmu. Lalu apa susahnya? Dari pada memikirkan tentangku dan segala ketidaknyataanku, bukankah lebih mudah bagimu mengabaikanku?
Jangan salahkan aku jika kali ini aku melukaimu. Kamu yang memilih untuk dilukai dan tetap terluka hingga kini. Kamu yang memilih menyakiti dirimu sendiri dengan tak berhenti mengungkit tentangku. Kamu yang bertanggung jawab atas hatimu sendiri. Bukan aku.
Aku akan melakukan apa yang kusukai. Aku pun tak pernah melarangmu melakukan apa yang kamu mau, bukan? Berhentilah menyebut namaku. Kamu tahu aku tak nyata, maka biarlah tetap begitu. Jangan membuatku seolah benar nyata adanya.
Kulakukan apa pun hari ini demi diriku sendiri. Tak perlu terlalu percaya diri. Jika kamu pada akhirnya membaca ini, tak usah repot-repot mengira kutulis semua ini untukmu. Tidak. Semua kulakukan karena aku menginginkannya, baik dengan atau pun tanpa hadirnya sosokmu di duniaku.
Ingatlah, aku sejauh ini tak pernah --bahkan tak ingin pernah-- mendedikasikan apa pun untukmu. Baik waktuku atau tulisanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Hampa
PuisiJangan percaya begitu saja pada matamu. Mata yang kau pikir memandang kejujuran itu kadang menipumu, terselimuti kabut dusta. Apa yang kau lihat, tak selalu itu yang terjadi. Apa yang kau dengar, tak selalu itu yang terucap. Apa yang kau ucap, tak s...