Pukul tujuh pagi, Alan sudah bersiap berangkat ke sekolah. Biasanya dia selalu di antar ayah ataupun kakak-kakaknya. Tapi tidak untuk kali ini. Alan meminta Bima untuk berangkat sekolah bersama. Dari sekian banyak temannya, bisa di bilang Bima yang paling dekat dengan Alandia. Bukan hanya mereka tinggal di komplek yang sama, tetapi juga Alan bebas bercerita apa saja dengan Bima. Walaupun lebih sering Bima menjadi pendengar yang baik dari pada memberi solusi. Tapi itu cukup bagi Alan untuk menjadikan Bima sebagai 'tempat sampah' kapanpun dan dimanapun ia butuhkan.
Bima melaju dengan santai menuju sekolah. Selama di perjalanan mereka selalu berbincang seperti biasanya.
"So, ada angin apa lo mau pergi bareng gue?" Tanya Bima to the point.
"Gini Bim, semalem abis makan malam kan gue Balik ke kamar. And then waktu gue cek HP ada beberapa notif. 5 panggilan tak terjawab dan 1 pesan dari Nomor yang berbeda di WhatsApp gue. Tapi gue gak tau siapa."
Alan menarik napas sesaat. "Terus dia cuma bilang 'Hai Alandia' terus dia kasi emoticon smile."
"Lha terus apa hubungannya sama gue?" Ucap Bima memotong pembicaraan.
"Gue belum kelar ngomong Kali Bim. Dengerin dulu kenapa?" Alan melanjutkan ceritanya. "Lo tau gak kira-kira siapa orangnya? Rese' banget tau gak. Udah gitu dia telfonin gue pas gue lagi asik-asiknya tidur. Waktu diangkat malah mati. Nah abis itu kan gue Balik tidur, gak lama abis itu dia nelfon lagi. Kesel banget gue. Langsung aja gue semprot tu orang. Gatau waktu banget. Kan tiap detik jam tidur gue itu berharga banget Bim."
Alan menarik napasnya untuk mengisi udara yang menipis di paru-parunya. Sambil mengerucutkan bibirnya, dia masih menggerutu tak jelas tentang seseorang yang mengganggu tidurnya. Bima yang sedari tadi mendengarkan curhatan pagi dari Alan, hanya tersenyum simpul sembari berkonsentrasi mengendarai sepeda motornya.
"Coba deh lo sebut berapa nomornya. Kali aja gue tau. Atau mungkin gue juga gak tau." Sahut Bima.
Alan merogoh kedalam saku rok seragam berwarna hijaunya. Dengan hati-hati dia mengeluarkan benda pipih tersebut. Setelahnya Alan menggenggam benda persegi itu dan melihatnya sejajar punggung Bima.
"Eh bentar Bim, gue lupa ngidupin HP dari semalem."
"Hmm.." Jawab Bima dengan anggukan.
Alan menghidupkan ponselnya. Setelah layar sentuh tersebut aktif sempurna, beberapa notifikasi pun bermunculan. Mulai dari pesan WhatsApp hingga permintaan pertemanan di path dan Instagram miliknya.
"Whaaaatttsss???!!!" Bima yang sedang mengendarai sepeda motornya sedikit Terkejut saat mendengar Alan terpekik dibelakangnya.
"Kenapa lagi sih lo? Kuping gue nih kasian." Seru Bima sembari memegang sebelah telinganya.
"Ini orang gila Bim, masa dia tau Instagram sama Path gue juga? And, no... Dia WhatsApp gue lagi. Dan jamnya...." Alan melihat bagian kanan pesan tersebut dan melihat pukul berapa pesan itu masuk ke ponselnya.
"Nah kan!! Bim, fix ini orang sakit jiwa! Abis dia nelfon gue kemaren, terus telfonnya gue matiin, dia malah WhatsApp gue."
"Lan, lo kalo ngomong bisa pelan dikit gak ? Kuping gue budeg denger lo teriak-teriak dari tadi."
Bima memasuki gerbang sekolah, dan memarkirkan motornya di deretan motor siswa lainnya. Alan turun dari motor, dan menunggu Bima untuk berjalan bersama menuju kelas.
"Bilang apa dia?" Tanya Bima.
"Dia bilang, makasih. Makasih udah ngomong panjang lebar tanpa perlu dia banyak tanya. Iihh.. Apaan sih ni orang. Gue mulai creepy."
"Sini gue liat." Bima merampas ponsel yang ada di tangan Alan. Membuka pesan di aplikasi whatsapp-nya. Bima membuka chat tersebut. Memang, yang terlihat percis seperti yang dikatakan Alan. Bima melihat sederetan angka tanpa nama dan mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Bima mengetikkan angka-angka tersebut ke ponselnya. Tapi sayang tidak ada satu namapun yang keluar dari ponselnya. Which is Bima juga gak tau siapa orang mengganggu bagi Alandia.
"Kayanya gue gatau siapa orangnya Lan. Gue cek di phonebook gue gak ada. Mungkin secret admirer lo kali." Bima mengembalikan ponsel Alan sambil terkekeh.
Blush..
Tiba-tiba wajah Alandia bersemu merah. Bima yang sadar langsung kembali menertawai Alan.
"Elaahh gausa baper gitu deh. Muka sampe merah. Hahaha..." Godanya.
"Apaan siihh Bim, gue gak baper. Muka gue gak merah. Lo sih suka mengada-ada. Males."
Jujur, ada sedikit rasa senang di dalam diri Alan saat Bima mengatakan kalau dia mempunyai secret admirer. Bukan hanya hal seperti itu yang sebenarnya bisa membuat seorang Alandia Shinta baper. Terpikir kalau seorang secret admirer adalah seseorang yang benar-benar mengganggu hidupnya dan akan membuat Alan sangat benci dengan orang tersebut. Bagi Alan, sekali seorang tersebut membuatnya illfeel maka ia tidak akan bisa berbaik hati kepada orang tersebut. Dan Alan pun benar terbawa perasaan.
"By the way, nama itu cowo siapa?" Lanjut Bima.
"Namanya... Raka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Baper
Teen FictionCewek baper yang bertemu dengan murid baru disekolahnya. Cowok tersebut adalah teman dekatnya semasa kecil. Dewa, begitu dia di panggil. Kembali ke kota dimana dia mengukir kenangan bersama seorang teman kecilnya, Alandia. Dewa berjanji akan selalu...